Apa yang dilakukan seseorang ketika menunggu? Konon, katanya, orang Jepang mengisi waktu menunggunya dengan membaca buku. Orang Indonesia? Buka HP dan mengirim SMS. Saya tidak tahu, benar tidaknya anekdot itu. Tapi memang itulah tepatnya yang saya lakukan. Saya janji dengan seorang teman, dan seperti yang sering terjadi, teman saya tersebut terlambat datang. Jadilah saya menunggu, membuka HP, dan mulai mengirim SMS.
Saya menunggu di halaman Musholla Mall Pondok Gede. Gerimis mulai turun, membuat panik beberapa pejalan kaki, dan menghentikan langkah para jamaah yang hendak bergegas meninggal Musholla. Kami memang berjanji bertemu di sini, sholat dzhuhur berjama’ah. Selama menunggu, sudah beberapa orang saya SMS, entah sekedar say hello, atau karena memang ada keperluan yang terlupa (dan baru teringat ketika tak ada yang harus saya lakukan). Namun teman saya tersebut tak kunjung datang. Kehabisan cara membunuh waktu, saya pun mencoba mengulang-ulang hapalan Al-Quran saya yang tidak seberapa banyak.
Sambil menghapal, tak sengaja mata saya mengarah ke seseorang yang sedang sholat dengan kecepatan menakjubkan. Orang itu berpakaian seperti cleaning service, dengan seragam berantakan, rambut tak disisir, dengan gerakan sholat seperti ayam mematuk. Luar biasa! Ketika ruku, dia hanya membungkukkan badan tak sampai sedetik, langsung tegak kembali, dan dengan tak kalah cepat, langsung sujud. Herannya, keningnya berhasil menyentuh lantai tanpa harus cedera. Sujudnya pun demikian, tak sampai sedetik, langsung bangun lagi. Begitu seterusnya.
Bukan baru pertama kali saya melihat orang sholat diburu waktu seperti itu. Tapi jarang yang seekstrim ini. Entah apa komentar para malaikat yang sibuk mencatat di kiri kanannya.
Sholat sepert ini jelas mempunyai satu tujuan saja: menggugurkan kewajiban. Asal tidak berdosa, yang penting sholat sudah terlaksana. Mirip orang mengepel lantai, yang penting lantai sudah basah terkena kain pel. Perkara ternyata malah meratakan kotoran ke seluruh ruangan, itu soal lain. Sepertinya ada kelegaan bahwa satu kewajiban sudah tertunaikan.
Usai sholat, orang itu bergegas pergi, secepat sholatnya. Mungkin memang banyak pekerjaan yang belum ia selesaikan. Atau ada atasannya yang sudah menunggu dengan tidak sabar, sambil memilin-milinkan kumis. Saya mencoba maklum, dan tidak menebak-nebak lebih jauh. Tidak baik buat kesehatan hati dan kejernihan batin. Saya memang masih terus belajar untuk jujur kepada diri sendiri, mawas diri. Waspada terhadap bisikan setan yang menelusup ke dada, yang senang menghembus-hembus sehingga ego kita menggelembung, membawa kita terbang, dan seolah sudah sah menjadi kekasih Allah, para ahli waris syurga, hanya semata-mata karena melihat kelemahan orang lain. Sungguh sikap yang kekanak-kanakan, mirip seorang anak yang tertawa melihat temannya terjatuh ketika belajar naik sepeda.
Padahal, boleh jadi orang yang kita anggap ‘cuma kayak begitu’ ternyata punya nilai lebih lain di mata Allah. Nilai lebih yang Allah hijab dari mata kita. Atau setidaknya, tak ada jaminan bahwa saya lebih baik dari pada orang itu. Mungkin jauh lebih bijak jika saya menanyakan kepada diri sendiri, mengapa Allah menakdirkan saya bertemu dengan manusia bersholat ekstrim seperti itu? Sungguh pertanyaan yang wajar kan? Kalau kita meyakini bahwa tak ada kejadian kebetulan dalam hidup ini, sewajarnya kita bertanya, apa pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah nyata barusan? Betul kan?
Bukankah ayat-ayatNya terbentang luas dalam berbagai penggalan episode kehidupan? Ayat-ayat yang terus mengalir, yang tak pernah merasa perlu menunggu kita untuk membacanya. Ayat-ayatNya tak perlu harus tampil begitu dahsyat dan mencekam seperti tsunami dan letusan gunung. Pun tak perlu fenomenal mengharu biru seperti pusaran tawaf mengelilingi ka’bah. Juga tak perlu selalu heroik seperti perang badr yang legendaris dan menggetarkan itu.
Ayat-ayatNya bisa jadi menjelma dalam jenak-jenak yang seolah tak berarti, seperti yang saya saksikan barusan. Laksana rinai hujan yang tak perlu menunggu kita siap untuk menerimanya. Agaknya malah lebih sering demikian.
Lalu? Yah, sungguh ceroboh jika merasa diri sudah baik, hanya karena melihat kelemahan orang lain. Astaghfirullah.
Maka, jika mau jujur, sebenarnya seberapa seringkah saya mampu bercengkrama denganNya saat-saat sholat?
Bercengkrama? Aduhai, indahnya kata itu! Tidakkah terlalu besar kepala jika saya menggunakan istilah itu? Mungkin jauh lebih pantas jika saya gunakan kalimat lain. Misalnya, seberapa seringkah saya mampu merasakan kehadiran Allah saat sholat?
Mampukah saya merasakan desir kehadiranNya saat mengumandangkan takbiratul ihram? Mampukah saya merasa bahwa saat itu saya sedang menghadap Sang Penguasa Jagat, yang kuasanya tak terbatas? Yang kekayaanNya tak terbayang, yang kehendaknya takkan tertolak?
Atau mungkin standardnya harus diturunkan lagi. Misalnya, seberapa seringkah saya memperjuangkan diri untuk sholat berjamaah di Masjid? Menjadi bagian dari orang-orang shalih yang senantiasa memakmurkan rumahNya? Bukankah orang-orang beriman hendaknya merasa nyaman berada di Masjid, laksana ikan di dalam air? Bukankah keengganan untuk berada di Masjid adalah tanda dari bibit-bibit kemunafikan?
Atau sebenarnya saya masih harus menurunkan standard lagi, yaitu, seberapa seringkah saya mampu sholat tepat waktu? Menjadi orang-orang yang memprioritaskan panggilan Allah, dan menyingkirkan pekerjaan apa pun ketika adzan berkumandang?
Betapa banyaknya lapisan atmosfer ketaatan yang belum saya tembus, untuk dapat menjadi kekasihNya. Mungkin karena selama ini saya hanya memiliki mimpi-mimpi kecil. Mimpi sederhana tentang hubungan denganNya. Mimpi menjadi muslim yang ‘biasa saja’, yang sesungguhnya pengkhianatan terhadap do’a “dan jadikanlah kami pemimpin orang-orang yang bertaqwa”.
Mungkin karena selama ini, doa saya pun hanya doa basa-basi. Doa yang hanya meluncur dari lisan, bukan dari kejernihan hati dan kedalaman pikiran. Seperti file mp3 yang diputar berulang-ulang, bersuara namun tanpa jiwa. Atau seperti beo yang sibuk berceloteh, tak paham sedikitpun apa yang diocehkan.
Aku terhenyak menyadari betapa larutnya aku dalam kontemplasi. Menyadari kesalahan adalah awal yang baik. Namun meratapi kesalahan dapat menjadi jalan bagi setan untuk putus asa dan merasa tak berhak menjadi orang baik.
Yang terbaik adalah selalu mawas diri, menyadari pesan dari ayat-ayatNya, selalu memohon lindunganNya, karena hanya Dia Yang Maha Melindungi. Selalu waspada bahwa setan akan menyelinap pada setiap kesempatan pertama.
Seperti yang dikatakan para salafushsholih, bahwa taqwa adalah kehati-hatian.
Sabruljamil.multiply.com