Sosok bersahaja yang kukenal ini namanya Halimah, biasa dipanggil dengan sebutan Limah. Ia terlahir dalam sebuah keluarga besar, ayahnya berprofesi sebagai tukang ojeg dan ibunya, seorang buruh cuci. Limah adalah anak ketiga dari 14 bersaudara.
Aktifitas gadis hitam manis ini sehari-hari adalah sebagai pengajar TPA di dekat tempat tinggalnya. Ia mengajar murid-murid usia TK dan SD yang berjumlah sekitar 15 orang, dari jam 16.00 sampai dengan 18.00 WIB. Ketika aku bertandang ke rumahnya dan bertanya alasannya mengapa tertarik untuk menjadi guru TPA, jawabannya ringan dan tanpa beban. Limah melihat bahwa lingkungan di daerahnya sangat “DANGER”. Banyak kaum muda dan orang tua yang memandang agama adalah sisi lain yang tidak terlalu diutamakan.
Jikalau ada orang tua yang peduli terhadap pendidikan anak-anak mereka pun, orang tua tersebut lebih terkesan bersikap pasif untuk memberikan ilmu agama kepada anak-anaknya. Oleh karena itu, ia mengambil kesempatan ini untuk menanamkan ilmu agama kepada anak-anak di sana sejak usia dini. Limah sangat proaktif terhadap mereka. Ia tidak ingin anak-anak di lingkungannya itu nantinya akan menjadi pemuda dan pemudi urakan. Seperti mengenal pergaulan bebas, pacaran, narkoba, minuman keras serta tidak patuh dan hormat pada orang yang lebih tua.
Lambat laun, sedikit demi sedikit makin banyak siswa dan orang tua yang pemahamannya mulai terbuka. Limah pun tetap memberi arahan, meyakinkan serta mengajak mereka untuk memahami akan pentingnya ilmu agama bagi kehidupan anak-anak mereka kelak.
Untuk memajukan TPA di daerahnya, ia melakukan usaha dengan menambah buku-buku agama dan beberapa mainan anak yang mendorong kreativitas serta imajinasi. Namun kendala yang dihadapi lagi-lagi adalah masalah dana yang sampai saat ini belum mendapat perhatian serius dari masyarakat atau pun pihak lain. “Limah berjalan tertatih untuk membangun kepedulian masyarakat di daerah Bahari ini, Mbak…..” ujar Halimah kepadaku sambil tertunduk sedih.
“Limah sudah mencoba alternatif lain untuk memajukan program ini. Bersama teman-teman dan saudara-saudara, Limah mulai membuat pola-pola baju untuk dijahit. Tentunya, hal ini sedikit bisa menambah pemasukan bagi upaya ini. Selain itu Limah juga menggalang dana dari pihak-pihak lain di luar daerah itu. Termasuk meletakkan kaleng di beberapa wartel dan masjid untuk membuat taman bacaan dan pendidikan, ” urai Limah yang selalu menyebut namanya sendiri itu sebagai panggilan dirinya.
“Tenang Dik, Insya Allah usahamu tidak ada yang sia-sia. Mbak juga akan membantumu. Sesungguhnya beserta kesulitan itu akan ada kemudahan. Segala usahamu, asal diniatkan dengan ikhlas pasti akan bernilai ibadah. Jangan sedih ya Dik, kamu tidak sendirian… Belajarlah dari orang-orang yang pernah mengalami pahit getirnya kehidupan sebelum menjadi orang sukses, ” Aku berusaha menenangkan Limah dan memotivasi dirinya supaya lebih bersemangat dalam melakukan perjuangannya itu.
Meski dalam keterbatasan, Limah sangat bahagia menekuni profesinya. Menurutnya, kebahagiaan pada dasarnya ada dua. Secara moral, ia sangat bahagia. Karena aktivitas ini sebagai bagian untuk memajukan umat dan sekaligus syiar dakwah. Namun secara materi, ia tidak bisa mengandalkannya dari hasil TPA ini. Jika dibandingkan dengan kebutuhannya, hasilnya tidak bisa mencukupi. Karena ia pun harus membantu orang tua dan adik-adiknya yang berjumlah sepuluh orang. Limah mengatakan bahwa masing-masing orang mempunyai penilaian berbeda-beda tentang bahagia. “Hidup itu ‘kan pada dasarnya mencari bahagia. Bagi Limah bahagia adalah ketika Limah bisa membuat orang lain bahagia. Limah sadar semua yang Limah miliki adalah titipan Allah, apa pun bentuknya”, ujarnya.
Sosok yang sederhana dan tawadhu ini punya prinsip hidup yang sangat membumi. Ia merasa bahwa Allah itu dekat sekali dalam kesehariannya, bukan cuma pada kesempatan tertentu saja. Limah merasakan Allah ada dalam setiap aktivitasnya. “Dia selalu melihat Limah dan selalu menemani di mana pun Limah berada”, ungkapnya. “Oleh karena itu kita harus selalu ingat dan introspeksi diri” katanya lagi.
Halimah ternyata tidak sekedar pengajar TPA yang memiliki kehidupan ekonomi marjinal, ia nyatanya punya sisi lain yang luar biasa. Selalu mengembalikan sesuatunya pada Allah, selalu berpikir bahwa semuanya hanya titipan Allah dan selalu berusaha untuk dekat pada Allah.
Siang menjelang petang, Limah telah bersiap-siap untuk pergi ke musholla yang letaknya tidak jauh dari rumahnya untuk mengajar anak-anak mengaji. Tiba di musholla, murid-murid kecilnya pun segera menyambutnya. “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, selamat sore anak-anak…” sapanya ramah. Limah mengajar mereka dengan sabar dan telaten. Meskipun ada sebagian dari mereka yang bandel dan menjengkelkan, bahkan ada juga yang mengeluh ingin ke belakang pada saat pelajaran dimulai, namun tidak pernah sekali pun terdengar ungkapan marah atau pun kata-kata menghardik. Limah selalu tersenyum dan melayani anak-anak itu dengan tulus.
Renungan sore 230508, 18:10 on [email protected]