Siang itu, selepas acara seminar di Univesitas Yarsi Cempaka Putih, saya menunggu bis jurusan Kampung Rambutan di halte seberang Rumah Sakit universitas itu. Tidak lama kemudian muncullah sebuah bis Mayasari Bakti dengan penumpang yang penuh berjejalan. Saya naik melewati pintu depan. Ketika saya mengetahui bahwa tempat duduk di atas mesin bis itu masih kosong dan tidak ada satupun dari orang-orang yang berdiri di sekitar pintu itu duduk mengisinya, saya pun bergerak mengisi kekosongan itu. Saya duduk menghadap ke arah pintu sambil sering melempar pandang ke depan.
Banyak penumpang yang ikut menumpang sebelum mendekati perempatan ITC Cempaka Mas. Bis patas itu rutenya akan segera memasuki jalan tol begitu melewati perempatan, jadi wajarlah jika banyak penumpang yang ramai menumpang sebelum memasuki jalan tol itu. Ketika bis sedang menunggu lampu merah di perempatan Cempaka Mas itu, saya dikagetkan dengan celutuk orang yang berdiri samping kursi depan (yaitu sebelah kiri saya),
“Mas, ada yang hilang ngga di saku?”
Saya langsung memegang saku baju. Astaghfirullah, handphone saya raib. Saya langsung panik. Jantung saya berdetak kencang. Sekitar satu atau dua orang penumpang di samping kursi depan itu bilang,
“Mas, itu yang ngambil. Cepat turun di sini mumpung belum jauh!”
Saya seperti kena hipnotis dan menuruti kata orang itu untuk turun. Setelah turun, barulah saya kembali bingung dengan orang yang mengambil handpone saya itu. Sementara bis yang tadi saya tumpangi sudah melaju meninggalkan saya menuju jalan tol.
Setelah berdiri kebingungan agak lama, barulah saya sadar, ada beberapa orang yang berkomplot mengambil handphone di bis tadi dan mereka bersandiwara membuat saya turun dari bis itu.
Saya merasa lalai karena tidak menaruh handphone di saku celana atau di tas, melainkan menaruhnya di saku baju begitu saja. Jelaslah handphone itu menjadi terlihat jelas dan menjadi incaran para pencopet itu.
***
Kali berikutnya saya menumpang sebuah taksi. Handphone saya taruh di saku celana. Handpone yang saya pakai saat itu adalah handpone Ericsson yang relatif berbobot dibanding model handphone saat ini yang relatif ringan dan enak dipegang. Begitu turun dari taksi dan masuk rumah, saya merasakan ada sesuatu yang saya pakai tetapi kok tidak ada. Ya, handphone saya ternyata kembali raib. Sangat mungkin jatuh di jok taksi.
Aduh, saya juga tidak hafal nomor dashboard taksi dan pengemudinya. Al-hasil ketika saya mengadukan kehilangan itu pada kantor taksi (saya cari nomornya lewat 108), petugas kantor taksi itu tidak bisa berbuat banyak karena saya tidak hafal nomor dashboard atau nama pengemudi taksinya.
Saya mencoba mengira-kira bagaimana raibnya handphone itu. Mungkin saat saya duduk di jok depan taksi itulah, handphone saya meluncur dari saku celana. Karena posisi jok mobil cukup rendah sehingga ketika saya menjatuhkan diri untuk duduk, lubang saku celana miring ke bawah dan handphone itu meluncur dari “tempat persembunyiannya” ketika saya berubah-rubah posisi duduk untuk mencapai kenyamanan di sepanjang perjalanan.
***
Kali berikutnya saya naik Kereta Api Listrik (KRL) Bogor-Jakarta. Saya memakai rompi dan handphone baru saya, saya taruh disaku rompi yang ber-resleting itu. Saat itu saya hendak menuju Kota dari stasiun Kalibata.
Ketika KRL itu berhenti dihadapan, penumpang pun saling berebut turun dan naik. Saya pun harus segera berebut naik jika tidak ingin tertinggal oleh KRL itu. Hati merasa lega ketika badan sudah bisa masuk ke dalam kereta. Kemudian pelan-pelan saya merangsek mencari tempat yang agak kosong untuk bisa berdiri dengan leluasa.
Merasa sudah nyaman dan leluasa, saya membuka-buka koran yang sempat saya beli ketika menunggu di stasiun Kalibata. Setelah beberapa kali melewati beberapa stasiun pemberhentian, tiba-tiba saya sadar bahwa handphone di saku rompi harus dilihat dan diselamatkan. Betapa kagetnya saya, ketika saya menengok saku rompi, resletingnya sudah terbuka. Firasat saya mengatakan hal yang tidak baik. Lalu saya rogoh saku rompi saya lebih dalam. Saya panik ketika barang yang saya cari ternyata tidak ada. Astaghfirullah. Benar firasat itu, ternyata handphone saya telah dicopet orang. Tetapi sayangnya firasat itu datangnya terlambat.
Saya membayangkan, ketika saya membuka-buka koran dan asyik membaca koran itulah, barangkali si pencopet itu beraksi. Saya benar-benar lalai dan kecolongan.
***
Kehilangan handphone (atau kehilangan barang lainnya), bagi sebagian orang mungkin peristiwa biasa yang disebabkan oleh faktor alpa, lalai, atau kurang waspada. Bukankah alpa, lalai, dan ceroboh adalah sifat kebanyakan dari manusia? Namun saya merasakan di balik sifat alpa, lalai, dan ceroboh yang terjadi, ada sebab musabab yang menghantarkan jiwa pada kondisi negatif tersebut. Bisa jadi lahirnya kondisi itu karena dipicu oleh adanya penghasilan haram, adanya hak yang belum ditunaikan, adanya dzikir yang tidak dilantunkan, atau adanya kemaksiyatan yang telah dilakukan.
Bagi orang-orang tertentu, mungkin hal ini dianggap berlebihan. Boleh jadi ia mampu menunjukkan bahwa mereka yang bergelimang dengan harta haram, tidak menunaikan hak kaum dhuafa, jarang berdzikir atau bergelimang dengan maksiyat, toh tidak ada barang-barang pribadinya yang hilang ketika mereka bepergian. Boleh saja pendapat seperti itu, tetapi pendapat seperti itu tidak berdampak positif mendekatkan mereka kepada Tuhan, justru mereka makin terlena dengan kesesatan, kesombongan dan dosa yang telah dilakukannya.
Saya merasa bersyukur karena bisa mengambil hikmah atas kehilangan itu. Dengan kesadaran itu, saya merasakan bahwa justru Allah begitu mencintai saya. Allah tidak membiarkan saya dalam kesalahan dan kekhilafan. Allah menegur saya sehingga saya tidak jatuh dalam kesalahan yang lebih besar dan memberikan kesempatan kepada saya untuk memperbaiki langkah dikemudian hari.
Teguran Allah itu saya rasakan lewat isteri saya yang sensitif mengaitkan kehilangan dengan dzikir yang mungkin lupa dibaca. Saya ditegur oleh isteri saya,
“Mas sudah baca Al-Matsurat belum tadi pagi?”
Begitulah reaksi isteri setiap kali saya kehilangan sesuatu yang cukup berharga. Isteri menanyakan demikian karena ia yakin bahwa jika seseorang membaca dzikir-dzikir tersebut, maka sepanjang pagi hingga sore, maka Allah akan memberikan penjagaan atas diri dan harta yang dimiliki.
Saya mengaku khilaf, saya memang belum membaca dzikir al-matsurat itu. Kejadian kehilangan yang berulang itu, menjadikan saya merenungi kembali apa sih sebenarnya urgensi dari dzikir-dzikir itu. Apa kaitannya lupa membaca dzikir dengan kehilangan? Bukankah banyak orang tidak membaca dzikir tetapi tidak kehilangan apapun?
Ya, tujuan dzikir pada hakikatnya adalah menghadirkan hati untuk selalu ingat dan tersambung (connect) dengan Allah. Dengan pemahaman demikian, maka orang yang berdzikir adalah orang yang berada dalam kesadaran akan kebersamaan Allah di hatinya.
Saya boleh jadi lupa dengan kesadaran itu karena tidak membangkitkannya dipermulaan hari sebelum aktivitas dengan membaca dzikir-dzikir al-matsurat. Dzikir di awal hari itu adalah ibarat menghidupkan mesin pembangkit kesadaran (kehadiran hati) yang akan menuntun jiwa kepada keselamatan dan keberkahan sepanjang pagi hingga sore hari. Itulah hikmah yang saya peroleh dari sebuah kehilangan. Dzikir membentuk kesadaran dan kehadiran hati bersama Allah.
Waallahua’lamu bishshawaab
([email protected], SMS 0817-99-OIMAN)