Aku baru saja menutup Al Quran Cordoba kiriman seseorang yang tak mau menyebutkan namanya, tapi kutahu siapa dia, saat handphone di meja bergetar, pertanda ada yang menghubungi nomorku. Meski tak sempat melihat nama yang tertera di layar, tapi aku hafal siapa pemilik suara di seberang sana.
“Bagaimana rencana pernikahan kalian, sudah sejauh mana persiapannya?” itu pertanyaan pertamaku setelah saling menanyakan kabar.
“Alhamdulillah, sudah sembilan puluh persen.”
“Syukurlah. Masih ada cukup waktu untuk menggenapi sisanya.”
“Insya Allah! Tapi…“
“Tapi kenapa?”
“Salah satu dari orang tua kami menginginkan kami menikah di hari berdasarkan hasil perhitungan mereka.”
Aku ber-oh pelan. Aku bisa merasakan dilema yang sedang ia hadapi, karena akupun pernah berada di situasi, kondisi dan posisi yang sama. Tak mudah merubah pendirian orang tua dengan perhitungan-perhitungannya. Tapi mengikuti – perhitungan – mereka, hati tetap tak bisa terima.
“Menurutmu aku harus bagaimana?”
Tak perlu kusarankan ia untuk melakukan pendekatan kepada orang tua, menyampaikan rasa keberatan atas keyakinan bahwa jodoh, mati dan rejeki bisa diprediksi berdasarkan hari lahir. Ia sudah berusaha berbagai cara untuk mengingatkan dan menyadarkan bahwa langkah yang mereka tempuh adalah keliru, tidak ada dalil ataupun contohnya.
“Kalau boleh aku menyarankan, dengan mengucap bismillah, ikutilah orang tuamu, menikahlah pada hari itu,” aku mencoba memberi solusi.
“Mengikuti perhitungan yang jelas-jelas tidak ada dalil dan contohnya?” suara di seberang terdengar tak percaya.
“Bukan! Bukan begitu maksudku.” Aku mencoba menjelaskan. “Restu dari orang tua sangatlah penting bagi anak, terlebih yang hendak membangun rumah tangga. Sakinah, mawadah, warahmah bukan sekedar rangkaian kata, tapi benar-benar menjadi nyata, salah satunya apabila ada ridho dan restu dari orang tua. Sayangi dan hormati orang tua, bagaimanapun ridho Allah ada pada mereka. Ketika kita tak sependapat atau bahkan ketika mereka keliru, sampaikan dan ingatkan mereka dengan santun. Jangan arogan walaupun atas nama kebaikan dan kebenaran. Kalaupun akhirnya tetap tak sejalan dan sepemikiran, hormat pada mereka janganlah sampai ditiadakan.”
Lengang, tak terdengar jawaban dari seberang, hingga akhirnya aku yang kembali melanjutkan pembicaraan.
“Sungguh, aku pun tak percaya, sangat menyayangkan kebiasaan orang-orang tua kita yang memprediksi jodoh, mati dan rejeki berdasarkan hari lahir, termasuk mengotak-atik hari, weton atau apalah untuk menentukan kapan pernikahan boleh dan bisa dilangsungkan. “
Aku berhenti sejenak, merapihkan kertas yang tercecer di dekat pc jadulku.
“Yang aku maksudkan, tetap tunjukkan bakti dan hormatmu kepada orang tua, jangan berlaku kasar pada keduanya. Jika sampai saat ini kau masih saja berkutat di masalah itu, barangkali ada yang terlupa darimu. Dulu pernah kau bilang, agar tidak merepotkan tamu-tamu, kalian ingin melangsungkan pernikahan dan walimahan di hari libur. Bukankah pilihan orang tuamu juga pas hari libur? Satu lagi, kau sendiri bilang berkali-kali, bahwa Allah menciptakan hari, semuanya adalah baik. Itu berarti hari yang dipilih orang tuamu – memang – termasuk hari baik. Iya, kan? “
Masih tak ada jawaban. Hanya terdengar suara hembusan nafas berat dari seberang sana.
“Ada banyak hal penting lain yang perlu kalian siapkan agar pernikahan kalian dapat berjalan sesuai dengan yang direncanakan, diikhtiarkan dan juga diharapkan. Jangan karena berkutat pada satu hal, lantas membuat banyak hal penting lainnya menjadi terabaikan yang kemungkinan dapat merusak atau setidaknya mengurangi kesan pada moment bahagia kalian. Raihlah ridho orang tua, dapatkan restu dari mereka, hormati keduanya dan tunjukan bukti baktimu padanya. Insya Allah, hari dan tanggal hasil perhitungan mereka adalah termasuk hari baik, karena memang Allah menciptakan hari tiada yang buruk, semuanya baik. Yang terpenting adalah niat dalam hatimu.”
Abi Sabila <[email protected]>