Sederetan kata-kata muncul di layar Hand Phone-ku. “Nan, ini nomor HP ibu. Kemaren ibu beli HP dan tadi adikmu pasangkan kartunya. Telpon ibu ya..” Aku langsung membalas sms itu dan berjanji nanti akan menelpon beliau. Soalnya, saat ini tanganku lagi penuh dengan adonan tepung terigu. Aku di ruang makan. Aku menemui suami yang sedang asyik menyeduh teh di dapur. “Mas, coba tebak aku barusan menerima sms dari siapa?”. Suamiku menggeleng. “Dari ibu!”, seruku semangat.
“Wow, hebat. Alhamdulillah kalo gitu kita akan lebih mudah menghubungi beliau kalau kita kangen”. Kami berdua tersenyum. Tapi masih ada yang membuat aku bertanya-tanya. Maka dengan tidak membuang waktu lagi segera kucuci tangan dan kupencet HP ; menelpon ibu.
“Assalamu’alaikum… Bu, ini aku, Nana. Ibu apa kabar?”. Begitulah, siang itu aku menelpon ibu. Mengalirlah cerita bagaimana awalnya ibu ingin memiliki HP itu serta menjelaskan bagaimana ketidaksetujuan ayah dengan keinginan dan keputusan ibu tersebut. Tapi karena sayang sama ibu, ayah membelikan juga. Setengah hari itu aku sibuk memikirkan ibu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ibuku yang telah berusia 62 tahun, tinggal di pelosok desa tapi memiliki HP.
Aku yakin sekali, pasti hanya ibu diantara ibu-ibu di kampungku yang memiliki HP. Di sana memang rata-rata dihuni keluarga petani, yang boro-boro mau punya HP, sedangkan penghasilan saja hanya cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Kehidupan desa yang sangat bersahaja. Apalagi mengingat ini tahun 2000, harga sebuah HP masih mahal. Memang pernah terpikir untuk memasang telpon rumah tetapi kami masih menunda karena biaya pemasangannya juga cukup mahal.
Alhamdulillah, ayah dan ibu bertekad kuat menyekolahkan kami, sehingga kami berempat anak-anaknya semua bersekolah bahkan tiga diantara kami sudah menyelesaikan perguruan tinggi. Dan aku karena kehendak Allah, alhamdulillah sudah bekerja. Hanya saja perusahaan tempatku bekerja berada di provinsi lain. Jadilah aku berada jauh dari orang tua selama hampir tiga tahun ini. Deg, tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Aku tersentak. Astaghfirullah… aku seperti disadarkan oleh Allah. Apakah ini artinya aku tidak perhatian dengan kedua orangtuaku?
Sering kali seorang anak merasa telah ‘membalas’ jasa orang tua dengan mengirimkan sejumlah materi (uang) untuk mereka. Kita fikir, dengan begitu, seolah segala jasa orang tua sejak kita dilahirkan sampai kita mandiri sudah impas terbayar. Namun apakah cukup banyak diantara kita berpikir bahwa bukan hal itu semata yang mereka butuhkan? Melainkan sejumput perhatian sayang dari kita anak-anaknya? Saya yakin sekali, ibu membeli HP dengan maksud diatas. Ibu ingin sekali bisa sering-sering menelpon (atau ditelpon oleh) saya. Bisa dibayangkan, cuma saya anaknya yang berada jauh dengan mereka. Maka rasa kangen pasti sering kami rasakan.
Saya selalu menyempatkan diri untuk menelpon mereka sekali dalam 2 pekan. Namun memang sangat tidak nyaman hubungan kami via telpon selama ini, karena saya harus menelpon ke telpon rumah tetangga. Lalu telpon saya matikan dulu sementara tetangga akan memanggilkan orangtua saya kemudian kami baru bisa berbicara. Ini tentu saja akan merepotkan tetangga, walau mereka tidak pernah mengungkapkannya. Saya terbayang bahwa tidak selamanya tetangga saya di kampung itu memiliki waktu luang atau dengan senang hati memanggil orang tua saya untuk memberi tahu bahwa anaknya menelpon. Nah, apabila ibu memiliki HP, tentu masalah ini akan tepecahkan bukan? Kapanpun mereka ingin, bisa menghubungi saya. Tidak merepotkan orang lain, praktis dan cepat tentunya.
Terus terang hal ini belum terpikirkan oleh saya selama ini. Ada hal lain yang patut menjadi renungan kita bersama. Ternyata perhatian kita pada orang tua masih sangat kurang. Coba, berapa kali kita menelpon mereka untuk sekedar menanyankan kabar? Berapa sering kita mengucapkan sayang pada mereka, sehingga mereka tahu bahwa kita anak-anaknya memang sayang pada mereka? Astaghfirullah…sungguh sangat kurang hal itu hamba lakukan ya Allah.. Malam itu ketika kami sudah merebahkan diri di tempat tidur, saya berkata pada suami, ”Mas…kita memang senang karena ibu telah memiliki handphone. Tapi mungkin kita telah membuat beliau sedih karena kita kurang perhatian sama beliau. Yaa walaupun hanya perhatian dengan mengirim kabar berita lewat telepon”. Suami memandang saya,” Ya, Dek. Mulai saat ini ayuh kita sering-sering menelpon beliau ya. Buktikan bahwa kita adalah anak-anak yang menyayangi beliau. Tak peduli walau jarak kita jauh dengan beliau”. Kami tersenyum, insyaAllah kami berjanji. Semoga Allah memudahkan, amiin. Salam cinta dan sayang kami, untukmu ayah dan ibu.