Ibu…
Saat kanak-kanak dulu, ada sebuah peristiwa yang membuatku sangat takut. Tapi Bu…Engkau datang melindungiku. Mungkin Ibu lupa, tapi aku akan mengenangnya sebagai bagian dari lukisan indah darimu.
Peristiwa itu terjadi kira-kira saat aku berusia enam tahun, dan telah duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Pada saat itu, siang hari, Ibu akan pergi ke sebuah acara. Sebelum pergi, ibu telah memberiku sebuah pengertian agar tidak naik di meja belajar kakak. Ibu juga telah memberikan alasannya.
Saat itu, aku sangat senang bermain di atas meja. Tapi saat meja kakak telah diberi selembar kaca, dengan tujuan memudahkannya menulis ataupun menggambar di atasnya. Karena memang permukaan meja belajar kakak tidak begitu mulus. Jadi memberikan selembar kaca di atasnya dengan harapan membantu proses belajar kakak akan menjadi lebih baik.
Janji telah terikrar mantap, untuk tidak menyentuh daerah terlarang. Tapi berlaku hanya untuk beberapa saat. Saat tidak ada satu pun penghuni rumah, ternyata aku lupa dengan janji. Selanjutnya naik ke atas meja belajar, dan memeragakan gaya seorang penyanyi cilik, Chicha Koeswoyo. Saat itu penyanyi tersebut lagi digandrungi oleh teman-temanku bahkan diriku pula.
Apa yang terjadi?
Tentu saja kaca di atas meja tersebut terbelah menjadi dua bagian. Aku terhenyak! Ternganga! Tidak tahu apa yang akan aku lakukan. Aku mengingat janjiku. Badan pun dibasahi oleh keringat yang mengucur. Aku takut pada Ibu, juga pada kakakku. Rasanya aku ingin tenggelam di dalam bumi saja! Aku tahu aku salah, tapi aku tidak tahu akan berbuat apa saat itu. Lama aku merasakan sebuah penyesalan, tapi aku tetap tidak menemukan jalan keluar. Akhirnya aku tertidur di samping meja tersebut.
Ibu,
Saat aku terbangun, aku tidak langsung membuka mata. Aku mendengar suara Ibu yang memberikan argumentasi tentang keadaan itu. Kakakku terdengar sangat marah. Tapi ibu mengatakan, “Coba lihat adikmu itu! Dia masih polos! coba lihat, dia tertidur di samping mejamu. Pasti dia sangat kebingungan, karena telah berbuat salah.”
Kejadian itu membuatku semakin tahu, bahwa Ibu akan selalu ada untukku. Aku merasakan “belaian” pembelaan darimu. Aku ingin melompat dan memelukmu saat itu. Tapi tak mungkin aku lakukan, karena aku pura-pura masih tertidur, padahal aku mendengar semua pembicaraan kalian.
Ibu,
Kenangan itu masih ada di sini, di dada ini. Ternyata betapa banyak hal yang dulunya kita lalui bersama, tapi saat kebersamaan itu ada, aku tidak begitu tahu “pahatan indah” apa saja yang telah aku dapatkan darimu, Bu. Karena aku hanya merasa, itu hanyalah sebuah kejadian yang memang harus ada.
Ibu,
Saat ini, setelah aku dikarunia tiga orang putera. Mengasuh dan mendampinginya dengan segenap kasih, membuatku menjadi tahu dan mengerti tentang apa yang telah Ibu lakukan padaku. Kasihmu, perlindunganmu dan airmatamu telah banyak tercurah hanya untukku.
Ibu,
Maafkan aku, karena ternyata seringkali aku tidak memahami apa yang Ibu inginkan dariku. Karena apa yang Ibu inginkan dariku seringkali tidak sesuai nalarku saat aku masih di sampingmu. Aku hanya seorang anak yang belum banyak mengenal dunia pada saat itu, dan perlu banyak belajar untuk dapat sampai pada tahap sepertimu, Bu.
Ibu,
Walau Ibu telah tiada, Aku selalu mencintaimu. Cinta yang tak mungkin pudar oleh waktu. Karena cinta yang aku rasakan darimu membuat diriku mengerti, apa arti dari cinta seorang yang memberi tanpa mengharapkan balasan. Cinta yang mengakar kuat di dada ini, merupakan buah cinta yang telah engkau tanam bertahun lamanya dengan segenap kasihmu.
Sengata, 23 Oktober 2010
Halimah Taslima
Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata