“Ya Allah, laki-laki itu begitu menggoda hati hamba, apakah hamba telah jatuh cinta padanya? Apakah ia adalah sosok dambaan hati hamba selama ini? Ya Allah, kenapa kerisauan di hati ini selalu menimpa disaat tak bertemu dengannya? Ya Allah, begitu mempesonakah ia? Ya Allah, bimbinglah cinta ini ke jalan yang Engkau ridhai.”
Itulah kata-kata yang sering terlontar dari bibirnya. Kata-kata yang terangkai dari kegelisahan yang tidak pernah selesai. Kalimat yang tersusun dari gejolak yang sering memberontak dalam jiwanya.
Hatinya sering menjerit. Ia seakan tak sanggup mengontrol perasaan yang selalu bergemuruh dalam dadanya, apalagi disaat berhadapan dengan laki-laki itu. Tatkala ia bertatap muka dengannya, ada rasa kegembiraan yang begitu sulit ia gambarkan. Ada kecemasan yang tak ia pahami. Pertemuan-pertemuan yang selalu tak terduga. Ketika bersua di halte, dalam bis, dalam sebuah acara dan bahkan disaat nama laki-laki itu disebutkan. Hatinya bergetar, dadanya sesak dan gejolak-gejolak yang tak ia pahami seakan berupaya menguasai hatinya.
Sering kali ia berusaha menghindar, namun waktu seakan berusaha untuk mendekatkan jarak antara dirinya dengan laki-laki tersebut.
Ia telah berupaya mati-matian untuk melepaskan ingatan yang acap kali menjelma dalam pikirannya. Ia juga sering bertarung dengan bisikan-bisikan yang selalu menggoda hatinya.
Ia tahu, sebagai seorang wanita perasaan itu wajar muncul, tapi ia heran apakah saat ini dan pada sosok itu. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Ia sering kali menangis. Menangisi dirinya yang begitu lemah, labil dan mudah goyah.
Akankah cinta berbagi? Banyak gejolak yang bermunculan dalam hatinya.
Dalam tangisnya ia sering berkata, “Aku tak boleh lemah, aku tak boleh membagi cinta ini. Aku tak ingin mengkhianati orang yang selama ini telah begitu penuh mempercayaiku. Tapi, aku tak kuasa membendung gelombang perasaan yang selalu menyesakkan ruang dada ini.
Kalau aku tahu akan seperti ini, aku menyesal dengan pertemuan itu. Aku tidak akan mau mengikuti kegiatan itu. Tapi semuanya sudah terjadi, tak ada yang perlu disesali. Penyesalanpun saat ini tidak akan memberi arti.”
Laki-laki tersebut adalah kakak pembimbing belajarnya. Seorang pemuda yang menurut penilaiannya begitu perfek. “Ah, begitu sempurna,” decaknya berulang kali penuh kagum. Seorang laki-laki yang punya segalanya. Bahkan pikirannya sering melayang jauh untuk bisa lebih dekat dengan laki-laki tersebut. Tapi, seketika ia sadar, pikiran-pikiran itu salah dan tidak layak.
Saat ini, ia telah menikah dengan seorang laki-laki pilihan orang tuanya. Ia memang tipe seorang anak yang patuh. Demi cintanya pada orang tua, ia rela mewujudkan apapun permintaan orang tuanya selama masih dalam ridha Allah. Apalagi sebagai seorang anak tertua ia harus menjadi teladan bagi adik-adiknya dalam kepatuhan pada orang tua.
Ia pun sadar, telah sekian bulan menikah, rasa cinta belum hadir di relung hatinya. Kehidupan rumah tangganya masih sunyi dari canda dan tawa. Ia masih belum sepenuhnya bisa menyesuaikan diri dengan laki-laki yang saat ini tengah hidup bersamanya.
Untuk memudahkan dirinya memahami diktat kuliah, ia meminta pada suaminya untuk mengizinkannya mengikuti bimbingan belajar. Suaminya pun tidak keberatan, walaupun pembimbingnya seorang laki-laki, tapi karena kepercayaan dan cinta yang telah tertanam kuat dalam hatinya pada istrinya, suaminyapun mengizinkan.
Pelajaran Mantik, adalah diantara pelajaran yang masuk kategori sulit di kalangan mahasiswa/i, sehingga banyak mahasiswa/i yang nilainya pas-pasan di bidang ini.
Adapun sang pembimbing tersebut adalah seorang mahasiswa yang berprestasi, gagah, cerdas, rapi dan berwibawa. Seorang laki-laki yang kalau berbicara begitu sanggup memukau pendengarnya, seorang laki-laki yang kata-katanya mampu membuat telinga wanita-wanita tahan berlama-lama mendengarkannya. Seorang pemuda yang punya logika berfikir yang matang. Tak heran banyak mahasiswi yang melirik padanya dan berharap bisa menjadi pendampingnya, hanya saja ia sudah punya komitmen untuk menyelesaikan studi sampai jenjang S2, kemudian baru menikah.
Satu dari sekian mahasiswi yang punya simpati itu adalah dirinya. Ia merasa laki-laki yang menjadi pembimbingnya selayaknya menjadi suaminya. Ia sejak dulu mendambakan suami yang cerdas, gagah dan berprestasi. Ya, ia ingin punya suami yang perfek. Tapi takdir berkata lain, ia dinikahkan oleh orang tuanya dengan orang yang tidak ia kenal sebelumnya.
Hari-harinya tidak pernah tenang, ia diliputi dua perasaan yang berlawanan, dua cinta berusaha mengambil alih dan merebut mahkota hatinya.
Suaminya, walau tidak begitu berprestasi di bangku kuliah tapi ia dikenal seorang yang gigih dan taat. Ia punya beragam usaha di Kairo. Yang dari keuntungan hasil usaha itu ia kirimkan ke kampung untuk membantu sekolah adik-adiknya.
Suaminya sebenarnya seorang yang tak kalah pintar juga, hanya saja kesibukannya di luar aktifitas kuliah; menghadiri berbagai talaqi dan dunia bisnis, sehingga terkadang pulang larut malam, membuatnya tidak begitu menonjol di bangku kuliah. Disisi lain, suaminya punya kepribadian yang baik dan seorang yang patuh menjalankan perintah agama. Seorang yang sangat cinta pada Al-Qur`an dan buku-buku hadits. Dua pedoman itu seakan tidak pernah lepas dari genggamannya. Yang selalu ia bawa, baca, renungkan, hafalkan dan amalkan. Satu hal inilah yang menjadi perbedaan yang menonjol antara suaminya dengan pembimbing belajarnya yang tak lain sahabat suaminya.
Waktu terus berjalan. Suaminya tak pernah bosan menunjukkan rasa cintanya. Suaminya memang seorang yang sangat penyabar. Seorang laki-laki yang berhati lembut dan berkepribadian matang. Seorang laki-laki yang dari pancaran air mukanya terlukis ketakwaannya. Betapa tidak, setiap malam shalat tahajud hampir tidak pernah ia tinggalkan, membaca Al-Qur`an seakan makanan yang tak pernah ia lupakan.
Ia sendiri heran, kenapa dirinya belum sepenuhnya mencintai laki-laki yang telah halal baginya. Dan kenapa cintanya ingin berlabuh pada laki-laki yang tidak halal bagi dirinya.
Inikah akibat dari mata yang tidak bisa terjaga? Inikah akibat dari mengikuti bisikan-bisikan hawa nafsu?
Pada suatu malam, ia terbangun oleh suara tangis yang menerobos ruang telinganya, suara itu berasal dari ruang tengah rumahnya.
Ia bangun dan mengikuti sumber suara itu. Suasana ruang tengah remang-remang, ia melihat suaminya tengah bersimpuh, mengangkat kedua tangannya ke langit, suaminya tengah berdo`a pada Allah,
“Ya Allah, Tuhan yang menggenggam jiwa hamba, betapa diri ini mencintai-Mu. Betapa kerinduan hamba pada-Mu terus membuncah. Betapa hamba tak tahan lagi untuk segera bertemu dengan-Mu, Ya Allah karuniakanlah hamba syahid di jalan-Mu.
Ya Allah, hamba bersyukur pada-Mu, karena Engkau telah mengabulkan do`a hamba selama ini. Engkau telah menganugerahkan hamba seorang istri yang elok dipandang, patuh dan baik. Hamba bersyukurpada-Mu ya Allah. Hamba mencintai dirinya karena-Mu. Ya Allah jadikanlah cinta kami karena-Mu, untuk-Mu dan ikhlas karena-Mu, dan jadikanlah cinta kami menjadi jalan menuju sorga-Mu.”
Ia terharu dan tak sanggup membendung perasaannya. Air matanya jatuh membasahi pipinya. Pikirannya jauh melayang tentang dosa-dosanya pada suaminya. Ia telah mengikuti bujuk rayu setan dan hawa nafsunya selama ini. Ia merasa telah mengkhianati cinta suaminya yang selama ini tulus diberikan padanya. Setan dan hawa nafsu berusaha untuk menghancurkan ketulusan cintanya dan kehidupan rumah tangganya. Dan ia pun tersadar dari kekhilafannya selama ini.
Ia tidak tahan lagi, segera ia memeluk suaminya, dan tangisnya semakin berderai, segera ia menyampaikan permintaan maaf pada suaminya. Ia menyesali perbuatannya yang telah salah tersebut.
Sejak saat itu, hatinya telah kembali tenang, bunga cinta di taman hatinya telah tumbuh dan mulai bermekaran. Dan sejak saat itu cintanya pada suaminya begitu besar. Ia bersyukur pada Allah telah menyadarkan dirinya dan telah menganugerahkan padanya seorang suami yang soleh dan taat.
NB: Tulisan di atas terinspirasi dari kisah seseorang dengan penambahan ilustrasi. Moga ada hikmah yang bisa dipetik darinya.
Salam dari Kairo,
[email protected]
[Anggota FLP Mesir]