Ibu Bagi Ayahnya

Ia adalah bungsu dari empat perempuan bersaudara. Namun, namanya tercatat harum dalam sejarah mengalahkan tiga nama kakaknya. Dilahirkan sekitar lima tahun sebelum ayahnya menerima wahyu pertama.

Kelahirannya dirancang Allah untuk mengambil setting dan momentum besar dan bersejarah yang mengaruniai julukan untuk ayahnya dengan “Al-Amin”. Peristiwa peletakan hajar aswad setelah Ka’bah dibangun kembali oleh kaumnya.

Ketiga saudaranya pun pelahan meninggalkan rumah karena telah dipersunting oleh para sepupunya yang kaya dan memiliki kedudukan terhormat di hadapan para pembesar Quraisy. Meski kemudian bercerai karena kakak-kakaknya sangat mencintai kemurnian akidah dan berpisah dengan kematian suaminya.

Ia tumbuh dalam kasih sayang Ibunya yang sangat dewasa, lembut dan penuh pengertian. Ia tumbuh bersama cinta dan kesahajaan.

Ia tumbuh bersama perjuangan ayahnya. Ia melihat langsung bagaimana ayahnya yang dipercaya kaumnya ternyata disakiti dan dianiaya. Dengan mata kepalanya ia menyaksikan saat ayahnya ditarik-tarik rida’nya saat beribadah di depan Ka’bah. Ayahnya yang sabar dengan perjuangan kebenaran ini. Hingga tangan Abu Bakar terulur menyapanya dan mengusir kezhaliman itu. “Apakah kalian menyakiti laki-laki ini hanya karena ia menyembah Allah?” Abu Bakar membela ayahnya. Kelak laki-laki ini menjadi sahabat dekat ayahnya. Bahkan sahabat terdekat yang disayangi dan dicintai ayahnya.

Dua nuansa pembinaan membuatnya menjadi perempuan yang bukan sembarang perempuan. Nuansa pembinaan yang sarat dengan cinta dan kelembutan, kesahajaan serta selalu penuh dengan perjuangan.

Bahkan saat ibunya meninggal dunia, pada tahun ke sepuluh dari kenabian. Dengan serta merta ia pun menjadi dewasa di usia mudanya. Saat ayahnya kehilangan istri juga paman hanya dalam satu bulan berselang. Ia pun menjelma sebagai “ibu” bagi ayahnya. Ia mendukung penuh perjuangan ayahnya. Dalam tiga tahun ia mewakili peran ibunya meski tentu tak semua peran dapat diwakilinya. Hingga saat berhijrah dan ayahnya pun mendapatkan pengganti ibunya. Perempuan muda yang cerdas yang menjadi pendamping ayahnya, anak dari sahabat terdekat ayahnya, Aisyah. Perempuan itu terpaut sekitar 8 atau 9 tahun lebih muda darinya.

Sungguh sejarah pun mencatat masing-masing mereka. Dua perempuan muda ini adalah perempuan terdekat Rasulullah Saw. setelah seorang perempuan yang sangat dewasa yang sangat berarti bagi perjuangan dan hidup beliau.

Kembali ke perempuan yang sedang kita bicarakan. Ia adalah Fathimah Az-Zahra.

Ketika penganiayaan terhadap ayahnya juga kaum muslimin semakin meningkat terutama dalam tiga tahun setelah wafatnya Khadijah dan Abu Thalib. Saat perintah berhijrah turun sebagai jalan menuju kemenangan. Ia turut membantu persiapan ayahnya. Dan ia pun tetap tinggal bersama kakaknya, Ummu Kulsum.

Hingga datanglah utusan Rasul Saw yang menjemput ia dan kakaknya, menyusul ayah mereka di Madinah. Perjalanannya ke Madinah tidaklah aman dan berjalan mulus. Ia menjumpai halangan dan rintangan yang cukup berat. Sebagaimana kaum Quraisy memburu, ia pun tak lepas dari bidikan kekejian ini.

Al-Huwairits bin Naqidz, seorang bejat mengejar mereka. Dia adalah diantara orang yang menyakiti ayahnya ketika di Makkah. Al-Huwairits mendapatkannya di perjalanan ke Madinah bersama kakaknya. Ia dan kakaknya terjerembab dari atas tunggangan. Jatuh di atas padang pasir yang garang dan panas. Ia dihinakan dan disakiti oleh kebejatan al-Huwairits yang tertawa-tawa mengejek bersama kaumnya. Hingga setelah puas ia pun meninggalkan dua bersaudara itu.

