Ramadhan sudah di depan mata, rasanya hati begitu bahagia bisa menghampirinya lagi. Sudah kangen rasanya ingin merasakan ritual puasa fardhu yang satu ini. Seperti ada semangat baru yang susah saya hadirkan dihari-hari yang lain. Mungkin karena bulan yang penuh rahmat dan ampunan. Tapi terus terang bagi saya terlalu berarti untuk dilewatkan begitu saja.
Pagi itu saya lihat ada mukena baru yang sudah menggantung santai dijemuran teman. Saya yakin itu pasti baru dia beli kemarin saat liburan. Dan ini juga pasti tidak lain salah satu bagian dia menyambut sang bulan suci nanti. Iseng-iseng saya tanyakan ke teman saya “Mukena barunya bagus mba. Kok tidak dipakai?” Langsung dia jawab “Saya tidak shalat. Mungkin belum dapat hidayah saja.” Astaghfirullahal ‘adzim.. saya tertegun dengan jawaban singkatnya yang begitu sakti itu karena mampu membuat saya terdiam begitu lama di tempat.
Saya jadi teringat masa kecil saya. Masa kecil yang lumayan bikin ibu saya pusing karena ulah saya. Pasalnya menjelang lebaran begini, sisi kreatifitas saya diperlihatkan dengan menyodorkan daftar permintaan saya tentang barang baru yang ingin saya miliki, jauh-jauh hari tanpa berpikir panjang tentang kesulitan hidup orang tua saya. Kalau tidak dapat lampu hijau senjata ampuhnya nangis. Walau akhirnya saya bisa mengerti kesulitan hidup setelah diberi penataran darurat oleh ibu saya dengan sabar.
Sampai sekarang dewasa pun kebiasaan untuk merayakan lebaran masih biasa dibumbui dengan pakaian baru atau barang baru lainnya. Seperti pengalaman saya dengan tahun lalu yang ikut-ikutan teman beli mukena baru di Choi Hung. Detail bentuknya yang membuat saya begitu tertarik untuk membelinya walau sebenarnya saya masih punya yang lama. Saya pikir tidak ada salahnya biar bisa saya pakai saat shalat ied nanti di Victory Park, Causeway Bay. Saking penasarannya sebelum hari H-nya saya sudah ingin mencoba memakainya. Barulah saya kecewa, karena rasanya tidak nyaman sekali. Malah lebih nyaman mukena lama saya yang sudah usang bertahun-tahun itu. Alih-alih ingin menghilangkan aroma barunya malah warna bordirnya langsung luntur. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala sambil tersenyum sendiri.
Peristiwa tersebut membuat saya menyadari satu hal lagi dari kesalahan-kesalahan saya. Mukena baru dan langsung luntur. Sama seperti saya yang suka terobsesi membaharui hal-hal yang bersifat fana dan belum tentu bermanfaat apalagi dalam jangka waktu yang panjang. Sesuatu yang mubadzir. Padahal sejatinya bukan mukena barunya yang harus diperbaharui.Tapi lebih dari iman dan taqwa saya terhadap sang Khalik, sang maha pemberi ampun. Apalah gunanya mukena baru kalau tidak pernah dipakai shalat, atau ingin meniru orang-orang berduit yang hobbynya mengoleksi barang-barang sehingga membuat dunia terasa lebih sempit saja saking banyaknya barang.
Lantas apa yang salah dengan hidayah itu dalam kehidupan ini? Kok sepertinya gampang sekali mengkambing hitamkan hidayah sebagai alasan mautnya demi pembelaan atas kebathilan dalam hidupnya. Memang hidayah itu hak prerogatif Allah Subhana Wata’ala terhadap hamba yang terpilih, tapi ketika hidayah sudah pernah dihadiahkan oleh-Nya dalam kehidupan manusia lantas kelakuan manusia tersebut kembali ke perbuatan jahiliyahnya, apa terus bisa diartikan Allah sudah mengambil/menghapus hidayah itu dan selesai sudah perkara? Orang kalau ingin pintar saja disuruh kreatif banyak bertanya dan membaca, kenapa dalam hal sepenting hidayah harus ungkang-ungkang kaki menunggu datangnya hidayah itu tanpa berusaha mendekatkan diri ke hal-hal yang diridhoi-Nya. Apalagi kalau sudah dianugerahi hidayah tapi malah disia-siakan begitu saja. Sedangkan kita semua tahu bahwa ajal bisa menjemput kita sewaktu-waktu dan di mana saja.
Terkait dengan hidayah.. Masya Allah.. suatu hari saya terkagum-kagum dengan kuasa Allah subhana wata’ala yang telah menyusupkan seberkas hidayah kepada salah satu ukhti anggota baru di organisasi majlis ta’lim yang saya ikuti. Dan hari itu juga dia telah sempurna melafadzkan kalimat Syahadat dibimbing da’i kondang, disaksikan hampir seratus lebih jamaah. Alhamdulillahirobbil ‘alamin..tiada terkira bahagianya. Namun ketika saya bertemu lagi dengannya dilain kesempatan.. astaghfirullahal ‘adzim..
Penampilan ukhti itu sudah kontras banget dari sebelumnya dan nongkrongnya bersama anak-anak gank yang tidak mencirikan orang-orang muslimah. Tidak pernah terbayangkan oleh saya maupun ukhti-ukhti yang lain. Dan perubahan itu tidak membutuhkan waktu lama. Tidak sebanding dengan saat menunggu lamanya hidayah menghampiri hidupnya.
Jadi masih pantaskah menyalahkan hidayah lagi???
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kamu, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia). Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya. Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji” (QS. Ali-Imran: 8-9).
Bukankah Allah Subhana Wata’ala tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu berusaha mengubahnya?
Wallahu ‘alam bissawab