Pelayanan Rumah Sakit

Kenapa dirawat di rumah sakit ini?” adik perempuanku menanyakan dengan setengah heran.

Rumah sakit ini memang kelihatan mewah, tapi payah dalam perawatan. Coba, mau masuk saja nunggunya berjam-jam. Belum lagi bila dirawat. Perawatnya hanya satu untuk setiap tingkat. Hingga untuk membantu pasien tidak bisa diharap, misalnya untuk memandikan pasien.” Kata-katanya menunjukkan sedikit kekesalan terhadap pelayanan yang kami terima

Rumah sakit… perawatnya banyak. Hingga jika kita ingin menunggui pasien, mereka bertanya kepada kami, apakah kami tidak memercayai mereka.”

“Rumah sakit itu termasuk favorite di kota ini. Yaitu tadi karena perawatannya yang memuaskan“ Adikku pun menambahkan.

Suamiku pun tak kalah “miring” dengan pelayanan rumah sakit yang kami gunakan saat ini. Menunggu penempatan ke kamar saja, memerlukan waktu dua jam. Belum lagi, dokternya tidak punya jadwal pasti, jam berapa kunjungan kamar. Karena dokter tersebut prakteknya ada dibeberapa tempat dan punya pasien dibeberapa rumah sakit di kota ini.

Saat anak saya memerlukan tindakan operasi ( walaupun termasuk operasi kecil ), dokter tersebut datang tengah malam. Maka operasi pun berjalan mulai pukul satu subuh.

Setelah operasi, kami pun kembali ke kamar. Kami sedikit khawatir, karena ternyata bel untuk memanggil perawat dikamar tidak berfungsi. Belum lagi pesawat televisi yang seharusnya masuk ke kamar “perawatan”, karena orang-orang yang kami nonton di televisi tersebut berwarna hijau.

Setelah siang, tak ada tawaran dari perawat untuk membersihkan anakku. Ternyata perawatnya sibuk untuk mendampingi kunjungan dokter. Tentu tenaganya terbatas, untuk pasien yang lebih dari sepuluh orang.

Saya berusaha berfikiran positip saja, bahwa semua ada hikmahnya. Daripada mencari-cari kesalahan rumah sakit, lebih baik memikirkan anakku. Berdoa agar dapat cepat sembuh dan dapat secepatnya keluar dari ruangan yang telah memenjarakanku selama dua hari.

===

Kesabaranku terhadap pelayanan rumah-sakit teruji kembali saat selang infus dilepas dan telah diberikan obat yang harus diminum. Dalam pikiran timbul rasa “enak” karena saat selang itu dilepas, berarti waktu untuk pulang ke Sengata sudah dekat.

Tapi tunggu punya tunggu, ternyata dokter yang merawat anakku belum jua datang. Padahal selang itu telah dilepas sebelum jam duabelas siang. Hingga saya dan suami sedikit tak sabar untuk selalu bertanya kepada perawat, kapan dokternya datang untuk memutuskan anak kami boleh pulang.

Janji perawat untuk menghubungi dokter terasa hanyalah sebuah janji untuk menenangkan kami. Karena ternyata saya lihat dia sangat sibuk dengan pasien-pasien yang dalam pengawasannya. Hingga pukul setengah tiga sore, suami meliihat dokter telah datang di lapangan parkir.

Tentu suami berpikiran, bahwa dokter tak akan lama lagi datang ke kamar. Ternyata hingga pukul empat sore, belum jua datang. Dan perawat yang berjanji tadi pagi, telah berganti shift kerja.

Maka perawat penggantinya, kemudian kami minta untuk menghubungi sang dokter. Ternyata dia pun tidak bisa menghubungi. Maka kami pun mengatakan bahwa telah melihat sang dokter telah tiba sejak tadi.

Masa?” perawat menjawab tak percaya saat kami memberikan info tentang kedatangan dokter sejak jam setengah tiga tadi.

Dokternya ternyata mendahulukan jadwal prakteknya di lantai bawah, sementara kami yang dilantai tiga, hanya dapat mengelus dada, ternyata kami harus tetap bersabar.

Waktu yang ditunggupun datang. Pukul setengah lima sore dokter datang, dan memberikan rekomendasi, bahwa anak kami bisa pulang, setelah melihat luka bekas operasi yang dilakukannya.

Setelah itu, kami pun harus menunggu proses administrasi rumah sakit. Sampai ditahap ini pun kami harus menunggu beberapa jam. Hingga kami sekeluarga harus shalat maghrib di kamar perawatan.

Setelah saat maghrib, kami memutuskan akan kembali ke hotel, dengan janji akan datang pukul sembilan malam nanti untuk mengambil surat-menyurat perawatan anak kami.