Sungguh ketika ia sampai ke Madinah bersama kakaknya dalam kondisi yang menyedihkan. Tubuh yang lemah dan terlihat bekas penganiayaan. Saat itu, tiada seorang pun penduduk Madinah yang tidak melaknat perbuatan al-Huwairits. Maka sangat pantas ia mendapat balasan setimpal atas kejahatannya menyakiti perempuan mulia ini. Kelak pada tahun ke delapan hijriyah, al-Huwairits menjadi salah satu diantara nama-nama yang hendak dipenggal dimana pun ia berada dan bersembunyi. Dan tugas itu dilakukan oleh suaminya, Ali bin Abi Thalib.

Saat rumah tangga Rasul Saw kedatangan perempuan baru yang menggantikan perannya, ia pun tetap setia mendampingi ayahnya. Ia bahkan tidak sekali pun membayangkan seperti ketiga kakaknya; mendapatkan pasangan hidup yang kaya dan terpandang. Entah itu kakak sulungnya, Zainab. Atau Ruqayyah dan Ummu Kulsum yang dipersunting saudagar kaya dan terpandang sekelas Usman bin Affan.

Ia qanaah dengan kesahajaan yang dibina ibu kandungnya, perempuan agung yang dikenal sejarah kemanusiaan, Khadijah.

Namun, tak dinafikan perempuan muda yang shalihah ini mendambakan seseorang. Seorang laki-laki yang dengannya ia berharap ridha Allah. Yang dengannya ia bisa berbuat lebih banyak sebagaimana ia melayani ayahnya. Ya laki-laki itu tak jauh darinya.

Ia adalah anak paman ayahnya, Ali bin Abi Thalib. Hanya saja ia tak berani mengatakannya. Bagaimana pun keluarga Ali berjasa bagi ayahnya. Mereka yang mengasuh ayahnya sepeninggal neneknya. Di rumah Ali, ayahnya tumbuh dan dilindungi serta disayangi. Meski, Abu Thalib, ayah Ali tidaklah berada dalam barisan dakwah ayahnya, Muhammad saw. Disamping itu Ali adalah laki-laki kecil pertama yang beriman pada ayahnya. Ali adalah laki-laki yang cerdas yang dijuluki ayahnya dengan “pintu ilmu”. Ia mengangankan tapi tak berani mengatakan. Ia mengetahui posisi Ali yang agung.

Ali pun merasa demikian. Fatimah adalah anak dari gurunya. Anak seorang pemimpin dan nabi umat ini. Apakah dirinya laik mendampingi perempuan mulia ini? Apalagi setelah dua sahabat agung, Abu Bakar dan Umar mundur dengan pinangannya. Rasul Saw, belum berkenan dengan beliau berdua. Ada lelaki lain yang ditunggu putrinya.

Sahabat-sahabat Ali pun memompa kepercayaan Ali. Hingga ia berani menghadap Rasulullah saw, meski dengan lidah yang sangat kelu untuk menyebutkan hasrat sesungguhnya dan maksud kedatangannya waktu itu.

Rasulullah Saw. menangkap hal lain dengan kedatangan pemuda yang santun ini. Ada hal yang sangat penting yang akan disampaikannya sehingga pemuda ini tak sanggup mengatakannya. Maka Rasul pun mendekatinya dan menanyakan dengan pelan dan kasih sayang, “Gerangan apa maksud kedatangan putra Abu Thalib?”

Dengan mata terpejam dan suara yang lemah, pemuda itu pun menyahut, “Aku mengingat Fatimah, putri Rasulullah”.

Rasul pun tersenyum seraya mengabarkan berita gembira yang membuat hati pemuda itu berbunga-bunga, “Ahlan wa marhaban (selamat datang)” dalam riwayat lain disebutkan “Dia untukmu, Ali!”

Dan perempuan mulia itu pun akhirnya bersanding dengan pemuda agung ini. Pemuda agung yang juga sarat dengan kesahajaan. Ia pun sempat kebingungan, dengan apa ia akan menikah. Ia segera teringat akan baju besinya. Ustman bin Affan membelinya seharga 470 dirham. Sebagian diserahkan Rasul, sebagian diserahkan Bilal untuk membeli wewangian sisanya diberikan Ummu Salamah untuk membeli peralatan pengantin dan segala kebutuhannya.

