Sesungguhnya anugerah yang begitu besar yang ALLAH SWT turunkan di bumi, adalah ketika Dia menciptakan dan kemudian menitipkan rasa CINTA di hati kita. Dan soal cinta, rasanya guru kehidupan yang kita patut belajar darinya, adalah Ibu. Dalam kamus hidupku, IBU adalah sinonim dari kata CINTA.
Malin Kundang Pantas Jadi Batu
Siapakah dia yang tulus memberi tanpa berpikir nanti akan menerima ? Seperi mentari yang menyinari bumi, tak sedikitpun berharap untuk dibalas. Aku begitu ingat ketika banyak hal yang mengecewakan yang telah kuperbuat, dan ketika itu Bapak begitu geram, Mamah yang meredakan amarahnya, dan berusaha untuk tetap mengingatkan dan terus mengingatkanku, agar memperbaiki diri. Tidak hanya saat itu, tapi esoknya, lusa dan hari-hari berikutnya. Tanpa lelah Mamah selalu mengingatkanku. Bahkan hingga menetes air matanya, mengalir, kecewa bercampur sedih, ada marah mungkin, tapi jika saja ada satu kata yang tepat merangkumnya, kata itu adalah : CINTA.
Seberapapun banyak luka yang kita torehkan di hatinya (Ibu), takkan mampu membuatnya berhenti mencintaimu.
Aku ingat bagaimana air matanya mulai mengalir, karena kakiku yang luka dan ketika napasku mulai tersengal-sengal karena sakit yang tiba-tiba suatu ketika. Ada kekhawatiran yang begitu besar. Bahkan saat didengarnya aku demam sedikit, beliau segera saja mencarikan obat. Masih teringat di memoriku, ketika beliau merelakan perhiasannya, untuk keperluanku, padahal aku tahu itulah satu-satunya barang berharga yang dia miliki. Mungkin beberapa diantaranya terkesan berlebihan, tapi mamah yang tidak tamat pendidikan tinggi hanya bijak berkata : yang penting kamu bahagia. Ah belakangan aku mulai sepakat soal kutukan, menurutku sangat pantas malin kundang jadi batu.
Antara Hidup dan Mati
"Saat itu benar-benar aku nangis, sejadi-jadinya". Bang Kadir, teman kantorku menuturkan saat-saat istrinya dalam persalinan. "Seharian istriku, menahan sakit, mengeden tapi tak juga anakku keluar dari perut istriku. Sampai istriku kelelahan, enggak bisa ngeden lagi. Saat itu aku, dan sanak keluarga disitu nangis sejadi-jadinya. ", begitu Bang Dirman mengisahkan pengalamannya. Jadi teringat juga cerita Bang Ridwan. "Nangis aku, ngeri kali aku ngeliatnya (dengan logat medan). Yang namanya antara hidup dan mati itu benar", Bang Ridwan salah satu supir di kantorku menuturkan bagaimana perjuangan istrinya melahirkan.
"Antara hidup dan mati". Kalimat itu tiba-tiba membuatku (kembali) ingat Mamah. Perbuatanku yang banyak mengecewakannya, hari-hari ketika aku menjadi duri dalam keluarga, dan hampir tak ada hal baik yang kuperbuat, sementara begitu besar cinta yang telah beliau berikan, berkelebat di benakku.
Saat kucoba mengingat apakah ada hal yang membuat mamah bangga pada diriku, dibenakku malah muncul ketika mamah malu pada tetangga, malu pada guru-guruku di sekolah, malu pada saudara, bahkan malu pada dirinya sendiri, karena begitu sulitnya mengajakku memperbaiki diri, bahkan sekadar untuk mengurangi kenakalanku.
Mataku mulai pedih, berembun dan saat itu tak terasa ada yang mengalir di sela-sela mataku. Ada yang bergejolak di dadaku dan seperti ada yang meleleh. Pertahanku jebol, aku tersungkur. Pilu.
Ya Rabb, hamba mohon dengan sangat, berikanlah kebahagiaan yang tiada habis hingga akhir hayatnya, pada mamahku. Dan jadikanlah hamba salah satu pintu kebahagiaannya.
Medan, 07 Juni 2009