Sudah berapa banyak guru-guru kehidupan yang hadir dalam puluhan tahun kehidupan kita di dunia ini? Hmm, rasanya sudah begitu banyak mereka hadir dalam kehidupan kita, memberikan sebuah pelajaran hidup. Mungkin, kita tidak menyadari kehadiran mereka. Tapi, yakinlah, setiap jejak meraka tertinggal dalam langkah-langkah kehidupan kita.
Guru TK-ku, aku dan teman-teman TK-ku memanggil beliau dengan panggilan Ibu Puk, adalah orang yang pertama membekas dalam benakku ketika menyebut tentang guru. Di sebuah TK yang tidak jauh dari rumahku, bahkan hingga kini TK itu masih berdiri, hampir setiap pagi di usia menjelang SD, ibuku mengantarku bersekolah di sana. Aku ingat, masa-masa itu adalah masa penuh bahagia. Hanya bermain. Bermain perosotan. Bermain ayun-ayunan. Bermain jungkat-jungkit. Indah, pokoknya. Lagu potong bebek angsa, naik-naik ke puncak gunung, balonku ada lima, adalah tiga lagu masa kanak-kanak yang hingga sekarang masih melekat di memoriku. Masih ada yang lain. Hmm, terasa ada perasaan miris kala membandingkan saat itu dan sekarang. Saat ini adalah hal yang hampir lumrah ketika anak-anak usia TK atau balita sekalipun sudah bisa bernyanyi lagu Peterpan, Nidji, Ungu, Dewa dan sederetan grup band yang lain.
Ibu Puk adalah orang yang sederhana, sabar dan penyayang pada anak-anak. Sangat cocok menjadi seorang guru TK, yang notabene, kesabaran dan penyayang pada anak-anak adalah faktor utama. Mungkin, wujud beliau yang hampir begitu sempurna di mataku itulah, yang mengilhami cita-citaku di masa SMU: menjadi guru TK. Sebuah cita-cita yang kupilih dengan penuh kesadaran, kala harapan untuk bisa kuliah di universitas terasa begitu jauh di depan mata.
Sosok lain yang juga mengisi ruang hatiku, bahkan hingga kini, adalah guru bahasa Indonesia kala SMU. Namanya Ibu Sri Mulyani. Beliau adalah seorang pendatang di tanah kelahiranku. Tapi, dedikasi beliau terhadap predikatnya sebagai seorang guru benar-benar membuatku salut dan menaruh hormat untuk beliau. Sosok beliau yang tegas tapi keibuan menjadikan beliau dekat dengan murid-muridnya, juga sebagai guru favorit di SMU-ku. Aku ingat anak-anak kelas IPA dan anak-anak kelas IPS selalu berebutan ingin beliau yang mengajar bahasa Indonesia di kelas masing-masing. Rumah beliaupun selalu terbuka untuk semua anak didiknya. Di saat lebaran, rumah beliau selalu ramai oleh kunjungan anak-anak didiknya. Bahkan hingga aku dan teman-temanku meninggalkan bangku SMU. Rumah beliau selalu menjadi ajang pertemuan bagi kami, walaupun tidak secara fisik. Bersilahturahim dengan beliau, sekaligus mendengarkan kabar teman-teman yang lain.
Beliau pula yang membuatku mencintai bahasa Indonesia. Pelajaran yang dianggap membosankan itu adalah sebuah pelajaran yang begitu aku nanti-nantikan kala SMU. Selalu ada trik-trik dari beliau yang membuatku mencintai pelajaran bahasa Indonesia. Kala SMU, pelajaran bahasa Indonesia adalah pelajaran yang aku nanti-natikan. Mungkin, bukan hanya bagi aku. Teman-teman SMU-ku juga. Beliau pula yang membuatku mencintai membaca buku sastra. Sosok NH Dini melalui novel-novelnya kukenal dari beliau. Dan sejak SMU pula, aku menyukai menulis. Tidak untuk dipublikasikan. Hanya mengisi lembaran-lembaran diaryku.
Beliau pula yang memupuk harapan di dalam hatiku untuk bisa menjejakan kaki hingga bangku kuliah. Kalimat indah ”Ananda tidak boleh putus asa. Berbuatlah yang terbaik untuk saat ini. Kita tidak pernah bisa mengetahui apa yang akan terjadi pada besok pagi” adalah kalimat penguat kalau kondisi ekonomi orang tua kuanggap sebagai penghalang untuk bisa menjejakkan kaki di bangku kuliah. Beliau benar, selalu ada jalan untuk mewujudkan mimpi. Tentu dengan usaha terbaik dan memohon sejumput doa kepada Pemilik Segala Kemudahan.
Menginjak bangku kuliah, aku menemukan sosok lain yang bisa diajak berdiskusi tentang apapun. Namanya Pak Imam Suyanto. Sebuah sosok yang kebapakan dan sederhana juga. Satu hal yang aku salut dengan beliau hingga kini, prinsip beliau kalau sebenarnya tidak perlu ada jurang pemisah antara seorang dosen dan mahasiwanya. Tentu dalam koridor tetap dalam rasa hormat-menghormati.
Maka, bukanlah sebuah keheranan, ketika ruang kerja beliau, selalu ramai oleh para mahasiswa di program studiku. Sekedar untuk mengprint skripsi, menumpang membaca buku koleksi beliau, menumpang fasilitas internet (ini masih kulakukan waktu aku mendaftar di tempat kerja yang sekarang) atau sharing apapun dengan beliau. Termasuk juga tentang masalah pernikahan. “Jika sesuatu bisa dilihat, maka pastilah sesuatu itu bisa dipelajari” , kuingat hingga kini. Sebuah kalimat yang beliau pompakan untukku, saat diskusi tentang pernikahan mengemuka di sela-sela bimbingan skripsiku. Atau nasehat lain bahwa “Tidak selamanya masa keterpisahan bersama suami itu akan dijalani. Toh, semuanya nanti ada akhirnya.”, adalah kalimat semangat lain di penghujung teleponku kala berpamitan kalau aku akan melanjutkan studi ke negeri sakura. Di saat beberapa orang berkomentar dengan nada menyudutkan, beliau memberikan semangat untukku dan suami. Sebuah embun penyejuk bagi kami.
Kenangan lain yang tidak akan terlupakan adalah tentang seorang Ibu Elly. Guru mengajiku di Bandung yang beberapa hari setelah Ramadhan usai, meninggalkan dunia fana ini dan menghadap Sang Khalik. Sebuah sedih merambat di hatiku, saat sebuah pesan dari seorang teman kantor yang saat ini sedang menempuh studi di Australia yang juga adalah murid beliau muncul di chat roomku. Terasa ingin terbang ke Bandung. Melihat beliau untuk yang terakhir kalinya. Memandikan, Mengkafani, menshalatkan dan juga ikut mengantarkan beliau ke tempat peristirahatan abadinya.
Curhat tentang proses taarufku di sepuluh malam terakhir 1428 H kala itikaf bersama beliau di masjid kantorku adalah kenangan indah yang terus terekam. Nasehat, masukan dan support beliau begitu berarti untukku yang saat itu agak gamang. Juga dengan nasehat-nasehat beliau di pengajian rutin mingguan kami. Beliau adalah orang yang selalu mendorong kami, murid-muridnya, untuk segera menggenapkan setengah dien. Sebuah nasehat yang begitu membekas hingga kini adalah tentang sadaqah dan berkurban. Membuat kami, murid-muridnya, menjadi lebih mengerti makna sadaqah dan berkurban. “Kalau kita mensadaqahkan sekian rupiah, maka bukan berarti sekian rupiah itu habis. Tapi, sekian rupiah itulah yang akan menjadi harta kekayaan kita di akhirat nanti”, itu kata beliau. “Kalau bisa cobalah untuk berkurban setiap tahun. Nabi Ibrahim saja ikhlas untuk mengorbankan anak kesayangannya, Ismail, sebagai perwujudan cintanya untuk Allah, lalu mengapa kita juga tidak mencoba ikhlas untuk mengorbankan harta kita sebagai perwujudan cinta kita untuk Allah? Kita hanya diminta mengorbankan harta kita, bukan anak kita. ”, itu kata beliau juga.
Cerita lain yang begitu menggugah tentang beliau adalah saat beliau sakit. Ujian tidak bisa melihat lagi keindahan warna-warni dunia, tidak menjadikan beliau patah semangat. “Sekarang penglihatan ibu sudah semakin mengabur” diucapkan beliau bukan dengan sebuah nada penyesalan. “Satu yang ibu tidak bisa lalukan lagi setelah tidak bisa melihat: ibu tidak bisa lagi membaca ayat-ayat Al-Quran.”, adalah kalimat lain yang membekas di relung-relung hatiku. Kebutaan itu tidak juga menjadikan beliau surut berhenti mengajar di majelis taklim ibu-ibu di sekitar rumah beliau. Walaupun beliau harus dituntun ke tempat mengajar. Juga dengan malam-malam penuh berkah Ramadhan 1429 H. Beliau juga masih berusaha memberikan sesuatu yang terbaik untuk Sang Khalik di sepuluh malam terakhir Ramadhan 1429 H itu. Beruntunglah beliau dikarunia seorang suami dan dua orang putri yang begitu mencintai dan menyayangi beliau.
“Wah sekarang, ibu tidak punya murid lagi. Neli sudah sekolah di Australia. Fety juga akan berangkat ke Jepang. Leli dan Ken juga sudah pulang ke kampung halaman.”, adalah kalimat terakhir beliau untukku, kala aku ditemani seorang teman berpamitan dengan beliau, sebelum keberagkatanku ke negeri Sakura. Entahlah, saat itu aku dan temanku begitu ingin berlama-lama bersama beliau, walaupun kami harus membuat jeda bagi beliau untuk menyampaikan materi pengajian dengan ibu-ibu majelis taklim. Sekarang beliau sudah berada di rumah abadi. Mempersembahakn sesuatu yang terbaik kepada Sang Penciptanya. Meninggalkan kebaikan-kebaikan bagi orang-orang yang mengenal beliau.
Apa kabarmu hari ini guru-guruku? Apa kabarmu, Ibu Puk? Apa kabarmu, Ibu Sri? Apa kabarmu, Pak Imam? Apa kabarmu, Ibu Elly? Memang tidak terputus silahturahim antara kami. Tetap ada sms atau email, walaupun mungkin itu setahun sekali, kala menjelang Lebaran. Tapi, hari ini ingin kutanyakan kabar kalian. Dan ingin kusampaikan, seribu penghargaan dan rasa terima kasih untuk semua semangat, dukungan dan support kalian untukku. Terima kasih, Guruku.
@dormitory, Inage, Oktober 2008.
Kala mengenang seorang Ibu Puk, Ibu Sri, Pak Imam dan Ibu Elly. Terkhusus untuk Ibu Elly semoga Allah menempatkan engkau di tempat yang terbaik di sisi-Nya