Fatimah muda segera berpindah rumah dari keluarga ayahnya menuju rumah tangga yang dibangunnya bersama Ali. Ali tidaklah sekaya Ustman atau Abdurrahman. Maka, penempaan kesederhanaan ibunya lah yang menjadikannya tetap sebagai perempuan tangguh, tabah dan bersahaja serta mencintai fakir miskin.

Dia yang putri seorang pemimpin dan nabi umat ini tidak dengan manja menikmati fasilitas. Justru sarat dengan kesederhanaan. Hidupnya penuh pengorbanan dan perjuangan. Kedua tangannya pun kasar sebagai tanda bahwa ia tabah dengan hidupnya. Tak ada pembantu di rumahnya.

Dan nasab, kata ayahnya, tak sanggup menyelamatkan seseorang dari murka Allah. Maka ayahnya memerintahkan padanya untuk banyak beramal baik. Dan jika ia menyeleweng maka murka ayahnya akan didapatinya lebih dari yang lainnya. Jika Fatimah mencuri maka tangannya pun tak dapat disembunyikan dari kemurkaan ayahnya.

Sungguh perempuan mulia ini patut dan laik dimuliakan sejarah. Dari rahimnya yang suci tersambung keturunan Rasulullah. Dari kesabaran dan kesetiaannya bersama Ali, ia memperoleh kebahagiaan dan menuai cinta yang sangat manis. Cinta yang bermuara pada kerelaan Allah dan Rasul-Nya. Maka sangat wajar bila ayahnya sangat dalam mencintainya, “Fatimah adalah bagian diriku, dan diriku bagian darinya”. Siapa yang menyakitinya sama dengan menyakiti ayahnya. Putri bungsu pemimpin umat ini sangat menyayangi dan mencintai ayahnya.

Ia juga sangat pemaaf, dengan segala kebesaran hatinya ia memaafkan kesalahan yang pernah dilakukan suaminya dalam kasus putri musuh Allah, putri Amru bin Hisyam, yang hendak dinikahi suaminya. Bagaimana mungkin suaminya menyatukan dalam satu rumah dua perempuan, putri Rasulullah dan putri musuhnya.

Ia juga yang dengan tekun berguru pada suaminya yang “pintu ilmu” itu.

Ia juga yang dengan lembut menyemaikan cinta di hati dua buah hatinya, Hasan dan Husain, dua cucu kesayangan ayahnya.

Ia juga yang mendukung perjuangan suaminya serta menopang semangat suaminya berjuang bersama ayahnya menegakkan kalimat Allah dan membela agama-Nya, menghadai musuh-musuh ayahnya yang pernah menyakiti keluarganya juga kaum muslimin.

Ia juga yang dengan rajin dan tekun mendekatkan diri dengan Tuhannya memohon dukungan perjuangan ayah dan suaminya.

Hingga datang saat perpisahan dengan kekasihnya, ayahnya yang sangat dicintainya. Sang ayah yang sangat dekat dengannya kembali ke pangkuan Allah. Ia pun bersedih dan tak lama berselang enam bulan berikutnya ia pun menyusul kekasihnya, ayahnya. Menghadap Tuhannya dengan segala pengorbanan dan cinta terhadap Allah dan Rasul-Nya.

Kaum muslimin kembali dilanda kedukaan yang dalam setelah menguburkan jasad putri terakhir Rasulullah saw. Ali pun sangat merasa kehilangan. Ia menangis saat menguburnya di senja hari. Ia kuatkan hati, namun air matanya tak sanggup menyembunyikan kesedihan dari perpisahan ini. Ia melambaikan perpisahan terakhir kemudian kembali ke rumahnya yang sangat terasa sepi sepeninggal Az-Zahra ini.

Ali segera kembali menemui kedua buah hatinya, peninggalan berharga perempuan mulia yang pernah dikenalnya. Berbahagialah Ali yang menjadi pendamping perempuan agung ini sekaligus meraih kehormatan menjadi penerus keturunan Rasulullah Saw. Dan ia harus merelakannya menemui kekasihnya. Perempuan yang pernah menjelma menjadi ibu bagi ayahnya. Fathimah Az-Zahra. RadhialLahu anhum jami’an.

Saiful Bahri