“Kacamatamu ukuran berapa?” Aku bertanya, saat duduk di angkot berhadapan dengan seorang anak lelaki yang berumur sekitar delapan tahun. Dia dipanggil seorang temannya dengan nama prof. Mungkin kepanjangan dari professor.
“Min lima, Tante.” Dia dengan cepat menjawab pertanyaanku.
“Kelihatannya tebal sekali ya. Apakah kacamata itu kamu pakai terus?” Aku menanyakannya karena ketebalan kaca yang digunakan seperti tutup botol.
“Iya Tante, jika dilepas aku tidak bisa melihat.”
“Mulai kapan matamu begini?” tanyaku penasaran.
“Mulai umur dua tahun. Aku sangat senang menonton pada saat itu.” Sambil bicara dia pun membenarkan letak ganggang kacamatanya yang terlihat sangat besar. Aku melihat ukuran ganggang itu tidak proporsional dibanding dengan mukanya yang tipis. Kacamata itu mirip dengan kacamatanya “superman” bila dia menjalani hidup kesehariannya.
Kasihan juga ya pada anak ini. Hidupnya tergantung pada kacamata. Jika dia mengalami rabun dari lahir, mungkin aku tidak begitu memikirkannya. Tapi ini terjadi karena anak-anak yang dibiasakan menonton televisi sepanjang waktu, padahal usia mereka sangat muda. Hingga begitulah jadinya, mata mereka pun bermasalah.
Bicara tentang bagaimana seorang ibu yang tidak memperhatikan mata anak mereka, terjadi pula pada seorang ibu muda. Ibu ini (saya namakan saja dengan nama Saly) seorang wanita yang sangat rapi. Baik kerapian rumah maupun berpakaiannya.
Dia dulunya ngontrak di dekat rumahku. Saly sangat ramah dan sangat lembut bila berbicara, hingga aku merasa sayang padanya. Setelah Saly pindah beberapa tahun,, aku bertemu kembali disuatu tempat. Saat asyik ngobrol, aku kaget karena melihat “sesuatu” pada anaknya yang seorang laki-laki berumur sekitar tiga tahun.
Anaknya Saly terlihat “juling”, hingga aku menanyakan kepada Saly, “Sejak kapan mata anakmu begini?”. Saly kaget, karena aku mengetahui “sesuatu” tentang mata anaknya. Memang sih jika sepintas, tak terlihat yang kurang pada mata anaknya, tapi kadang-kadang saja mata itu terlihat “aneh”.
“Kok mbak bisa tahu sih, mata anakku bermasalah?” Dia heran, karena sepertinya aku perhatian banget pada anaknya. Maka selanjutnya diapun mulai bercerita bagaimana anaknya jadi begitu.
Inti ceritanya adalah, karena sangat sibuk dengan urusan rumah, maka anak di “dititipkan” pada televisi. Anaknya yang masih bayi di simpan di depan tv agar tidak kesepian, dan menganggap anaknya akan merasa tidak sendirian. Memang benar apa yang diinginkannya. Akhirnya pekerjaan rumah beserta masak-memasak selesai dengan sangat baik.
Kebiasaan menitipkan anak pada tv tersebut akhirnya berlanjut hingga beberapa tahun. Saly tidak menyadari, jika anaknya mengalami sesuatu pada matanya. Hingga anak tersebut berumur hampir tiga tahun, dia pun sadar ada sesuatu yang tidak beres pada anak tersayangnya.
Diagnosa dokter adalah; bahwa anaknya ternyata hanya menggunakan sebelah mata saja untuk melihat. Sedangkan yang sebelahnya tak pernah terpakai. Hingga bila diterapi oleh dokter, dengan cara menutup mata yang aktif membuatnya marah. Sang anak marah karena dia tak mampu melihat dengan satu matanya yang lain.
Ternyata anaknya menonton dengan posisi miring, yang menjadikan mata yang tak pernah dipakai akhirnya tidak mampu menerima bayangan benda. Maklum seperti barang yang tak pernah digunakan, maka tentu saja akan karatan. Mungkin begitulah yang terjadi pada mata sang anak tersebut.
Setelah pertemuan dengan Saly tersebut, saya pulang dengan sedikit gumaman,”Bagaimana Saly sebagai ibu dari anaknya lebih mengutamakan pekerjaan rutinnya daripada memperhatikan buah hatinya? Apa karena dia belum mempersiapkan diri sebagai seorang ibu?!” Karena memang saat ini beberapa wanita yang saya kenal, dan telah menyandang ibu, ternyata tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk mendampingi anak-anaknya dalam pertumbuhannya.
Beberapa tahun aku telah melupakan kejadian Saly dan anaknya. Hingga sekitar tiga tahun kemudian aku bertemu kembali padanya. Aku bertemu lagi pada sebuah rumah, yang tidak menyangka akan bertemu Saly dengan dua orang anak. Anak keduanya seorang gadis yang sangat cantik. Aku memerhatikan anaknya yang mirip keelokan ibunya.
Tapi pada pertemuan itu, aku kaget lagi! Aku kaget, karena anak kedua Saly ini pun bermasalah seperti pada anak pertamanya. Aku tidak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Aku hanya terpaku memandangi anak yang sangat manis itu. Aku terdiam, beku!!
Saly adalah seorang ibu muda yang telah melakukan kesalahan fatal pada putra pertamanya, karena salah mengasuhnya. Karena ingin pekerjaan rumahnya cepat beres, dia menitipkan anaknya pada sebuah televisi. Televisi adalah pengasuh anaknya. Baru dari segi mata anaknya bermasalah, bahkan yang aku takutkan adalah informasi-informasi dari televisi itu yang akan membuat anaknya menjadi seperti apa yang “diinginkan” oleh sang televisi!!.
Kesalahan pertama dan disusul kesalahan kedua, adalah bukti bahwa Saly tidak pernah belajar dari pengalamannya. Sedikitpun tak terlihat rasa penyesalan bahkan dia banyak senyum saat aku tahu tanya,”Kenapa bisa terjadi untuk kedua kalinya?’
Sengata, 5 januari 2010
Halimah Taslima
Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata