Saat itu saya masih kuliah semester 6 di salah satu perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Saya dan teman saya diminta dosen saya untuk membantu menterjemahkan buku kuliah bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Lumayanlah uang hasil terjemahan itu bisa buat menambah uang saku yang cukup besar untuk saya pada waktu itu. Untuk mengejar “setoran” dan target waktu, saya mengerjakan pekerjaan itu siang dan malam.
Hingga pada suatu saat di dalam kelas ketika sedang mengikuti kuliah, mata saya sedikit kabur. Saya tidak dapat melihat dengan jelas tulisan dosen di white board karena saya duduk agak di belakang. Teman sebelah saya bilang dia masih bisa membaca tulisan itu meski tulisan itu berwarna merah. Singkat cerita, akhirnya pergilah saya ke dokter mata untuk memeriksa kondisi mata saya. Benar, ternyata mata saya mulai minus dan saya harus mulai memakai kacamata. Yang saya ingat ketika itu hati saya gundah karena di antara saudara-saudara saya hanya sayalah yang berkacamata. Naifnya ketika saya akan memilih suami pun, tidak memakai kacamata adalah termasuk salah satu kriteria yang tersirat. Karena yang ada dalam pikiran saya waktu itu saya tidak ingin nanti memiliki anak yang berkacamata pula. Hal itu terjadi kira-kira15 tahun lalu.
Sekarang alhamdulillah saya sudah memiliki 2 putri yang sholehah, Insya Allah, yang sudah menginjak masa sekolah. Sebulan yang lalu saya menerima telepon dari salah satu ibu teman putri saya yang paling besar. Dia mengatakan mungkin putri saya ini ada masalah dengan matanya karena sering bertanya ke teman sebelahnya untuk membaca tulisan di papan tulis. Bukannya saya tidak merasakan itu, karena 2 bulan lalu ketika saya menerima hasil tes spelling (kosa kata baru) dan matematika yang memang rutin dilakukan setiap minggu, putri saya banyak salah menyalin soal. Akibatnya salah pula jawabannya.
Ketika saya tanyakan padanya, putri saya bilang tidak jelas karena dia duduk di belakang dan tulisannya berwarna merah. Padahal saya tahu kelasnya kecil karena jumlah muridnya hanya terdiri dari maksimum 20 anak saja. Jadi tempat duduknya pun tidak terlalu jauh jaraknya dengan papan tulis. Ketika itu saya tidak terlalu curiga (atau tepatnya berusaha menyingkirkan pikiran yang tidak-tidak). Tapi setelah ibu teman saya itu telepon, barulah saya menyadari bahwa mungkin memang putri saya ini harus segera dibawa ke dokter mata.
Entahlah hati ini begitu galaunya dan seperti yang tidak berani mengantar puteri saya ke dokter, takut kalau kenyataannya memang dia harus berkacamata. Bukan apa-apa, dia masih sangat belia, baru 8, 5 tahun usianya. Pikiran saya berkecamuk terkadang sedih memikirkan bahwa putri saya akan “terbelenggu” seumur hidupnya dengan mata myopianya, namun terkadang berusaha menghibur diri “ah hanya berkacamata saja kenapa saya mesti khawatir berlebihan?”. Bukankah banyak anak-anak zaman sekarang yang sudah berkacamata juga? Saya pun berusaha menguatkan hati dengan mencari informasi tentang mata minus melalui internet dan menelepon teman-teman saya.
Saat tiba giliran putri saya untuk diperiksa oleh dokter mata, saya seperti yang tidak sanggup untuk menemaninya karena belum rela apabila ternyata putri saya memang harus berkacamata. Untung saja saya masih memiliki suami yang dapat menghibur hati saya dan selalu optimis. “Lebih baik diketahui sekarang masalahnya daripada ditunda-tunda, dan kalau memang sudah berkacamata ya itu memang yang terbaik supaya tidak tertinggal pelajarannya di sekolah, ” begitu katanya. Di dalam sholat, terkadang saya pun malu dengan diri sendiri, kenapa saya ini meskipun sudah beribadah kepada-Mu ya Allah tapi belum sanggup mengatasi ujian-ujian hidup yang “kecil” di mata orang lain tetapi terasa besar di hadapan hamba-Mu ini? Terdapat dua ayat di Al-Quran yang selalu dapat membuat saya lebih tenang dalam menghadapi ujian Allah,
Bisa jadi kamu membenci sesuatu padahal ia baik bagi kamu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia buruk bagi kamu, dan Allahlah yang mengetahui dan kamu tidak mengetahui. (QS: Al-Baqarah 2:216)
Bisa saja kamu membenci sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS: An Nisa 4:19).
Sejak saat itu setiap saya menjemput anak-anak dari sekolah, saya jadi pemerhati teman-teman sekolah anak saya yang berkacamata. Ternyata banyak juga teman-teman sekolahnya yang sudah berkacamata sejak kecil, namun tidak saya sadari sebelumnya. Bahkan seperti yang ditunjukkan oleh Allah SWT, ada anak salah satu teman saya di sekolah itu yang baru selesai menjalani operasi di mata (atau di bawah) nya karena ada suatu kelainan, padahal usianya baru 5 tahun. Ya Allah, sepatutnya saya bersyukur bahwa anak saya “hanya berkacamata” bukan penyakit lain yang Engkau timpakan kepadanya.
Ampunilah hamba-Mu yang hina ini ya Allah. Hamba-Mu yang seringkali lalai untuk berdoa di tengah malam. Hamba-Mu yang selalu tidak pernah mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku. Ya Allah, berilah kami hati yang tenang, yang beriman akan saat perjumpaan dengan-Mu dan ridha menerima segala ketetapan-Mu.
Jeddah, Desember 2007