Angkasa mulai mengumpulkan kekuatannya. Wajahnya hitam legam. Mentari pun tak berani menembus blokade itu. Hingga angin berlari tungganglanggang, menebas dan menerbangkan semua yang dilaluinya.
“Sebentar lagi hujan.” Beku suara itu di telingaku.
“Nah, nah, hampir saja menabrak angkot ini!” Sang sopir tak berhenti membuka mulutnya.
Aku merasa terganggu.
Kutengadahkan wajahku, menilik dijendela kecil angkot yang berwarna kuning ini, langit memang sedang muram. Angin memang menemaninya.
“Awasss…” teriakku, karena beberapa bakul yang terbuat dari anyaman bambu, terbang melintas di atas angkot yang sedang berjalan di jalan raya Teluk Lingga.
Aku merasa malu. Tadi aku tak begitu suka sopir banyak bercakap, tapi ternyata suaraku lebih dari sang sopir, malahan aku berteriak.
Jilbabku yang memang lebar akhirnya aku rentankan agak lebar bagian bawahnya untuk ksatria kecil di sampingku. Badannya sedikit meriang.
“Nak, masuk kedalam jilbab Mama ya?” Thoriq pun langsung membuka sedikit lebih lebar jilbab yang aku kenakan. Dan diapun merasa aman di ‘gua’ jilbab, disampingku.
Terasa hangat tubuhku, karena anakku, melekat erat disampingku. Aku yang tadi sedikit gemetar, mulai merasakan nikmatnya kehangatan tubuh.
Aku ingat istilah pada pelajaran Biologi, ‘Simbiosis Mutualisme’. Aku yang tadinya berniat agar anakku terjaga dari terpaan angin dan pasir, dengan masuk kedalam jilbab yang aku kenakan, ternyata aku pun merasakan manfaatnya juga.
Aku memerhatikan kiri dan kanan jalanan yang dilalui angkot. Takut terlewat tempat yang ingin aku singgahi. Hujan mulai turun dengan sangat derasnya, tapi aku tak membawa payung pagi ini, seperti yang biasa aku lakukan.
Aku memandangi anakku, berpikir agak lama, “kemana aku akan membawanya singgah. Sementara dia lagi tak sehat.”
“Berhenti di bengkel motor Honda ya Mas.” Sopir pun menganggukan kepalanya, tanda mengerti.
Aku memilih tempat itu karena disamping bengkel aku melihat sebuah garasi mobil yang permanen, dan tempatnya cukup bersih. Letaknya yang sangat dekat di pinggir jalan, tentu membuatku lebih mudah untuk berteduh, bersama buah hatiku ini.
Rasa syukur melekat di dadaku, yang mulai sesak. Tempat ini bersih. Aku membuka kedua sandalku dan kemudian duduk diatasnya.
Thoriq pun aku tempatkan disebelah dalam, menghindari terpaan angin kencang dan hujan yang mulai menari.
Tak banyak kata yang dilontarkannya, padahal biasanya, dia akan selalu bertanya, “ kenapa begini?” atau, “kenapa begitu?”
Mungkin dia peka akan keinginanku yang ingin meresapi suara hujan yang menetes dari ujung-ujung atap di depan kami. Atau mungkin juga dia merasa lelah.
Beberapa menit kemudian, “Mama, ayo pulang.”
“Masih hujan sayang…”
“Aku mau pulang.”
Dia mulai tak sabar, dan berdiri mendekati mobil yang bercat putih, teronggok dalam kebisuan di depan kami.
Tangannya mulai terulur untuk membuka pintu bagian depan.
“Nak, itu bukan mobil kita. Jangan sampai orangnya marah, dan mengusir kita dari sini.”
“Aku hanya melihat-lihat. Coba lihat ada bayanganku di pintu ini.”
Badannya pun di goyang-goyangkan kekiri dan kekanan. Kepalanya pun mulai diangguk-anggukkan. Dia memang tak jadi menyentuh mobil. Aku hanya tersenyum melihat tingkahnya.
Pandangan mulai aku alihkan ke langit. Masih gelap. Hujanpun sepertinya akan lama berhentinya.
“Mama… Kapan hujannya berhenti?”
“Mari kita berdoa! Ya Allah Yang Maha Pengasih, tolonglah kami. Tolong hentikan sejenak hujan ini, agar kami bisa pulang ke rumah.”
Thoriq cukup mengerti apa yang aku ucapkan. Dia hanya tersenyum memandangku. Dan kemudian mulai mengambil posisi, duduk diatas paha kiriku. Aku merasa keberatan, maka aku pun lesehan di lantai berwarna orange ini.
“Thoriq berat lho!”
“Aku nggak mau duduk sendiri.”
“Tapi Mama cape’ Sana duduk sendiri, disamping Mama, agar tak kena angin kencang.”
“Nggak mau.”
Ya sudah, dia lagi tidak enak hati. Aku biarkan dia menikmati tempat duduknya. Dan bersandar manja didadaku. Aku pun mencium pipi montoknya. Dan bersyukur kepada Allah memberikan aku seorang anak yang istimewa.
