Pagi tadi, setelah shalat subuh, saya menonton tayangan televisi. Siaran yang saya lihat adalah shalat qiyamul-lail di Masjid Nabawi Madinah. Pelaksanaan shalat itu berkisar pukul 2 subuh ( waktu Madinah ). Dengan jamaah yang melimpah ruah, dan bacaan imam shalat yang sangat panjang.
Hati ini rasanya tersentuh. Selain bacaan imam yang tartil, karena diantara jamaah ada yang anak-anak. Anak-anak yang melakukan shalat ternyata cukup serius. Tidak seperti yang biasa saya lihat di beberapa masjid di Sangatta. Saya kagum pada anak-anak itu, karena mampu mengikuti shalat yang begitu melelahkan hingga menjelang sahur.
Ketika melihat pergantian imam, mungkin karena imam shalat sebelumnya telah lelah, saya teringat saat masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu saya duduk di kelas lima ( kalau tidak salah ). Saya pun rajin shalat tarawih berjamaah pada sebuah sekolah di dekat rumah. Karena memang saat itu, tempat itu sangat dekat untuk dijangkau, dan orang sekitar kami juga melakukan shalat tarawihnya di sana.
Bila dibandingkan bacaan imam di Masjid Nabawi yang saya lihat, dengan imam shalat tarawih saat masih usia SD, maka bagaikan langit dan bumi. Imam Masjid Nabawi bacaannya tartil, dan jamaahnya pada khusyuk. Sementara shalat tarawih yang saya ikuti dulunya, pernah membuat saya tertawa disaat melaksanakan shalat.
Begini ceritanya. Pada awal ramadhan, saya belum mengetahui “karakter” imam. Karena imam shalat tarawih kan ada berbagai macam tipe. Ada yang memang bacaannya tartil, hingga menyejukkan hati yang mendengarnya ( walau sebagian dari bacaan itu saya tidak mengetahui artinya ). Dan ada pula bacaannya bagaikan kecepatan angin tornado. Hingga membaca sebuah surah hampir dengan hanya satu napas!
Inilah yang saya alami. Beberapa hari memasuki ramadhan, saya baru berkenalan dengan seorang imam, yang tentu saja saya belum tahu gaya keimamannya dalam shalat tarawih. Saya melaksanakan shalat tarawih sebagai makmumnya. Ternyata, bacaannya seperti tanpa koma. Saat imam ini rukuk, maka tentu sebagai makmum kita juga mengikutinya. Tapi anehnya, begitu tangan saya baru sampai di lutut, sang imam sudah I’tidal.
Begitu pula saat imam sujud, saya pun dengan tergesa sujud. Ternyata saat hidung baru mau menyentuh sajadah di depanku, ternyata sang imam telah takbir, guna melakukan duduk diantara dua sujud. Begitulah seterusnya.
Hingga pada rakaat selanjutnya, saya pun berusaha bergerak secara “kilat” untuk mengikuti ritme sang imam. Pada rakaat selanjutnya, saya merasakan sedikit sesak napas, karena gerakan yang dilakukan seperti olahraga yang dipaksakan.
Hingga rakaat selanjutnya, setelah terdengar bacaan “allahumma sholli ‘ala Muhammad…” Saya pun mulai mengatur strategi agar nikmat shalat didapatkan. Tapi apa yang saya rasakan? Ternyata pada saat imam melakukan sujud keduanya, saya belum sempurna duduk diantara dua sujud.
“Ha…ha…ha…” Hingga tidak terasa suara tawa dari mulutku pun membahana di ruangan itu, karena tidak mampu menahannya lagi.
Saya tidak mampu menahan rasa “gelitikan”, karena didua rakaat sebelumnya, saya belum mampu “mensejajarkan diri” dengan irama imam. Kemudian ada tekad untuk melakukannya dengan “lebih baik” lagi pada shalat selanjutnya. Ternyata, didua rakaat selanjutnya ternyata saya malah ketinggalan jauh!
Karena suara tawa saya tentu mengganggu orang-orang yang sedang shalat tarawih, maka saya pun ngacir pulang ke rumah untuk melakukan shalat sendirian. Karena pada saat itu yang saya ketahui, bahwa jika shaum tanpa shalat tarawih, maka puasa yang dilakukan esok harinya tidak diterima.
Hingga saat ini, setiap ramadhan, saya pun tidak pernah melupakan peristiwa itu. Karena itu adalah sebuah pengalaman berharga bagiku, agar tidak terulang kembali di ramadhan berikutnya.
Bila saya mengetahui karakter imam yang “super” dalam bacaan dan bahkan kita sebagai makmum tidak bisa merasakan ketenangan dalam melaksanakan shalat, maka saya tidak akan mau mejadi makmum shalat tarawih itu. Karena mungkin saja tawa saya yang pernah hadir di shalat tarawih saat masih SD, akan terulang kembali.
Sengata, 1 September 2010
Halimah Taslima
Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata