Lapar sekali malam ini, hingga langkahku melaju masuk ke warung nasi tegal depan kampus FTUI. Maklum anak kost, harus pinter ngatur keuangan termasuk manajemen lapar. Makanan favoritku aku pesan, nasi, sayur kacang panjang, dan tempe. Kebetulan ada sedikit rizki hari ini aku tambahin usus ayam untuk lauknya, kalau toh duit di kantong gak cukup biasa aku bayar belakangan.
Perlahan aku nikmati ayunan demi ayunan sendok makan ke mulutku. Rasa nasi di warteg ini memang khas, empuk dan pulen, beda dengan warteg lainnya. Penjualnya juga ramah menyapa dengan logat Tegal medhok.
“Meoong…Meong……” teriak kucing di bawah meja makan dan tiba-tiba berdiri dengan dua kaki depannya mencakar kaki kiriku. Terang aja kaget, langsung ku usir kucing yang tidak tahu sopan santun itu. Kulanjutkan ayunan nikmat makan malam itu. Ternyata si kucing tidak menyerah bergitu saja, ia kembali berdiri dengan posisi semula. Dasar kucing, tapi setelah aku amati sejenak, seolah minta belas kasih barang tulang ikan. Yang jelas saja, menu makan malamku kan tanpa daging atau ikan.
Aku didik kucing itu agar mengerti keadaanku, untuk makan seadanya. Aku ambilkan beberapa potong kacang panjang yang ada di piringku lalu ku lempar dekat dia duduk. Langsung moncong mulutnya mendekat, sembari hidungnya mengendus-endus kacang itu. Dan hasilnya, nihil. Dia tidak mau makan sayuran, “Meong…Meooongg…” seolah ia kesel dan merasa tertipu. Aku sendiri menyesal si kucing tidak makan kacang itu, akhirnya kan jadi terbuang mubadzir.
Terpaksa ku ambilkan beberapa potong usus untuk makan kucing malam itu, dia pun lahap mengunyah menu andalanku malam itu. Aku berfikir mungkin dia memiliki beberapa bayi kecil yang setia menunggu disusuinya di rumah. Semoga beberapa potong usus tadi berguna, minimal bagi sang ibu yang juga lapar.
Langkahku menuju kost, tempat meneduh di Jakarta yang panas ini. Sejenak ku senderkan bahuku, sambil ngobrol dengan teman sekamar. “Meoong…Meongg…”, yaa ampun pikirku apa kucing yang di warteg tadi membuntutiku. Segera aku keluar kamar melihat-lihat. Ternyata bukan, ini kucing yang berbeda. Kali ini lebih agresif, setelah melihatku dia langsung meluncur menggesek-gesekkan badannya ke kedua kakiku.
Daripada yang di warteg, kucingnya lebih bersih, lebih muda, dan lebih lapar. Ke mana pun aku berjalan dia mengikutiku, aku ke dapur sembari mencari sisa makanan dia ikut, aku masuk kamar dia ikut masuk. Padahal teman kamarku paling tidak suka ada hewan masuk kekamar, apalagi kucing yang rontok bulunya bikin kotor sana sini. Diusirlah kucing itu keluar namun bandel sekali, dia tidak mau keluar. Terpaksa aku angkat keluar kamar, kututup pintu rapat.
Bunyi meong-meong sudah tak terdengar, entah apa yang ditemukan kucing lapar itu di luar. Aku terdiam berfikir, mungkin kucing ini benar-benar dalam keadaan lapar dan tidak tahu harus mencari ke mana lagi. Aku juga sering merasakan lapar tanpa tahu harus mencari ke mana, namun ada saja pertolongan ALLAH. Sering aku merasakan bantuan dari teman-teman sekitar. “Ahh mungkin giliranku menolong malam ini…” gumamku. Walau seekor kucing, ia juga makhluk ciptaanNYA. Bisa jadi meongnya berupa kalimat pujian dan syukur kepada Sang Pencipta.
Kuambil mie rebus jatah sahur besok untuk kucing kecil itu. Aku potongkan kecil-kecil, dan dia makan dengan lahapnya, walau kesulitan dengan taringnya yang tajam mencuat. Lapar benar kucing itu, sama laparnya mungkin sebelum aku masuk warteg beberapa jam tadi. Alhamdulillah aku bisa menjamu 2 ekor kucing malam ini. Sepertinya aku masih memiliki jatah telor, setelah ku buka kulkas dan benar, masih dua butir telor ayam negeri.
Aku rebus telor itu untuk tamu tak diundang ini. Si kucing kecil ini mengikuti langkahku ke dapur dan menggesek-gesekkan badannya ke kakiku. Sesekali dia mencakar dan menggigit, benar-benar dalam keadaan lapar kucing ini. Dengan sabar dia menunggu telor rebus sembari mengais tempat sampah di bawah kompor dapur.
Kira-kira sudah setengah matang, setelah aku kupas telor itu dan si kucing kecil menyantap telor walau masih dalam keadaan panas. Tidak menyerah ia memakannya perlahan, sembari menggelengkan kepala berkali-kali tanda kepanasan.
*****
Saudaraku,
Di sisa waktu ini, semoga kita tidak terlalu kesulitan untuk berbagi rejeki dengan lingkungan sekitar, terlebih kepada sesama yang lebih membutuhkan. Karena kekayaan kita sebenarnya adalah apa-apa yang sudah kita berikan untuk kebaikan, baik harta, tenaga, pikiran, waktu, hingga sekedar doa sekalipun. Dan kelak kita akan menerima balasannya, kalau tidak di dunia pasti di akhirat kita akan mendapatkannya. Pasti!
“Sayangilah yang ada di bumi,
niscaya yang di langit akan menyayangimu…”
——————————–
f_495: 13/04/2006