Hujan masih betah di langit. Langitpun masih berkabung. Aku memerhatikan tetesan-tetesan air dihadapanku. Aku menemukan keajaiban. Menemukan kekuasaan Tuhan pencipta hujan.
“Proses hujan tercipta diantaranya merupakan kumpulan dari awan-awan yang bersatu, yang dikerjakan oleh angin. Hingga awan itu menyatu, dan menjelma menjadi mendung. Jika manusia yang menciptakan hujan, tentu hujan yang turun bukan seperti saat ini. Mungkin berupa siraman, seperti jika kita mengambil air di sebuah timba, dan melemparkan airnya dijalanan. Tentu airnya yang terlempar bukan lagi tetesan.
Bukan seperti hujan dihadapanku ini. Hanya berupa tetesan-tetesan yang kecil. Walaupun ritme turunnya cepat, tapi tetap saja berupa tetesan kecil, yang akan aman bila kita berjalan dibawahnya.”
Beberapa menit kemudian.
Aku mulai browsing di ponselku. Tapi anakku juga ingin menggunakannya.
“Maaf Tho, Mama ingin membaca tulisan Mama.”
“Aku juga mau pakai.”
Aku membiarkannya untuk menggunakan ponselku. Dan diapun merubah tampilan ponselku.Sentuhan tangannya pun merambah nada dering. Hal yang sudah biasa dia lakukan. Hingga kadang, aku tak tahu bila ponselku berdering, aku tak mengenal nada deringnya.
Selintas aku merasakan sesuatu yang asing singgah di jeda waktuku ini. Aku merasakan seperti seorang gelandangan yang tak punya rumah, tak punya makanan. Hingga aku merasa nelangsa sendiri.
Aku berada ditempat asing. Sebuah garasi di pinggir jalan. Aku tak tahu siapa penghuninya, dan tak meminta ijin untuk menggunakannya. Mungkin saja mereka mencurigai kami, aku dan anakku. Mungkin saja mereka berpikir, dibalik jendela gelap mereka, bahwa kami patut dicurigai.
Sekarang kan lagi musimnya orang tak punya. Orang asing berada di sekitar rumah, memang perlu diwaspadai. Mungkin mereka memata-matai isi rumah. Mungkin saja. Jadi aku tidak perlu khawatir bila mereka punya perasaan itu. Aku akan maklum saja.
Atau mungkin saja, di saat hujan yang sangat lebatnya ini, kami akan diusir dari tempat ini, dengan berbagai alasan. Aku membayangkan, bahwa kami tak punya tempat berteduh yang nyaman selain di sini.
Tapi memang, nyaman atau tidak. Suka atau tidak, bila bukan milik kita, maka kita harus bersiap-siap untuk “hijrah”.
Mungkin pikiranku sedikit nyeleneh, tapi siapa sih yang tahu hati seseorang. Aku berpikir, jika hujan tak reda dalam beberapa waktu, maka aku akan hengkang dari tempat ini. Apapun resiko yang akan aku hadapi.
Lega rasanya dapat membuat keputusan, disaat aku tak ingin pindah dari sini.
Langit mulai putih. Hujan pun mulai malas menetes. Aku tersenyum, “Saatnya tiba!”
“Kita pulang ya Nak. Hujan mulai reda.” Aku mengamit lengan kecilnya dan mulai memasukkannya kembali kedalam jilbab panjangku.
“Mama gendong aku saja. Tanahnya becek.”
Aku pun mengendongnya, sambil berhati-hati menjejakkan kaki di jalanan. Menyebrangi jalan beraspal, melintasi jembatan Ulin yang cukup panjang.
“Haiii… singgah dulu. Nanti kamu basah.” Seorang kawan sedang bersih-bersih di teras depan rumahnya.
“Terimakasih. Aku mau cepat sampai.” Dengan senyum aku melewati rumahnya.
“Singgah aja Mbak. Maaf nih, aku nggak punya payung.” Seorang ibu yang berada di dalam rumahnya, berteriak cukup nyaring.
“Terimakasih Mbak. Nggak apa-apa, hujan udah reda kok.”
Jalan ini merupakan jalan alternatif. Aku suka melalui jalan ini. Sepanjang jalan ini aku mengenal baik penghuninya. Setiap melintasi daerah ini, membuatku merasakan kehangatan sapaan mereka, walau memang jarang sekali aku singgah untuk berbincang. Biasalah karena selalu diburu waktu.
Peristiwa disaat hujan ini, memberi sebuah pelajaran bagaimana kondisi batin seseorang yang menumpang pada sebuah tempat, tapi hatinya sedikit was-was, takut tidak disukai kehadirannya. Dan juga melihat betapa Allah mengasihi makhluknya, dengan menurunkan hujan hanya dengan berupa tetesan kecil, yang tetap aman bila kita terguyur hujan. Sapaan beberapa ibu yang kami lewati rumahnya, dan memanggil kami untuk berteduh di rumahnya, semuanya itu menghangatkan jiwaku.
Subhanallah. Semua waktu yang kita lalui selalu mempunyai hikmah, tinggal bagaimana kita menangkapnya untuk memaknainya dalam kehidupan ini.
Alhamdulillah.
Sengata, januari
Halimah Taslima
Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata