Langit cerah, tak ada tanda-tanda akan turun hujan. Saat itu adalah akhir pekan. Biasanya bagi kebanyakan orang dimanfaatkan untuk beristirahat sambil bercengkrama dengan keluarga. Namun berbeda dengan keluarga satu ini. Justru cengkrama mereka berujung pada perdebatan.
Cerita ini diambil dari sebuah percakapan sepasang suami istri yang terbilang keluarga harmonis. Namun kini sang Istri merasa tak pernah hidup berbahagia, karena menurutnya mengukur kebahagian dilihat dari pijakan surga dan neraka. Sebuah fenomena yang terkadang kita sendiri tak pernah tahu dimana letak surga dan neraka. Sebut saja mereka, Siti dan Badrul.
Sudah 10 tahun mereka mengarungi bahtera rumah tangga. Dari hasil buah cintanya, mereka dikarunia 3 orang anak. 2 pasang masih Balita sedangkan yang tertua lelaki yang sudah memasuki usia sekolah dasar (SD). Siti memang aktif disebuah pengajian pekanan (halaqah) dari sebuah ormas tertentu. Setiap orang pastinya tahu, karena ciri khasnya dengan jubah dan jilbab panjang.
Sedangkan suaminya hanya seorang pria biasa yang bekerja di sebuah perusahanan keluarga dengan penghasilan cukup di Jakarta. Namun dalam urusan beribadah, Badrul tak kalah dengan istrinya. Bapak yang bercita-cita selalu ingin berbuat baik kepada semua orang, tak pernah ketinggalan dalam urusan sholat fardhu dan tilawah sedangkan puasa sunnah terbilang relatif jarang. Padahal bapak murah senyum ini, menurut warga terdaftar jamaah masjid dikampungnya. Tapi kenapa istrinya tak menilai itu?
Sekarang kita mulai percakapan mereka. “Bapak berazam jika meninggal nanti akan ditempatkan disurga oleh Allah Swt,”ucapnya ketika usai bercengkerama ngalor ngidul disebuah ruang tengah. “Kamu pasti akan bahagia bersama anak-anak, jika kita bertemu disana,”senyumnya kembali. Namun apa yang terjadi.
Badrul terasa terhentak, senyum manisnya justru dibalas sang istri dengan umpatan balik bertanya. ”Surga ! mana mungkin. Bapak saja, sholat ke masjid saja jarang. Puasa sunah gak pernah. Surga jauh dari bapak,”umpat tiba-tiba kesal.
”Apakah dengan beribadah ke masjid dan seringnya puasa sunnah. Apakah cukup mendapatkan surga,”balas suaminya yang ternyata juga geram melihat tiba-tiba istrinya geram.”Ya, iyalah..jika kita dekat dengan Allah terlebih sering ke masjid.
Untuk melangkah ke sana saja sudah mendapatkan point pahala,”jawab istrinya”,..tapi bagaimana ibu tahu bahwa bapak tak pernah dapat menginjak surga nanti. Memang ibu Tuhan,”Badrul tak mau kalah. ”Emang para mubalik (ustadz), sudah pasti ia mendapat tiket ke surga ?,”balasnya meminta jawaban. Istri diam. Dan kali ini ia menjawab tersendak.”Pasti,”pungkasnya.
Sejumlah ustadz banyak yang mengusung isi ceramahnya dengan kebajikan, cerita Badrul tenang pada istrinya, namun ditengah masyarakat sendiri ternyata, ia kikir, bermuamalat saja jarang, bahkan ada seorang ustadz (pemimpin jamaah) telah menzolimi orang, ketika ia telah menyepakati (mou) suatu kegiatan namun usai kegiatan tak kunjung dibayar, lalu akhirnya dapat dibayar ketika si penagih akan mengancam membeberkan permasalahan ini ke publik (media). ”Apakah ia pantas masuk surga,”tandasnya. Sang istri diam membisu.
Bahkan ada sebuah tulisan karangan seorang sastrawan, cerita badrul kembali bertubi-tubi, ia menulis seorang pelacur yang rajin beribadah namun ia rela menjajakan dirinya untuk kebutuhan ekonomi keluarganya. Ia mengaku berdosa dan dalam sholatnya ia selalu menangis dengan profesinya ini. Lalu diceritakan ketika ia wafat, justru ia masuk surga dibanding para ustadz (iman masjid) yang rajin beribadah namun masuk neraka.
Pasalnya si ustadz tersebut hanya berurusan dengan tuhanya saja sedangkan anak dan istrinya terlantar tidak diberi nafkah. ”Sekarang apakah bapak pernah menelantarkan keluarga?,”tegasnya. Wajah istrinya memerah. Takut berkepanjangan akhir kedua membisu. Dalam hitungan menit akhirnya kecerian kembali terjadi, sang anaknya berlari berpangku pada sang ibunya sambil bercerita apa yang dilihat hari ini.
Melihat kejadian tersebut. Singkat cerita. Mereka tak lagi meneruskan pembicaraan. Menurut Badrul konflik ini memang sering terjadi jika bersingungan dengan masalah surga dan neraka. Badrul menagakui bahwa istrinya berniat baik tapi caranya berbeda, maklum saja di pengajian istri seorang aktifis dakwah sedangkan Badrul hanya seorang pegawai rendahan. Merasa istrinya sudah berbeda. Badrul merasa heran.
Badrul mengakui dulu sang istri adalah seorang wanita soleha dimatanya namun sejak setahun ini berbeda. Istrinya selalu berharap-harap Badrul menjadi seorang ustadz seperti suami rekan-rekan pengajiannya. Pertanyaanya apakah semuanya benar-benar seorang ustadz ?. Badrul beranggapan menjadi orang ustadz cukup berat, karena jika diakhir zaman, ia akan ditanya terlebih dahulu apa yang diperbuat sudah benar. Ulama, ustadz adalah orang soleh yang selalu memberikan terbaik bagi kemaslahatan umat, benaknya.
Esok paginya. Tak ada lagi kecerian keluarga. Hanya melihat ketiga anaknya saja hati mereka luluh. Namun ketika Badrul berangkat bekerja. Ia masih bertanya pada dalam hati, apakah ia dihianati istri. Kenapa?.
Dulu begitu indah, karena sejak awal, istrinya pernah mengatakan menerima Badrul apa adanya. Celoteh demi celoteh terus terjadi sepanjang keduanya ingin mencari kebenaran . Sejak kejadian tersebut, kedua belum mengatakan kata sepakat untuk berujung ke pengadilan agama. Celoteh diatas bukan sebuah cerita picisan yang belum berakhir. Cerita ini hanya sebuah pelajaran dari sebuah keluarga aktifis dakwah.
Melihat kejadian seperti ini, kita harus banyak bercermin. Seharusnya Badrul dan Siti juga memikirkan ketiga anaknya dan masa depannya kelak. Hidup bukan hanya melulu akhirat. Bukankah surga dan neraka hanya sang Khalik yang lebih tahu. Apalagi mengatakan benar dan salah. Wahua’lam Bishawab. …