Baru saja beberapa hari yang lalu, presiden melalui Menteri BUMN memerintahkan untuk tegas kepada mafia impor alat kesehatan dan obat-obatan yang menekan Indonesia. Sekarang kita justru dikejutkan dengan pengesahan regulasi untuk menyederhanakan impor. Entah di mana korelasinya.
Sejatinya negara ini sudah kehilangan harga diri di hadapan dunia. Karena terlalu bergantung kepada impor dan tidak mau berusaha untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sendiri. Padahal siapa yang tidak pernah mendengar kesohoran Indonesia yang kaya akan sumber daya alam?
Mulai dari isi laut hingga perut bumi. Maka kemudahan impor lebih seperti memudahkan maling masuk ke rumah yang berlimpah harta benda.
Tentu hal ini tidak dapat dibiarkan. Kesemena-menaan regulasi yang dibuat pemerintah akan berimbas pada ketidakmandirian Indonesia sebagai negara berdaulat. Apalagi di tengah pandemik seperti sekarang.
Ketergantungan impor akan menyebabkan negeri ini bangkrut dan hancur dari dalam tanpa musuh bersusah payah melontarkan senjata nuklir jarak jauh. Cukup menghentikan kesepakatan impor, maka negara ini akan kalang kabut mencari pemenuhan kebutuhan rakyat dalam negeri.
Inilah efek pengadopsian konsep kapitalisme. Negara hanya bertindak sebagai mediator semata. Bukan sebagai pelayan dan pengurus urusan rakyatnya.
Upaya menyederhanakan impor malah menyiarkan hubungan gelap penguasa dengan pengusaha. Sebab, hanya kemaslahatan korporat yang nyata terpenuhi bukan masyarakat.
Perbedaan yang mencolok dalam hal pengayoman kebutuhan umat antara kapitalisme dengan Islam ini, menegaskan akan keniscayaan penerapan hukum syariah di tengah-tengah kita. Karena hanya dengan berpegang pada aturan yang berasal dari Al Quran dan Assunnah-lah penduduk negeri ini akan terbebas dari kezaliman demi kezaliman rezim berkuasa.
Rasulullah SAW bersabda, “Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)”. (HR. Muslim).
Dengan demikian, seharusnya pemimpin negeri ini wajib bertanggung jawab atas nasib penduduknya. Tentu yang dimaksud tanggung jawab di sini bukan dengan jalan memberi kemudahan impor. Tetapi berusaha mengelola harta kepemilikan umum dan negara dengan maksimal.
Ketika kondisi wabah seperti sekarang yang berpotensi krisis pangan, maka penguasa akan berpikir bagaimana caranya memenuhi kebutuhan pangan tersebut. Mulai dari berupaya mengembangkan teknik pengawetan pangan, sistem sirkulasi, standar bangunan penyimpanan pangan, hingga pengaturan gaya hidup dan konsumsi masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai upaya mewujudkan ketahanan pangan negara.
Selain itu, amirul mukminin wajib menutup akses para kapitalis untuk menguasai harta milik umum semisal sumber daya alam. Sehingga negara akan berdaulat penuh secara de jure dan de facto. Hal ini merupakan realisasi dari firman Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 141 yang artinya, “… Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”.
Jeratan impor sama dengan penjajahan gaya baru. Negara tidak mandiri dan terus menerus bergantung pada pasokan negara lain. Maka sebagai kaum muslimin yang memahami kewajiban mengoreksi kebijakan penguasa yang ceroboh.
Sudah saatnya kita bersuara! (end)
(Penulis: Djumriah Lina Johan, Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Sosial Ekonomi Islam)