Muhammad Yasin, aku mahasiswa Universitas Al-Azhar, Mesir. Hari ini, Jumat 24 Oktober 2008, dua kali hujan menyapa Kairo. Setiap kali hujan mengguyur kota Kairo, selalu saja ada segudang rindu yang membuncah di dalam dada. Rindu akan kampung halaman yang menggelora. Apalagi bagi diriku yang hampir 4 tahun kuliah di Mesir. Negeri para nabi yang sangat jarang disapa hujan.
Tidak hanya bagiku, saat hujan berhamburan menimpa negeri Seribu Menara berdebu, kebahagiaan pun tampak memancar di wajah-wajah masyarakat Mesir. Sepulang dari shalat Jumat di Masjid Al-Salam, seorang bocah Mesir melompat-lompat girang di bawah rintik-rintik hujan. Kesenangan hari ini bagi orang Mesir, bisa jadi juga karena hujan merupakan pertanda pergantian musim. Berarti musim panas akan berlalu, dan orang Mesir kebanyakan lebih menyukai musim dingin.
Nashr City, Bawabah Ula, Flat 13, 15.20 CLT, masih hari ini, aku terbangun dari qailulah, tidur sejenak di siang hari. Kuarahkan pandanganku ke arah jendela, ternyata subhanallah! Hujan begitu lebat menyirami jalanan dan rumah-rumah yang tersapu oleh pandanganku.
Dari jendela yang hanya terbuka sebelah, kunikmati paronama yang jarang terjadi seperti ini. Dari lantai dua ini, mataku menangkap kebahagian di wajah 3 bocah Somalia yang ada di depan flat. Mereka tertawa, berlari ke sana-ke mari, dan bermain bersama genangan air jalanan, sambil menikmati hujan yang telah membasahi baju-baju mereka.
Aku pun turut gembira, menyaksikan kegembiraan itu. Tapi setelah itu, melihat wajah polos ketiga bocah berkulit hitam tersebut, aku teringat sesuatu yang mengubah kebahagiaanku menjadi buncahan kesedihan. Kuteringat akan kampung halaman mereka, Somalia. Sebuah negara Muslim yang tidak diakui dunia.
Negara yang dihantui perang saudara, bahkan, tank-tank Ethiopia, kapal induk Amerika, dan pesawat AC-30 yang mematikan pun pernah memporak-porandakan negeri tanduk Afrika itu pada Senin 22 Januari 2007. Saat ini, kematian bisa menjemput kapan saja, seperti pemandangan lainnya di Palestina, Irak, dan negeri muslim lainnya. Sketsa kumpulan manusia yang tidak merasa aman akan dirinya, keluarganya, hartanya, dan negaranya.
Melihat 3 wajah bocah Somalia yang menari-nari di bawah hujan, mengingatkanku jua akan sulitnya menjalani hari-hari musim kemarau di negara yang terletak di Afrika Timur itu. Beberapa waktu lalu, 14 September ’08, dunia memberitakan sekitar 3 juta warga Somalia membutuhkan bantuan sebelum akhir 2008, karena tingginya harga bahan pangan, krisis keamanan, dan kemarau yang menjadi fenomena biasa, melanda. Bila musim panas dahsyat itu tiba, jangankan mengharapkan turun hujan dari langit, air yang ada di sungai saja bisa kering.
Sungguh beruntung negeriku Indonesia, bisa sering hujan menyapanya. Bila hujan menyebabkan bencana, itu juga ulah manusia serakah, yang tidak bersyukur akan limpahan karunia Allah. Sungguh beruntung negeriku, bisa bersahabat dengan hujan.
Bila biasa, maka hujan itu juga biasa. Tapi sungguh di balik seluruh ciptaan Allah, termasuk hujan, menyimpan tanda-tanda kekuasaan Allah yang begitu nyata. Sungguh celaka hamba-hamba yang durhaka terhadap Tuhannya, padahal air yang menemani perjalanan hidupnya adalah dari Allah.
Allah berfirman yang artinya, "Maka terangkanlah kepadaku air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Kalau Kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia asin, maka kenapakah kamu tidak bersyukur?" (QS. Al-Waqiah [56]: 68-70).