Saat ini kasus TKW memang sangat memprihatinkan. Padahal mereka termasuk pejuang bagi keluarga maupun bangsa ini. Karena mereka mampu membiayai kehidupan keluarga yang ditinggalkan maupun memberikan devisa yang sangat besar untuk negara kita yang tercinta ini.
Kasus Sumiati adalah kasus teranyar, tentang betapa TKW kita mendapatkan penganiayaan yang sangat menyayat hati dan menimbulkan kemarahan yang luar biasa. Setiap orang yang punya nurani, pasti akan merasakan betapa beratnya beban yang harus dirasakan seorang Suamiati, baik saat ini maupun saat mendatang, karena trauma itu tentu tak mungkin dalam waktu singkat akan hilang di memorinya.
Terlepas bagaimana hal itu bisa terjadi, tentu kita tidak bisa hanya menyalahkan satu pihak. Pihak majikan memang bersalah, dan harus bertanggung jawab atas perbuatan kejinya tersebut. Tapi apakah kita juga pernah memikirkan bagaimana proses sebuah perekrutan TKW yang akhirnya mereka dapat bekerja di luar negeri?
Bertemu dengan seorang TKW
Takdir Allah mempertemukan saya dengan seorang ibu ( saya lupa menanyakan namanya ), disebuah penerbangan dari Balikpapan ke Makassar dan harus transit di Palu. Dalam perjalanan itu, saya berdampingan duduk dengan ibu tersebut, yang ternyata cuti dari pekerjaannya di Dubai sebagai TKW.
Ibu itu orang Palu, dari pagi telah melakukan perjalanan jarak jauh melintasi benua dan negara, hingga akhirnya bertemu denganku di pesawat dan memberikan setitik info yang menurutku sangat berharga untuk kita ketahui.
Dia bercerita bahwa majikannya orang yang sangat baik. Katanya dia diberikan satu bulan gaji untuk cuti dua tahunannya ini sebesar 2,5 juta rupiah. (Dengan ceritanya ini saya jadi tahu bahwa dia bekerja selama duapuluh empat jam setiap harinya dengan gaji segitu). Dengan uang yang didapatkannya itu, membuat suaminya dengan setia menunggunya dan telah menjadi pegawai negeri di Palu.
Lalu dia pun memperlihatkan gelang dan kalung yang dikenakannya, dan mengatakan bahwa itu pemberian majikannya. Emas dari Dubai itu memang sangat indah dan emasnya 24 karat asli. Dia memang semangat bercerita, tapi saya melihat wajahnya yang sangat lelah, dan tubuhnya selalu bersandar di kursi tempatnya duduk. Saya memahami perjalanan panjangnya ini.
Tapi saya sangat penasaran dengan bahasa Arab yang dimilikinya. Karena itu mulutku pun terbuka;
“berapa lama diberikan kursus bahasa Arab oleh perusahaan pengiriman ibu?’.
Saya penasaran, karena saat ini saya juga masih belajar dasar-dasarnya tapi kok agak susah masih “nangkapnya”, karena itu saya ingin membandingkan proses pembelajaran yang kami terima.
“Nggak ada belajar. Kami nggak ada kursus.” Dengan sedikit menguap menjawab rasa penasaran saya.
“Hahhhh??! Jadi bagaimana caranya berkomunikasi?” seperti kena setrum rasanya. Bagaimana nggak kaget, jika faktor bahasa adalah hal yang paling utama harus dipersiapkan, agar ditempat tujuan dapat memahami dan mengerti apa yang harus dilakukan.
Dengan tidak adanya bahasa Arab yang dimilikinya, dan seumur hidup tak pernah tahu bahasa Arab, tentu ini sama saja dengan berjudi. Karena pekerjaan seorang pembantu, tentu akan banyak instruksi atau perintah yang akan diterima dari majikan.
Bagaimana jika majikan menginginkan, misalnya cabenya hanya dipotong-potong, ternyata kita blender. Atau majikan minta dibuatkan secangkir susu tanpa gula, tapi ternyata kita menambahkannya gula. Ruwet kan?!
Masih beruntung bila yang ditempati adalah majikan yang berbudipekerti baik dan seakidah dengan kita. Mungkin mereka akan dengan sangat sabar memberikan kursus bahasa sekaligus perintah. Tentu ini memerlukan waktu yang lumayan lama.
“Pada awalnya saya hanya diam saja, bila mereka ngomong. Saya hanya memperhatikan apa yang diucapkan dan apa yang dilakukannya. Setelah lima bulan, alhamdulillah saya pun dapat berkomunikasi dengan lancar dengan mereka.”
Ibu ini sungguh beruntung, karena mendapatkan majikan yang sabar. Sabar untuk mengenalkan peralatan elektronik di rumahnya dan sabar mengajari bahasa sehari-harinya. Jika tidak, mungkin saja, ibu ini akan mengalami kasus penganiayaan, karena karakter majikan yang tidak sabaran, dan faktor bahasa yang tidak bisa bertemu dalam satu komuikasi.
Kembali ke kasus TKW yang marak saat ini, kita perlu mempertanyakan kembali fungsi pemerintah dalam mengawasi perusahaan-perusahaan jasa pengiriman TKW. Apakah pemerintah telah memberikan syarat-syarat ketat untuk mengirimkan rakyatnya yang ingin bekerja di luar negeri? Misalnya, memberikan syarat agar setiap jasa pengiriman memberikan kursus bahasa negara tujuan calon TKW. Atau minimal, seorang calon TKW harus bisa menggunakan bahasa di negara tujuannya bekerja.
Seorang TKW bukanlah barang, setelah dikirim dan diterima orang yang membutuhkan tenaganya, tak ada perhatian lagi untuknya. Apakah memang begitu prosedurnya? Setelah di “angkut” ke negara tujuan, dia dianggap tak ada lagi? Bukankah mereka juga perlu “ditengok” secara berkala, agar bisa dipastikan seorang TKW tersebut dalam keadaan aman di tempat kerjanya.
Apakah memang tak ada “acara” pemantauan dari pihak pengirim TKW? Sungguh kasihan kalau itu terjadi, karena ternyata mereka betul-betul tidak tahu apakah nasib mereka akan seindah impian? ataukah seburuk di alam liar. Karena nasib mereka tergantung pada sang majikan, yang belum dikenal secara adat, istiadat maupun karakternya.
Jika seorang TKW tidak tahu dan tidak mengerti bahasa sang majikan, pastilah akan selalu terjadi kesalahpahaman dan mungkin akan berujung pada penganiayaan. Karena memang bahasa adalah sarana yang paling efektif untuk menjembatani keinginan dua pihak yang terikat sebagai majikan dan pekerja.
Sengata, 20 Nopember 2010
Halimah Taslima
Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab,. Sengata