Ada berbagai macam reaksi mewarnai seruan boikot yang sudah mulai meredup gaungnya; dari yang dengar dan langsung dilaksanakan (saat itu saja), dengar tapi apatis, dengar tapi pesimis akan efektifitasnya, dan dengar lalu berusaha untuk mengikuti seruan boikot tersebut sampai sekarang ataupun sebagian kecil kelompok yang telah menyadari arti sebuah boikot meskipun jauh sebelum seruan itu muncul beberapa bulan lalu. Tapi tidak sedikit juga yang merasa “terusik”
Salah seorang kawan dari Pakistan berujar “Rasanya sulit untuk memboikot produk Yahudi dan kawan-kawannya secara total karena kita sudah terlalu banyak dilingkupi dan dicekoki oleh produk mereka sampai mendarah daging tanpa terasa; bahkan hanya beberapa meter dari makam Nabi Muhammad SAW saja, kita bisa menyaksikan sebuah hotel besar dengan gaya dan servis ala Eropa, ujarnya prihatin. Belum lagi restoran cepat saji yang menjamur dimana-mana, katanya.
Lain teman Pakistan, lain pula komentar dari seorang teman dari Mesir. Kebanyakan dari kami sudah menganggap bahwa makan di restoran cepat saji seperti Mc Donald dan KFC sebagai sesuatu yang mirip tradisi makan diluar bersama keluarga yang tidak terlewatkan. Hal ini bisa dilihat dari restoran-restoran cepat saji yang selalu penuh diserbu para pembelinya pada hari biasa dan terutama hari-hari libur. Komentar seorang muslimah Thailand tak begitu jauh berbeda dengan teman dari Mesir. Dia menggaris bawahi minat pembeli yang begitu besar di restoran-restoran cepat saji (KFC, McDonald, dll) di negaranya. Hampir mirip dengan situasi di Indonesia, batinku saat itu.
Yang membuat sedih adalah reaksi dari seorang Ibu (dan mungkin dia tidak sendiri) yang tinggal di sebuah negara yang mayoritas penduduknya muslim. Ibu tersebut merasa “terusik” gara-gara anaknya menolak diajak membeli makanan di McDonald yang sudah sering digunakan oleh Ibu tersebut sebagai “senjata” saat waktu liburan bersama keluarganya. Tinggal keluar rumah atau pesan, dan tidak usah repot-repot masak sendiri. Rupanya anak Ibu tersebut bersekolah disebuah sekolah Islam dan mendapat pelajaran tentang makna boikot dalam rangka membantu saudara seimannya di Gaza. Sungguh sebuah kondisi yang membuatku jadi berusaha membandingkan kondisi negara tercintaku dengan kondisi dimana aku berada sekarang.
Selama kurang lebih 6 tahunan tinggal di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim ini, ada fenomena yang selalu menggelitik untuk direnungkan dan dipertanyakan. Tapi saya sendiri selalu tidak bisa menemukan jawaban yang paling pas untuk memenuhi rasa penasaran saya (atau tepatnya rasa bingung).
Di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim ini (dan bukan juga mayoritas kristen ataupun agama ahli kitab lainnya), dalam beberapa hal, tentunya seruan boikot lebih mudah dilaksanakan. Meskipun untuk ukuran makan di Jepang, restoran cepat saji tersebut relatif menawarkan harga yang lebih murah dibandingkan dengan restoran lokal. Bayangkan saja, McDonald, KFC ataupun restoran cepat saji lainnya jelas tidak menyediakan daging halal (dalam pemahaman saya).
Tapi tetap saja ada beberapa gelintir orang (semoga tidak pernah bertambah jumlahnya) yang beranggapan bahwa kita boleh membeli dan makan di tempat-tempat tersebut karena kita dalam kondisi yang “terpaksa” berada di negara non muslim. “Toh, asal bukan daging babi saja yang jelas dilarang”, imbuh beberapa gelintir orang tersebut sebagai pembenarannya.
Sebaliknya, di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim seperti Indonesia (yang saya tahu pasti); restoran cepat saji selalu diserbu dan diantri oleh banyak orang meskipun dari segi harga jelas jauh lebih mahal dibandingkan dengan banyak restoran lokal yang ada. Begitu banyaknya pilihan di restoran halal lokal yang InshaAllah juga terjamin kehalalannya dari berbagai segi, namun ternyata belum mampu untuk menarik dan mengalihkan minat penggemar restoran cepat saji tersebut.
Saat merenungkan kondisi diatas, saya jadi teringat sebuah keluarga dari Malaysia yang saya kenal dan yang sangat rendah hati. Kira-kira 1 tahun yang lalu, jauh-jauh hari sebelum seruan boikot merebak dan kemudian mulai meredup seperti saat ini; saya bertemu dengan keluarga Malaysia tersebut.
Dia berkata, “Umi, saya kadang menghadapi masalah yang sungguh dilematis. Saat saya pulang ke negara saya, ada saja rekan-rekan sesama muslim yang meminta saya untuk membelikan makanan di tempat-tempat seperti Dunkin Donut, KFC atau McDonald’s, padahal saya sendiri menganggap bahwa haram buat saya dan keluarga saya, untuk membeli makanan ditempat-tempat tersebut bukan karena melihat zatnya saja, tapi karena saya tahu pasti bahwa negara-negara pemiliknya berkongsi dengan para musuh Islam yang senantiasa berusaha untuk menghancurkan kita dari segala sisi. Mau bilang lupa, saya takut berdosa tapi kalau saya bilang yang sebenarnya pasti masih banyak yang belum siap atau belum bisa menerima alasan saya”.
Sungguh kurasakan, betapa dalamnya pemahaman keluarga tersebut dalam memaknani arti pentingnya sebuah kebersamaan yang hakiki. Bila mengenang kembali keluarga tersebut, saya selalu berandai dan berharap.
Andai saja semua umat Islam memiliki pemikiran dan konsistensi yang sama seperti keluarga Malaysia tersebut, saya yakin kebersamaan yang sesungguhnya bahwa umat Islam itu adalah satu tubuh dapat kita wujudkan meskipun di jaman yang sudah semakin tua ini; dimana kebersamaan yang hakiki menjadi suatu barang langka. Sebuah kebersamaan yang InshaAllah akan mampu membuat gaung boikot bisa terus bergema dan mewarnai perjuangan saudara kita yang rasanya masih panjang.
Penghujung Musim Dingin, 2009.