Saya trenyuh melihatnya menggendong barang dagangan sedemikian banyak. Bakul, tampah, kipas, aseupan semua barang terikat selembar kain panjang lusuh. Berjejalan membebani punggung. Perniagaannya dimulai selepas subuh. Perjalanan yang kerap menaiki mobil bak terbuka yang ringkih, namun acapkali juga ditempuh dengan meretas jalan menurun dan mendaki selama dua jam untuk tiba di tempat tujuan. Transaksi dicari dengan cara berjalan dari satu rumah ke rumah yang lain, dari satu desa melewati desa berikutnya. Tawar menawar yang ketat dari pembeli hanya menghasilkan laba dua ribu rupiah per-item barang. Tak jarang malah hanya dijual modal saja, daripada dibawa pulang kembali akan sangat berat dan repot ujarnya.
Selepas dzuhur, dia akan kembali ke rumah. Menjalani tugas berikutnya Sebagai seorang ibu dari tujuh orang anak. Suaminya sendiri bekerja sebagai penjaga kebun dan bercocok tanam pada ladang seadanya.
Kedatangannya di rumah saya rutin pada pukul 11 siang. Tanpa bosan dia menjajakan barang dagangannya. Ada beberapa yang kami beli. Namun sayangnya, kami tidak membutuhkan untuk membeli barang tersebut setiap hari. Akan tetapi kami kadang mengharapkan kedatangannya. Paling tidak dia bisa mengaso di rumah kami. Merasakan semilir angin untuk mendinginkan badan yang tersengat terik.
Segelas teh manis dan dan sedikit kue (jika ada) menemaninya melepas lelah. Kemudian, ibu saya akan menghidangkan sepiring nasi dengan lauk yang kami punya hari itu. Kami semua memintanya untuk tidak sungkan datang. Mudah-mudahan kami bisa menyuguhkan jamuan itu setiap kali dia ada. Kasihan jika laba yang tak seberapa harus berkurang lagi untuk biaya makan.
Setelah beberapa minggu tidak muncul dikarenakan sakit, kali ini beliau datang seperti biasanya. Untunglah nasi dan lauk sudah matang. Segelas minum dan sepiring nasi hangat usai dinikmatinya. Sebelum beranjak pergi dia memaksa kami untuk menerima bakul dagangannya sebagai tanda terima kasih. Saya menolak dengan halus, sungguh kami belum membutuhkan itu.
“Kalau begitu tampah saja ya, ambil Neng,” beliau masih memaksa “Nggak usah Bu, terima kasih. Nanti kalau kami butuhkan, saya akan bilang ke Ibu. Jangan sungkan-sungkan, ibu mampir ya kalau sedang lewat ke sini.”
Dengan rasa segan yang tertahan dia kembali melanjutkan perjalanannya. Tumpukan barang yang menggunung di pungung mengharuskan dia untuk berkeliling lebih jauh.
Saya hanya hendak bercermin dan memaksa hati agar bisa belajar dari setiap peran yang dijalani seorang wanita dari berbagai peran. Yaitu sosok wanita yang menjalani profesi sebagai ibu sekaligus pengemban tanggung jawab strategis sebagai pencari nafkah.
Ibu itu sungguh perkasa. Berkeliling dalam segala cuaca. Ruang kerjanya adalah alam bebas yang tidak bisa disetel berapa derajat suhu yang diinginkannya. Perjalanan berkilo-kilo itu ditempuh tanpa tahu pasti berapa banyak nilai rupiah yang akan dibawa pulang.
Kini, bandingkan dengan kita yang bekerja di dalam ruangan berpendingin. Kulit kita jarang tersentuh sengatan matahari. Kita tidak harus berjalan berkilo-kilo untuk mendapat gaji yang sudah pasti nilainya. Walaupun besaran penghasilan kita tidak sama, sebagian besar dari kita masih mendapatkan tunjangan makan, tunjangan pengobatan dan kenikmatan lain yang nyaris tidak dimiliki oleh para pedagang kecil yang berkeliling itu.
Mungkin benar, tidaklah adil jika saya membandinglan dengan sosok ibu tersebut. Latar pendidikan kita berbeda, tingkat keterampilannya pun berbeda. Namun, jika selama ini gelisah dan rasa kurang sering menyergap, ke manakah perginya rasa syukur ini?
[email protected], untuk ibu-ibu pekerja, terima kasih atas sodaqohnya bagi keluarga.