Kian banyak kaum wanita tertipu manisnya bujukan kapitalisme dan budak sahwat, rela “menjual” diri ke publik dan makin banyak wanita hilang rasa malunya
Oleh: Muhammad Syafii Kudo
Suatu ketika saat Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu pulang ke rumahnya, beliau terlihat seperti orang yang sedang berfikir keras. Melihat gelagat yang kurang nyaman itu, Sayyidah Fatimah az Zahro lantas bertanya kepada suaminya itu perihal apa yang sedang dipikirkannya.
Lalu ayah dari Sayyidina Hasan dan Husein itu menceritakan pertanyaan dari Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam kepada para sahabatnya yang kebetulan tidak ada satu pun yang bisa menjawabnya. Pertanyaan itu adalah, “Siapakah wanita terbaik itu?”.
Mendengar penjelasan itu, lantas Sayyidah Fatimah az Zahro menjawab bahwa wanita terbaik adalah wanita yang tidak pernah melihat lelaki yang bukan mahramnya (ajnabi) dan tidak pernah pula dilihat oleh lelaki lain (ajnabi).
Jawaban Sayyidah Fatimah az Zahro ini kemudian disampaikan oleh Sayyidina Ali kepada Rasulullah ﷺ dan beliau membenarkannya.
Sayyidah Fatimah adalah “fotokopi” dari Rasulullah ﷺ baik dari segi akhlak, kecerdasan, kesempurnaan fisik dan sifatnya. Beliau bahkan dijuluki sebagai Ummu Abiha (Ibu dari ayahnya) sebab sepeninggal Sayyidah Khadijah binti Khuwailid Radiyallahu Anha, maka putri bungsu Rasulullah ﷺ itulah yang mengambil peran utama mendampingi Nabi dalam berdakwah. Beliau sangat “telaten” bagai sosok seorang ibu saat mendampingi Nabi baik dalam suka dan duka.
Sayyidah Fatimah adalah pemimpin para wanita di surga yang sangat menjaga kehormatan dirinya. Dan sifat Iffah beliau itu kelak mendapatkan penghormatan yang tinggi di akhirat.
Disebutkan di dalam beberapa riwayat bahwa kelak saat beliau melintas di atas jembatan Shiratal Mustaqim ada suara yang berseru agar semua manusia menunduk dan memejamkan matanya demi menghormati beliau yang memang selama ini sangat menjaga agar tidak dilihat oleh mata lelaki.
Bahkan disebutkan bahwa cikal bakal keranda mayat yang saat ini lumrah digunakan untuk menutupi tubuh jenazah saat ditandu menuju pekuburan juga tidak lepas dari “jejak” Sayyidah Fatimah az Zahro Radiyallahu Anha.
Diriwayatkan saat Sayyidah Fathimah sedang sakit di penghujung usianya, Asma bintu Umais Radhiallahu ‘anha datang menjenguknya. Maka Fathimah berkata kepada Sayyidah Asma, “Wahai Asma, aku sangat malu ketika harus keluar besok hari di hadapan para lelaki (ketika aku telah meninggal) dan tubuhku dibawa di atas peti mati”.
Peti mati pada zaman itu hanyalah sebuah kayu datar yang terbuka. Tubuh jenazah yang sudah tertutup oleh kain kafan akan diletakkan di atasnya dan ditutup lagi dengan sebuah kain sebagai tambahan. Fathimah as Zahra sangat malu dan sedih ketika membayangkan tubuhnya nanti akan terbentuk oleh kain kafan.
Beliau tidak ingin ada seorang lelaki pun yang dapat melihat bentuk dan lekuk tubuhnya saat ditandu menuju pemakaman. Beliau berkata,
إِنِّي قَدِ اسْتَقْبَحْتُ مَا يُصْنَعُ بِالنِّسَاءِ أَنْ يُطْرَحَ عَلَى الْمَرْأَةِ الثَّوْبُ فَيَصِفُهَا
“Sesungguhnya aku merasa malu dengan apa yang terjadi untuk para wanita ketika mereka dipakaikan sebuah kain kafan, maka kafan itu membentuk tubuhnya”.
Mendengar curahan hati dari Sayyidah Fathimah itu , maka Asma bintu Umais berkata padanya,
يَا ابْنَةَ رَسُولِ اللهِ أَلَا أُرِيكِ شَيْئًا رَأَيْتُهُ بِالْحَبَشَةِ
“Wahai putri Rasulullah , maukah aku kabarkan kepadamu sebuah peti mati yang aku lihat di Habasyah?”
Lalu Asma membuat peti mati yang tertutup dari semua sisinya seperti sebuah kardus. Ketika peti mati sudah jadi, Asma kemudian menutup peti mati itu kembali dengan sebuah kain yang luas sehingga tubuh si mayit yang dibawa di atasnya tidak akan mungkin terbentuk atau tersifati.
Melihat perbuatan Asma tersebut, Fathimah Al Batul begitu bahagia dan sontak berkata kepada Asma,
سترك الله كما سترتني مَا أَحْسَنَ هَذَا وَأَجْمَلَهُ تُعْرَفُ بِهِ الْمَرْأَةُ مِنَ الرَّجُلِ فَإِذَا مِتُّ أَنَا فَاغْسِلِينِي أَنْتِ وَعَلِيٌّ
“Semoga Allah menutup auratmu sebagaimana engkau telah berusaha untuk menutup auratku. Betapa indahnya buatanmu ini, sehingga wanita yang meninggal bisa dibedakan dengan lelaki yang meninggal. Jika aku mati, maka mandikanlah diriku bersama Ali” (HR. Abu Nu’aim Al-Asbahani pada Hilyah Al-Aulia 2/43).
Melihat kisah Sayyidah Fatimah di atas setidaknya sudah ada kesimpulan awal yang bisa diambil bahwasanya kriteria wanita terbaik dalam pandangan Islam menurut Rasulullah ﷺ adalah mereka yang tidak melihat dan dilihat oleh lelaki lain (ajnabi). Dan yang kedua adalah bahwasanya ciri wanita penghuni surga adalah mereka yang bisa menjaga kesucian dan kehormatan dirinya baik secara dhohir dan batin.
Secara dhohir adalah dengan menutup aurat secara maksimal dan secara batin adalah berhias diri dengan akhlak-akhlak yang baik. Dan contoh ini nyata jelas dilakukan oleh Sayyidah Fatimah az Zahro yang merupakan pemimpin wanita surga. Inilah yang mestinya menjadi barometer bagi seluruh wanita beriman.
Mengapa kisah wanita terbaik tersebut penting diketengahkan? Sebab utamanya adalah karena wanita di zaman ini sudah kehilangan sosok uswah yang bisa dijadikan panutan.
Kini kian banyak kaum wanita yang tertipu oleh manisnya bujukan kapitalisme agar bersedia “menjual” dirinya ke publik. Dengan iming-iming mendapatkan ketenaran, kemewahan fasilitas hidup dan berbagai kontrak iklan, para wanita yang tidak membekali diri dengan iman dan ilmu tentu akan sukarela menerima penawaran menggiurkan tersebut.
Jika menilik Karakteristik Sayyidah Fatimah az Zahro di atas, yang paling jelas tampak adalah rasa malunya yang sangat tinggi. Bahkan di kala tubuhnya telah menjadi jenazah sekalipun beliau masih merasa malu jika dilihat oleh orang lain.
Berbeda sekali dengan kebanyakan wanita zaman ini yang mulai putus urat malunya hingga kelakuan hina dan menjijikkan pun bisa mereka lakukan. Dan lebih parahnya lagi terkadang semua itu dilakukan demi sebuah konten untuk mendulang cuan dan atensi pemirsa.
Terbukti kini banyak terjadi para pesohor dan pemengaruh (influencer) yang tersandung kasus pornografi ataupun pornoaksi.
Belakangan ini makin banyak kasus selebriti yang tersebar video “pribadinya” dengan lelaki (bukan suami), ada pula konten yang sedang ramai dimana seorang selebgram berkerudung melakukan aksi menjilat ice cream di depan kemaluan seorang lelaki percis aksi oral seks yang berujung pelaporan ke pihak berwajib karena dinilai berbau pornoaksi dan menistakan agama sebab dia melakukannya dalam keadaan berhijab.
Dan masih banyak lagi aksi-aksi tidak pantas (amoral) lainnya yang dilakukan oleh beberapa pesohor dan pemengaruh di berbagai platform media sosial mereka. Semua ini menunjukkan bahwa rasa malu yang menjadi hiasan utama kaum hawa sudah mulai hilang.
Belum lagi yang sedang rame mengenai aksi pelecehan seksual yang menimpa beberapa peserta kontes kecantikan saat sesi body checking.
Salah seorang peserta bahkan mengaku saat itu dia disuruh untuk bugil dan dilihat area paling pribadinya untuk dicek apakah sudah bercukur (shaving dan Waxing) atau belum. Tidak sampai di situ, (maaf) selakangan si wanita tersebut juga dilihat untuk dinilai dan masih banyak pengakuan lainnya yang kurang etis ditulis di sini .(Lebih lengkap silahkan melihat Podcast YouTube Deddy Corbuzier, edisi Ahad 13 Agustus 2023).
Terlepas benar atau tidaknya kasus pelecehan yang menimpa para peserta kontes kecantikan tersebut, masyarakat terbelah menjadi dua kubu. Ada yang masih kekeuh mendukung dengan hanya menyoroti kasus ini pada masalah pelecehan seksual dan pemidanaan kepada pelakunya saja namun tidak menuntut acara-acara kontes kecantikan semacam itu dibubarkan.
Dan yang kedua adalah mereka yang sedari awal antipati pada ajang kontes semacam ini, yang tentu kian menemukan alasan agar kontes seperti itu dibubarkan saja karena dinilai merendahkan martabat wanita Indonesia yang mayoritas Islam. Di sinilah worldview berpengaruh besar dalam menentukan arah sikap.
Alimatul Qibtiyah, Komisaris Komnas Perempuan dan Professor Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, seperti dikutip media menjelaskan bahwa para feminis sendiri berbeda pendapat dalam menyikapi kontes semacam ini, yang pertama menganggap kontes tersebut sebagai objektifikasi terhadap tubuh perempuan.
Pendapat ini digaungkan oleh feminis gelombang kedua pada era 70-80 an. Namun bagi para feminis gelombang ketiga, kontes semacam itu adalah celebrating beauty dimana hal itu adalah sebuah hak asasi bagi perempuan untuk menampilkan tubuhnya.
Menurut kelompok ini, kontes tersebut bukan melulu objektifikasi sebab mereka memiliki otonomi dan berdaya terhadap tubuhnya tanpa ada intimidasi untuk itu. Artinya para feminis tidak satu suara dalam memandang kontes kecantikan tersebut namun mereka bertemu dalam satu titik sama yakni sama-sama tidak menegasikan otonomi terhadap tubuh perempuan.
Otonomi terhadap tubuh perempuan inilah yang oleh para penganut feminisme digaungkan dalam slogan “My Body is Mine” atau “My Body, My Choice” yang tentu saja sangat membuai kaum wanita modern dan ditangkap sebagai peluang bisnis dan sumber cuan bagi para Kapitalis. Sebab diakui atau tidak, eksistensi para wanita di depan kamera media sosial dan TV hari ini hampir kebanyakan termotivasi oleh faktor materi dan kemasyhuran yang semua itu terikat dalam aturan kapitalisme. Ada yang tidak sadar namun rela menjalani aturan para Kapitalis dan ada juga yang “terpaksa” dan dipaksa menuruti aturan kapitalis agar kelanjutan karir mereka tetap berjalan, seperti dipaksa melepas jilbab, membuka aurat dan yang lainnya jika ingin tetap berada di lingkaran tersebut.
Inilah kematian kedaulatan wanita yang sebenarnya yang tidak disadari oleh sebagian besar wanita saat ini. Fuocault mengatakannya sebagai The Death Of Subject yakni perempuan sebagai subjek telah mati. Dimana ia tidak dapat mengendalikan dirinya sendiri, tetapi telah dikendalikan oleh ideologi dan kepentingan pasar. (Dr. Irwan Abdullah ; Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan, hal. 43).
Sebagai penutup, penulis ingin mengutip kisah yang disebutkan dalam Shahih Bukhari mengenai Shahabiyyah bernama Su’airah al-Asadiyyah yang berasal dari Habsyah.
Seorang wanita kulit hitam yang merupakan penghuni surga sebab kesabarannya dalam menghadapi penyakit ayan (epilepsi). Dikisahkan dia pernah meminta agar didoakan oleh Nabi agar disembuhkan penyakitnya itu namun Nabi menawarkan agar dia bersabar dengan jaminan surga atau didoakan sembuh.
Su’airah al Asadiyyah Radiyallahu Anha akhirnya memilih bersabar dengan penyakitnya itu namun dengan syarat agar didoakan Nabi agar auratnya bisa tetap tertutup saat penyakitnya kambuh dan Nabi mengabulkannya.
Dari beberapa penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa ciri khas wanita penduduk surga dalam pandangan Islam adalah wanita yang memiliki rasa malu, iffah, menutup aurat dan tidak menampakkan diri di hadapan laki-laki serta tidak pula melihat kepada laki-laki ajnabi.
Jika sekelas wanita penghuni surga seperti Sayyidah Fatimah az Zahro masih merasa malu jika kelak jenazahnya dapat dilihat oleh lelaki meskipun hanya lekukan tubuhnya saja dan Su’airah al Asadiyyah merasa malu jika auratnya tersingkap saat tidak sadarkan diri padahal dalam keadaan seperti itu tidak berdosa dalam pandangan hukum Islam, lalu pertanyaannya, bagaimana bisa sebagian besar wanita akhir zaman yang belum mendapatkan kepastian sebagai penghuni surga dan akhlak yang sangat jauh dari Sayyidah Fatimah az Zahro dan Su’airah al Asadiyyah berani membuka auratnya dengan sadar dan penuh kebanggaan? Wallahu A’lam Bis Showab
Pemerhati isu media sosial