Ternyata, walaupun kami adalah pasien kiriman dari perusahaan tempat suami bekerja, dimana perusahaan tersebut telah menjalin kerjasama, ternyata disetiap sisi pelayanan, harus selalu menancapkan kesabaran dalam menerima pelayanan rumah sakit ini.

Tapi bagaimana dengan pasien yang tidak seperti kami? Apatah lagi yang jelas-jelas tidak mampu, apakah mereka akan mendapatkan berlipat-lipat prosedur?

Wallahu’alam.

====

Karena tahapan pelayanan yang sangat “mengganggu” iman di dada, membuat adikku bertanya demikian. Dengan menyodorkan alternatif, bahwa ada sebuah rumah sakit yang pelayanannya sangat memuaskan di kota ini.

Tapi saya memberikannya sebuah pencerahan, bahwa jika masih ada rumah sakit lain, maka saya tidak akan memilih rumah sakit tersebut.

Tentu pembaca heran, ada apa? Kok tidak mau pelayanan yang memuaskan, padahal sudah mumet dengan pelayanan rumah sakit ini?

Tidak semua yang bagus dimata kita, bagus untuk kita gunakan. Kita harus berhati-hati untuk memilih sesuatu, khususnya rumah sakit. Karena pasien yang dalam kelemahannya, akan sangat mudah diberi “suntikan” sesuatu yang mungkin akan melemahkan, atau mungkin menghilangkan ketauhidannya.

Rumah sakit apa yang saya tolak untuk digunakan?

Rumah sakit yang disarankan kepada saya, adalah sebuah rumah sakit yang merupakan bagian dari sebuah yayasan yang berbasis Nasrani.

Rumah sakit itu, merupakan rumah sakit yang dibangun oleh sebuah Gereja Katolik, bertempat dalam lingkungan gereja tersebut. Rumah sakit itu memang telah lama berdirinya, dan telah membuktikan dirinya sebagai rumah sakit yang sangat memuaskan para pasien yang berada di dalam perawatannya.

Setiap ruang perawatan ada tanda salib. Belum lagi setiap subuh ada suara lonceng gereja yang terdengar cukup nyaring. Kemudian di pengeras suara setiap ruang, pada jam-jam tertentu selalu diperdengarkan nyanyian rohani atau “ceramah”.

Belum lagi para pastor atau biarawatinya rajin mengunjungi setiap ruangan setiap harinya untuk mengisi rohani pasien. Tentu ini bermanfaat bila pasiennya sesama mereka, tapi bayangkan bila pasien beragama islam, dalam keadaan lemah. Dan tidak ditunggui keluarganya, tentu mereka dengan leluasa “menceramahi” pasien yang berbeda akidahnya dengan mereka.

Belum lagi bila pasien meninggal dunia, dan menawarkan diri untuk memandikan sang mayit. Jika pasien yang telah meninggal itu masih ditunggui keluarganya yang mengerti tentang arti “memandikan” bagi sang penawar jasa itu, tentu mereka akan menolaknya. Tapi bagaimana jika tidak? Tentu mereka akan disakramen atau mandi sesuai dengan ibadah mereka.

Itu baru dari sisi pengisian rohani, bagaimana dengan makanan yang disajikan? Apakah kita yakin bahwa mereka memberikan makanan yang halal? Apakah kita yakin bahwa mereka menghormati pasien yang beragama Islam, dengan menyediakan makanan yang halal?

Begitulah pandangan yang saya berikan kepada adikku satu-satunya tersebut. Hingga adikku tak bisa berkata sepatah katapun tentang argumentasi yang saya paparkan kepadanya.

Pilihan rumah sakit yang saya inginkan?

Jika memungkinkan, saya akan memilih rumah sakit yang dikelola oleh orang muslim atau yayasan muslim, atau bila tidak, memilih rumah sakit pemerintah, atau rumah sakit yang tidak berbasis agama lain. Karena tentu saya akan memilih sebuah rumah sakit yang jelas bukan dikelola “mereka” yang sangat mungkin akan menyesatkan kita.

Karena mereka sangat gigih dari segala sisi, agar kita mengikuti keimanan mereka. Jika sampai dititik ini, apakah kita mau bertaruh, hanya karena pelayanan mereka lebih baik dari yang lain, kita berani bermain-main dengan ketauhidan kita sebagai seorang muslim?

( Harapan saya : Semoga rumah sakit yang dikelola oleh orang-orang muslim dapat berbenah diri, agar dapat memberikan pelayanan yang maksimal kepada para pasiennya, khususnya kepada saudara kita sesama muslim. Amin )

Disebuah kota, 26 September 2010

Halimah Taslima

Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata

[email protected]