Namun ibu adalah senantiasa seorang ibu. Sang ibu pun memaafkan karena tak rela buah susuannya dibakar hidup-hidup. Ia lupakan luka hatinya yang terabaikan bertahun-tahun demi buah hati yang dikandung selama sembilan bulan dan disusui dua tahun dengan kasih sayang dan tanpa bayaran.
Alqomah pun meregang nyawa dengan tenang berkat ridho ibunya. Malin Kundang adalah Alqomah yang bahkan lebih bejad. Bertahun-tahun merantau tanpa kabar, ketika pulang dengan predikat saudagar kaya, ia campakkan ibunya yang dianggapnya tak sederajat dengannya. Berhati-hatilah dengan kutukan seorang ibu yang terlanjur luka hatinya digarami. Laut pun bergejolak dahsyat. Alam meradang hebat. Kapal mewah sang anak durhaka pecah dihantam ombak. Karam. Si Malin pun membatu, sebatu hatinya menolak mengakui sang ibu. Ibu yang berpredikat mulia adalah perempuan.
Kaum yang juga dimuliakan Tuhan dan para Nabi dan dijamin kedudukannya yang sama sesuai fitrah Tuhan. Bahkan, jika Anda punya dua anak perempuan, ada sebuah privilege di akhirat sana bagi orang tua yang mampu mengasuh dan membesarkan kedua putri nya tersebut dengan baik dan berakhlak. Konon diperlukan perjuangan lebih keras untuk mengasuh dua anak perempuan baik secara sosial atau mental.
Namun, entah apa terlintas di benak Anda dengan sebuah peraturan resmi yang terpahat di sebuah monumen kota di Fulgham v. State, Alabama, Amerikat Serikat, pada 1871: “Adalah suatu privilege dari nenek moyang bahwa seorang suami yang memukul isterinya dengan tongkat, menjambak rambut, mencekik, meludahi muka atau menendangi serta membebankan benda berat di atas tubuhnya sebagai tanda penghinaan tidak dinyatakan bersalah dalam hukum.”
Di belahan bumi lain, perempuan India harus bekerja keras mengumpulkan mahar bagi sang calon suami agar tidak dianggap “sampah hidup” yang membebani keluarga karena terlahir sebagai perempuan. Di masa Arab jahiliyah, bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup di tengah gurun panas.
Di Nusantara, dunia R.A Kartini dan Dewi Sartika pun terbelenggu dalam tiga ruang: dapur, sumur dan kasur. Bahkan ada pepatah Jawa yang menyatakan sebagai segaraning jiwo laki-laki, perempuan akan mengikuti suaminya kemanapun, baik surga atau neraka. Senyawa betul dengan syair Sabda Alam gubahan Ismail Marzuki,”Sejak dulu wanita dijajah pria…..”
Dalam kitab suci salah satu agama bahkan disebutkan Hawa (disebut juga Eva) adalah pangkal terusirnya manusia dari surga. Iblis yang yang menyamar sebagai ular mula-mula membujuk Hawa untuk memakan buah keabadian—yang dalam literatur Islam disebut sebagai buah “khuldi”. Konon, Hawa memakan habis buah itu. Sementara Adam yang lebih rasional sejenak tersadar untuk kemudian berusaha memuntahkan kembali. Terlambat. Buah laknat itu terlanjut tersangkut di kerongkongannya, dan menjadi pembeda antara Adam dan Hawa. Itulah jakun, yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai “Adam’s apple”.
Mitos itulah yang menyuburkan stereotipe perempuan dalam banyak kebudayaan di dunia sebagai sumber bencana, yang lemah dan tak berdaya. Perilaku selibat (baca: tak menikah selamanya) pemuka agama tertentu adalah manifestasi keyakinan pada mitos tersebut. Karena takut derajat kesucian mereka terkotori dengan menikahi perempuan. Entahlah bagaimana mereka melampiaskan nafsu kodrati kepada lawan jenis yang notabene merupakan fitrah Tuhan yang tak terelakkan. Di zaman modern pun sebagian pakar biologi yang pro-patriarkis menganggap tingkat evolusi perempuan berada di bawah laki-laki.