Musim ini berbulir basah karena hujan acapkali menyapa, baik secara rutin maupun tiba-tiba. Pengujung April ini menyisakan kisah sederhana yang tak mungkin bisa saya abaikan begitu saja. Sebab, di situ mungkin masih ada cinta.
***
April 2009 ini berita-berita tentang isu dan perkembangan politik dan rekapitulasi hasil pemilu legislatif menjadi menu yang hampir tak pernah absen tersaji di media massa, media online, maupun media elektronik. Bosan dan menjenuhkan!
Pada suatu kesempatan, kebetulan saya mengedit berita kriminal untuk diterbitkan keesokan harinya. Seorang perempuan muda nyaris dimassa karena ketahuan menjambret handphone milik seorang perempuan di kawasan Jembatan Merah, Surabaya. Mulanya, seorang saksi menyebut bahwa perempuan pejambret tadi tampak seperti orang kebingungan yang berjalan di jembatan yang menjadi salah satu saksi bisu perjuangan heroik arek-arek Suroboyo di masa revolusi fisik dahulu.
Melihat ada calon mangsa yang rupanya sedang menunggu angkot, pejambret tadi berpura-pura menanyakan jam. Tergiur dengan handphone yang dipegang korban, si jambret nekat merebut paksa handphone berkamera tersebut.
Kontan, korban berteriak menunjuk perempuan muda yang kebingungan tadi. Tak butuh waktu lama, massa berdatangan, mengejar, dan membekuk tukang jambret itu. Beruntung, ada petugas yang segera mengamankan tersangka dari amuk massa.
Kepada polisi, tersangka mengaku baru kali pertama menjambret. Dia beralasan butuh uang karena terdesak kebutuhan ekonomi. Tentu saja, aparat tak lantas percaya begitu saja terhadap pengakuan tersebut. Dia terancam dibui selama beberapa bulan, bahkan tahun, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
***
Sekilas berita kriminal di atas ringan dan sudah biasa kita baca di surat kabar atau kita tonton di televisi. Sama biasanya dengan penjahat kelas teri berisiko tewas dihajar massa bila tertangkap, sedangkan maling berdasi hanya berisiko mengenyam bui selama beberapa tahun. Tidak sebanding memang, tapi itulah wajah penegakan hukum di negeri ini.
Warga bisa menjadi hakim yang dapat menjatuhkan vonis kematian bagi maling ayam atau pencopet. Bagi para penjahat dari kaum kelas bawah, tak ada alasan pembenar. Mereka dianggap sampah yang mesti dibersihkan, bahkan dimusnahkan kalau perlu.
Seorang wanita yang terpaksa mencuri dua dus susu di sebuah toko swalayan dengan alasan demi balitanya bisa terancam dianiaya dan disel bila tertangkap. Perbuatannya memang termasuk salah karena mengambil barang yang bukan haknya. Namun, pernahkah kita tebersit untuk menelusuri aspek sosial lebih dalam yang menyebabkan wanita itu mencuri?
Banyak faktor memang. Salah satunya kemiskinan. Impitan ekonomi kadang bisa membuat orang gelap mata. Tak tahan anaknya tak minum susu, lahirlah pikiran untuk mencuri. Sekali berhasil, akan ketagihan mencuri lagi. Penjara mungkin tak mampu membuat jera. Tapi, pantaskah kita menjadi hakim bagi mereka, maling yang terpaksa mencuri demi bayinya?
Seorang koruptor yang tertangkap karena terbukti menggelapkan uang negara bisa dengan mudah menghirup udara bebas dan melepas senyum dengan jaminan sejumlah uang. Apa yang tidak mungkin di negeri ini? Hukum saja bisa dibeli.
***
Saya tak hendak membela penjahat kelas teri seperti kasus wanita tadi. Dia memang bersalah dan pantas dihukum. Namun, jangan karena cuma menjambret handphone atau mencuri dua dus susu, kita lantas bisa menghakimi dan menghajarnya beramai-ramai.
Wanita maling susu tersebut bisa saja merupakan pahlawan bagi balitanya. Karena susu tak terbeli, penghasilan suami tak mencukupi, dan dihantui gizi buruk, maka mencuri seolah menjadi solusi terakhir.
Kesenjangan sosial di masyarakat kita memang amat kentara. Kemiskinan dan kebodohan menjadi musuh besar negeri yang sebenarnya kaya sumber daya alam ini. Kemiskinan dan kebodohan menjadi awal lahirnya kejahatan atau tindakan kriminal.
Sayang, justru koruptorlah yang tumbuh subur dan kian merajalela. Kekayaan dan potensi sumber daya alam dikeruk habis-habisan tanpa bisa dinikmati hasilnya oleh rakyat. Akibatnya, jurang antara si miskin dan si kaya kian melebar.
***
Di pengujung April ini, saya sempat mengeluhkan hujan yang tak datang di saat saya harus beraktivitas di tengah terik, di saat saya membutuhkannya. Ketika bibir ini terasa kering dan keringat mengakrabi wajah, hujan bisa menjadi pahlawan.
Namun, hujan mungkin tak datang karena malu disebut pahlawan meski belum saatnya datang kemarau. Sebab, ia mungkin merasa ada orang lain yang pantas disebut pahlawan seperti wanita yang mencuri susu tadi. Bagi orang lain, dia musuh. Tapi, bagi bayinya, dia adalah pahlawan. Sebab, dia masih punya cinta. Ya, dalam kesalahannya, masih ada cinta.
Jikalau Tuhan saja mengasihi hamba-Nya tanpa terkecuali, maka tak ada alasan bagi kita untuk berbuat zalim terhadap sesama. Apalagi bila itu dilakukan dengan tidak melihat dulu alasan dan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Cukuplah Allah sebagai hakim paling adil, janganlah kita bersikap untuk menandinginya.
Surabaya, 27 April 2009
[email protected]