Ayahnya Pun Menangis

Pagi ini, Sabtu, jadwal ke pasar. Tapi kami, saya dan suami harus mengantar anak kontrol ke rumahsakit untuk memeriksa anak keduaku yang dikhitan hari Selasa lalu.

Matahari tersenyum di Sengata pagi ini. Seperti biasa, Sengata memang berudara panas, kadang bersuhu 42 derajat, itu kata orang-orang yang mengukurnya. Walau pun sedikit gerah, kami semangat untuk menuju ke tempat tujuan.

Sesampainya di tempat, kami pun bertemu seorang sosok lelaki ramah. Dialah pemilik rumah sakit yang cukup besar di Sengata.

“Tolong tunggu saya di ruang poly sudut sana.” Dia menyuruh kami menunggunya, karena dia ada keperluan lain.

Lelaki itulah yang telah meng-khitan anakku, Yazid. Ramah, kesan itu tak pernah pudar. Dua hari yang lalu, saat kami agak panik dengan Yazid karena sesuatu hal, dia tidak menyuruh perawatnya, tapi dia sendiri datang ke rumah kami, yang terbilang sangat sederhana bila dibandingkan dengan rumahnya.

Beberapa saat menunggu, dia pun datang, dan memersilahkan kami memasuki ruangan poly. Saya berinisiatif untuk menunggu di luar ruangan saja. Karena saya tahu, bila suami bertemu dengannya maka Insya Allah akan memerlukan waktu yang lumayan, untuk berbincang.

Saatnya pulang.

Suami konsentrasi mengemudi, tapi memberikan cerita yang didapatnya dari ruangan poly tadi.

“Tadi cerita apa aja? Lama sekali.” Tadi diluar ruangan saya mengirim SMS, agar cepat pulang, karena saya mau ke pasar.

“Dia banyak cerita. Tapi akhirnya dia menitikkan airmata, kala menceritakan tentang anak lelakinya.”

Suami tetap memandang lurus kedepan, banyak kendaraan roda dua yang mengendarai motornya seperti nggak mengerti, jalanan ini adalah jalanan semua orang. Bila mereka ugal-ugalan, akan membahayakan jiwanya maupun jiwa orang lain.

langit terlihat terang, tapi tetesan air dari langit tetap turun.

Orang-orang yang mengendarai roda-duanya terlihat sedikit panik. Mereka menambah laju kendaraan, hingga suami harus menambah ‘enzym’ kewaspadaannya.

“Dia cerita apa, kok sampai sebegitu jadinya?”

Saya menunggu lanjutan ceritanya. Biasalah, selalu ingin menekan-nekan tuts keyboard laptop, berbagi hikmah dengan penuh ‘letupan’ keingintahuan menunggu kelanjutan infonya.

“Beberapa hari yang lalu, rumahsakitku bekerjasama dengan kepolisian Sengata, dalam rangka khitanan massal. Tarif yang kami tarik untuk job itu adalah sebesar seratus limapuluh ribu per anak.” Begitulah kira-kira redaksi kata sang lelaki santun tersebut kepada suamiku.

Suami tidak bertanya, apakah khitanan massal itu gratis untuk anak-anak itu atau tidak, tapi ternyata saat dia sedang asyik mengerjakan tugasnya, mengkhitan anak-anak satu persatu.

Hingga, tibalah disuatu saat yang ‘sakral’.

Saat hampir selesai proses khitan seorang anak, ternyata dia memerhatikan anak yang sedang dikhitannya.

“Ya Allah, dia anakku, anak lelakiku yang telah kelas lima SD.” Dia tak kuasa meneteskan airmatanya. Sementara perawat di samping anaknya, adalah perawat dari rumahsakitnya.

Hatinya mengharu-biru. Antara takjub, menyesal, dan segala macam rasa telah mengaduk-aduk batinnya.

Anaknya telah mengikuti khitanan massal. Padahal dia adalah seseorang yang punya rumahsakit, yang telah banyak menolong orang untuk dikhitan, tapi anaknya memilih untuk mengikuti acara khitanan massal di sekolahnya.

“Padahal proses khitan anakku itu agak sulit di banding anakmu.” Dia berkata demikian kepada suamiku.

Suamiku pun memberikan cakap menyejukkan, bahwa anaknya telah mencontoh ayahnya, yang suka merakyat dan tidak menggunakan fasilitas orangtuanya. Bukankah sang ayah harusnya gembira dengan kesederhanaan anaknya, begitulah yang diucapkan suamiku.

“Aku tak kuasa, airmataku menetes memandang anakku, dihadapanku. Dia tidak cerita pada Bundanya maupun kepadaku, ayahnya, bahwa dia mengikuti khitanan massal itu. Sebelum pergi ke sekolah, dia hanya meminta sarung.”

Kami dapat memaklumi perasaan sang Ayah anak itu. Karena betapapun anak lelaki itu adalah buahhatinya. Mungkin dia sedikit menyesal, karena kurang memerhatikan apa yang diinginkan ksatria kecilnya itu. Kesibukannya dan istrinya sangat tinggi. Maklum dia adalah salah satu tokoh di Sengata.

Anak kita, memang kita yang melahirkannya, tapi bukan berarti kita mengetahui semua yang diinginkannya. Karena anak-anak memang kadang cukup mengerti untuk tidak merepotkan kedua orangtuanya.

Seringkali kita salah menafsirkan keinginan anak, hingga terjadilah konflik tertutup antara kita dan buah-hati kita. Keterbukaan antara anak dan orangtua memang diperlukan. Tapi keterbukaan itu sangat sulit, apalagi disaat ini, abad yang penuh tuntutan untuk berbagai kesibukan. Hingga tanpa kita sadari, ternyata anak-anak tidak sesuai dengan apa yang kita pikirkan.

Ayahnya pun menangis. Mungkin menyadari betapa kesibukannya, membuat dia dan anaknya kurang “dekat” untuk membicarakan segala impian sang anak. Tapi tentu sang ayah yang terkenal penyantun ini, bersyukur bahwa anak lelakinya adalah anak yang istimewa, karena dia mensejajarkan diri dengan teman-teman di sekolahnya untuk mengikuti khitan massal, walau orangtuanya adalah pemilik sebuah rumahsakit yang terkenal di Sengata.

Sengata, 8 Januari 2011

Halimah Taslima

Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata

[email protected]