Sedih. Itulah yang dirasakan ibu tersebut. Entah dari mana sumbernya, namun berita bahwa anaknya melihat situs tak senonoh di internet merebak ke mana-mana. Ia sendiri mendengar berita itu dari tetangganya. Tetangganya mendengar dari tetangganya lagi, yang mendengar dari tetangga tetangganya lagi. Seberapa akuratkah berita itu? Ternyata, dibandingkan kenyataannya, berita yang beredar jauh lebih heboh.
Memang ada sedikit kebenaran pada berita tersebut, yaitu, anaknya bersama teman-temannya iseng membuka internet, dan mencari info tentang artis pujaannya. Namun internet memang punya segudang info, yang perlu maupun yang sampah. Tanpa sengaja, anak-anak lugu yang baru belajar internet ini terperosok ke situs yang menampilkan artis dengan busana kurang pantas. Dan mereka kepergok. Entah bagaimana, berita yang menyebar adalah anak-anak tersebut sengaja mengunjungi situs porno.
“Gosip berhembus laksana angin. Terbang ke mana-mana, tak kenal ruang dan waktu. Semakin terkenal orangnya, semakin luas jangkauan gosipnya. Gosip juga ibarat tarikan nafas, tak pandang siapa pun, miskin kaya, susah senang, hampir semua membawa atribut gosip. Hanya orang-orang yang waspada yang bisa terhindar darinya.” Demikianlah ustadz muda di hadapanku ini mengawali ceramahnya tentang gosip. Awal yang menarik.
“Gosip menjadi primadona di televisi. Dari RCTI ada Go Spot, Silet, Kabar Kabari. Dari SCTV ada Waswas, Halo Selebriti, Ada Gosip. Indosiar menawarkan Kiss, Intermezo. TPI menyiarkan Go Show, Blak-blakan Selebriti. TransTV menjual Insert Pagi, Insert Siang, Insert Sore tiap hari. TV7 ada Star7, Kabar Idola. StarANTV menawarkan Espresso, Double Espresso. Di Lativi ada Expose Siang.
“Bila acaranya bagus dan juga muatannya seputar informasi yang tidak membuka aib seseorang atau keluarga tidak menjadi masalah. Yang merusak itu kalau yang diekspos tentang ribut-ribut keluarga kemudian saling membongkar aib masing-masing pasangan suami-isteri atau keluarga lainnya. Dampak negatifnya nanti akan memberikan kesan bahwa selingkuh adalah sesuatu yang diperbolehkan, hamil di luar pernikahan adalah hal yang biasa. Itu mengganggu konsep keluarga yang bahagia.
“Gosip mendapatkan perlakuan ‘istimewa’ di alQuran, lantaran bahayanya yang nyata. AlQuran menyebutnya ghibah, ” katanya melanjutkan. Namun kupikir, ini bukanlah informasi baru. Artinya, sudah banyak orang yang tahu tentang gosip, bahayanya, dan ancaman Allah terhadap orang yang melakukannya. Namun demikian, minimal apa yang disampaikan bisa mengingatkan kembali diriku yang sering lupa ini.
Ustadz tadi kemudian membacakan ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebahagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12)
Dan definisi yang Rasulullah sendiri berikan,
“Ghibah ialah engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.” Si penanya kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu bila apa yang diceritakan itu benar ada padanya?” Rasulullah e menjawab, “kalau memang benar ada padanya, itu ghibah namanya. Jika tidak benar, bererti engkau telah berbuat buhtan (mengada-ada).” (HR Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Namun ustadz tadi menambahkan “Ghibah adakalnya diperbolehkan. Imam Nawawi menjelaskan hal ini dalam Syarah Shahih Muslim dan Riyadhu As-Shalihin kapan dan di mana ghibah menjadi boleh
“Ghibah menjadi boleh jika bentuknya adalah At-Tazhallum (pengaduan). Boleh bagi seseorang yang terzhalimi untuk mengadu kepada seorang penguasa atau seorang qadhi atau yang lainnya dari pihak-pihak yang meliki kekuasaan atau kemampuan untuk berbuat sportif terhadap pihak yang menzhaliminya, dengan berkata (misalnya), “Si Fulan telah menzhalimi saya dengan (perbuatan) ini. Juga untuk permintaan tolong untuk mengubah sebuah kemungkaran, mengembalikan seseorang yang berbuat kemaksiatan kepada kebenaran, dengan berkata kepada pihak yang diharapkan kemampuannya untuk menghilangkan kemungkaran tersebut
“Selain itu juga untuk Al-Istifta’ (upaya meminta fatwa). Yaitu dengan cara berkata kepada sang mufti atau ulama, “Ayahku atau saudaraku atau suamiku atau si fulan telah menzhalimi aku, apakah perbuatan itu boleh bagi dia? Dan bagaimana caranya agar aku bisa lepas dari (kezhaliman)nya serta mendapatkan kembali hakku dan mencegah kezhalimannya?” atau yang semisal itu. Maka, perbuatan seperti ini adalah boleh hukumnya untuk suatu kepentingan tertentu.
“Walaupun, ” ustadz tadi menambahkan, “yang lebih hati-hati dan lebih baik adalah dengan mengatakan, ‘Apa pendapatmu tentang seorang pria atau seorang tertentu atau suami yang kondisinya seperti ini?’ Karena tanpa menyebut nama pun sebenarnya kasusnya sudah bisa diutarakan dengan jelas. Tetapi, menunjuk secara langsung pun hukumnya boleh
“Pernah pada zaman Rasulullah terjadi, Hindun bin ‘Utbah berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah pria yang sangat kikir dan sesungguhnya ia tidak memberi nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku, kecuali apa yang aku ambil darinya dalam keadaan dia tidak mengetahuinya?’ Maka Rasulullah menjawab, ‘Ambillah apa yang cukup buat kamu dan anakmu dengan cara yang baik.’ Hadits ini muttafaqun alaih, artinya diriwayatkan oleh Bukhari Muslim.”
Sebenarnya ada beberapa point lainnya yang dijelaskan oleh ustadz tadi. Namun aku keburu melamun, mereka-reka sendiri. Kelihatannya, sebagian besar alasan ghibah di atas adalah dalam rangka mencari kemaslahatan. Bukan sekedar berasyik-asyik menggosipi seseorang tanpa niat perbaikan apapun. Jangankan niat perbaikan, malah boleh jadi kita bergosip ria dengan membawa hawa dendam dan kebencian. Atau jangan-jangan turut bergembira dengan tersingkapnya aib sahabat kita.
“Ada beberapa alasan mengapa biasanya kita tergelincir untuk bergosip atau bergunjing, yang semua alasan itu tidak termasuk dalam kriteria menggunjing yang dibolehkan, ” sambung ustadz tadi.
“Antara lain, kita menggunjing karena sedang menghilangkan rasa sebal kepada yang digunjing, atau karena sedang mendukung teman yang kebetulan lawan dari yang digunjing, atau merasa sedang dimusuhi oleh orang yang digunjing. Bisa juga menggunjing semata-mata karena dengki. Atau jangan-jangan kita bergunjing sekedar bergurau.
“Jadi, mulai sekarang, sebelum memulai pembicaraan tentang orang lain, mari kita ukur terlebih dahulu boleh tidaknya dengan menggunakan kriteria-kriteria tadi.”
sabruljamil.multiply.com