Kemarau hadir lagi setelah beberapa waktu hujan mengguyur Yogya. Membasahi rumah-rumah sederhana dan hati yang bersahaja. Sisa-sisa reruntuhan telah menjelma menjadi kampung baru, tempat meneduhkan jasad dan hati ini. Ada banyak makna dari gempa 5, 9 scala richter 27 Mei 2006 pagi itu. Dari hal yang paling nampak olah mata atas kuasa Allah, sampai sesuatu yang sangat individual.
“Saya berlari sekuat-kuatnya, jatuh terpelanting berkali-kali, dan ketika berhasil keluar rumah, saya menengok ke belakang dan rumah saya udah nggak ada, roboh.”
“Bapak sedang di belakang rumah. Trus lari tapi tak bisa berdiri. Lalu merangkak ke gunung pasir. Setelah sampai di atas, bapak lihat air laut, rumah dan tendon air yang tinggi itu bergerak seperti berdzikir.”
“Reflek saya berlindung. Ternyata masuk ke kolong tempat tidur. Kalau kondisi normal mungkin saya tak pernah coba-coba masuk. Kolong itu seharusnya terlalu sempit untuk saya dengan kandungan sebesar ini. Begitu goncangan reda, ternyata rumah-rumah sudah rata.” Saya tahu, itu termasuk rumahnya.
Pagi itu Allah seperti sengaja membuka langit, manumpahkan segala hikmah dan ilmu bagi setiap manusia baik yang mengalami maupun melihatnya di televisi. Setiap saya bertemu orang, survivor (korban yang selamat), keluarganya, sahabatnya, para relawan bahkan orang-orang yang hanya pernah mengenal Yogya, masing-masing memiliki kalimat hikmah yang sangat pribadi.
Saya sempat menghubungi seorang sahabat di Aceh, memastikan saat itu hanya gempa lokal. Lalu selama hampir dua hari saya kehabisan batre HP dan berada di daerah susah sinyal. Seorang teman “marah” ketika saya muncul kemudian. Beliau nampak kewalahan menjawab pertanyaan teman-teman kami di sepanjang nusantara dan beberapa kota di luar negeri lantaran saya tak bisa dihubungi.
“Ah, segitunya.” Saya tersenyum. Dan beliau semakin ribut. Sebenarnya ada yang mengalir di dada ini, sensasi bahagia karena nyawa saya masih berarti bagi mereka. Bukannya Ge-eR, saya husnudzon saja.
Pada sepekan pertama, kami sibuk berkonsentarasi pada penyelamatan. Saya memilih sebagai petugas serabutan, dari memasak sayur kol (karena tak ada sayuran selain itu) sampai mencoba mempraktekkan komunikasi terapeutik kepada para survivor. Yang saya ingat hanya, sepanjang jalan, sepanjang siang jalanan penuh dengan kendaraan mengangkut barang-barang bantuan dan ambulans yang meraung-raung. Saya seperti tidak percaya, ini terjadi di kampung saya. Masih ingat betul bagaimana kami menggalang dana untuk Aceh, Palestina dan tempat lain yang terkena musibah. Lha? Hari ini ternyata mereka yang berpayah-payah menyampaikan sumbangan untuk kami. Subhanallah. Ada perasaan teduh yang sulit diceritakan ketika semua orang tiba-tiba mengulurkan tangannya dan terasa begitu saling dekat.
Setiap kali saya membaca, mengikuti taklim, mendengar ayat, saya selalu saja merindukan untuk dapat mengalami sendiri kisah-kisah itu. Bagaimana rasanya ukhuwah Islamiyah, kehidupan seorang muslim yang saling menanggung penderitaan orang lain. Bagaimana rasanya kita menyerahkan anfal wa anfus (harta dan jiwa), bagaimana kurma sebiji telah mengenyangkan orang sepasukan. Sekarang saya mengalaminya.
Tak sempat lagi saya mengeluh. Karena ketika seorang sahabat pamit setelah bertandang maka hadir kembali entah siapa secara tiba-tiba. Rasanya tak putus-putus.
“Tadi teman-temanmu kesini. Mereka lucu-lucu. Ibu dikasih bungkusan ini. Katanya dari Maulana, takmir Masjid Kampus UGM, ” kata ibu saya ketika saya pulang ke rumah. Saya tidak mengenal takmir itu. Pasti beliau ikut rombongan teman-teman saya yang emang suka ngumpul-ngumpul di selasar masjid.
“Baru aja perpisahan sama relawan Jakarta. Rasanya sepi. Tinggal kami berdua.” Tulis seorang sahabat dalam SMS-nya.
Tetapi itu tidak berlaku lama. Karena berikutnya adalah,
“Ini Mbak Nurika yang emailnya [email protected]. Saya Nanang, ingat nggak mbak? Sekarang sedang di Pundong.”
“Mbak, Taqi ke Yogya. Bawa uang sedikit, disalurkan kemana?” Ini orang Malang yang sekarang sedang belajar di Sudan.
“Saya Budi Surabaya, tahu mbak dari milis. Saya punya program recovery mental anak-anak. Mungkin kita bisa sharing.”
“Akhirnya saya dikirim ke Yogya. Besuk kita ketemu ya.” Kata sahabat saya yang bertugas di PMI Turki, Banda Aceh. Sebelumnya kami merasa tak akan bertemu kembali setelah berpisah jauh.
“Ibu punya 100 batang bambu. Mbak Ika boleh mengambilnya di rumah.” Ini SMS dari ibu (mantan) teman kos saya.
“Gimana kabarnya? Kami baru saja selesai aksi galang dana. Insya Allah akan segera dikirim ke Yogya.” Rasanya “nyes” membaca SMS dari sahabat di seberang pulau sana. Meski saya tahu, uang itu bukan untuk saya.
Kurang lebih begitu. Saya tak sempat lagi mengingat dan mencatat SMS dan email-email yang menanyakan kabar dan menawarkan bantuan. Bahkan banyak yang tak sempat terbalas karena saat itu susah listrik, hingga harus menghemat batre. Mereka bukan saja sahabat dekat, tetapi juga sahabat yang lama tak berjumpa, temannya teman saya, tetangganya teman saya, teman kantornya teman saya, dan orang-orang yang sepintas mengenal saya, atau bahkan belum sama sekali. Subhanallah. Karena guncangan itu kami bertemu.
Sebuah mobil bak terbuka berisi ikhwan-ikhwan berkaos seragam dan berbagai alat pertukangan, pagi-pagi telah parkir di depan rumah saya. Saya hanya mengenali salah satunya orang Bantul.
“Mbak, mana yang perlu diperbaiki?”
“Wah, beneran nih? Urut dari depan ya? Itu gunungan rumah retak, trus yang tengah genteng-genteng pada melorot dan sebagian pecah. Tembok-tembok bagian selatan retak, yang bagian utara sepertinya perlu diruntuhkan. Rumah bagian belakang atapnya miring ke timur. Oh ya, kalau pompa airnya macet tolong nimba sendiri ya. Tiang sumurnya roboh, jadi tolong dibuat kerekan sementara.”
Rasanya tak perlu sungkan meminta tolong. Lalu saya pun pergi memenugi tugas lain dan pulang mendapati rumah hasil kerja keras beliau-beliau. Bahkan saya belum sempat mengucapkan terima kasih sampai posko mereka ditarik kembali.
Suatu hari saya berkesempatan ke Jakarta karenahadiah darikampus. Saya sempatkan SMS salah satu dari relawan itu. Saat saya telah berada di salah satu rumah beliau, ada perasaan yang sulit dideskrispsikan. Beberapa waktu lalu kami tak saling kenal. Namun rasanya saat itu saya seperti sedang berada di rumah saudara dekat yang lama tak saya kunjungi. Saya pulang kembali ke hotel sambil menenteng olah-oleh dari mereka, untuk saya dan teman-teman kami di rumah. Sulit menjelaskan kepada teman-teman kampus saya tentang oleh-oleh ini.
“Pasti bukan teman biasa, ” kata mereka.
Mungkin kami telah kehilangan banyak hal karena gempa waktu itu, termasuk saudara dan sahabat-sahabat kami. Memang tidak selamanya kita akan bersama orang-orang yang kita cintai, melainkan Allah menambahkan cinta dan sahabat lebih banyak dari yang kita miliki saat itu. Saya beruntung mengalami semua ini. Saya belajar untuk mencintai, bukan memiliki. Karena cinta tak pernah memisahkan. Semoga cinta pula yang menyebabkan semua orang mengokohkan semangat kami. Hingga menjadi amal yang tak memisahkan beliau-beliau dari Syurga Allah, tempat kita reriungan kelak.
Yogya, Januari 2007.
Sahabat, iya, ini Ika. Anggaplah ini sebagai ucapan terima kasihku yang terlambat atau SMS/surat yang tak terbalas. Karena sebenarnya telah kukirim dalamdoa-doa. Semoga kalian berkenan.