Garam Itu Tetaplah Garam

Sembilan belas Oktober dua ribu tujuh mungkin adalah titik balik kehidupan kami sekeluarga. Kakak keduaku tumbang, jatuh sakit tiba-tiba, dengan sakit yang sangat misterius!

Selama satu bulan kami sekeluarga harus melihatnya kejang tanpa henti. Jam demi jam dalam hidup kakakku dihiasi dengan tubuhnya yang terus kejang, sampai kaki tangan kanannya lumpuh setelah kejang selama empat jam non stop. Tim dokter yang menangani sempat frustasi melihat kasus kejang yang langka dan unik ini. Penyebab kejangnya saja susah terdeteksi, sampai akhirnya dokter memvonis epilepsi+stroke pada lelaki 28 tahun tanpa riwayat epilepsi dan penyakit dalam sama sekali. Obat demi obat dimasukkan, dibombardir ke dalam tubuh kakak tercintaku ini, tapi hasilnya selama kurang lebih sebulan bisa dikatakan nihil. Bukannya membaik, namun kejang kakakku semakin menjadi. Kami sekeluarga terus berdoa. Satu hal yang selalu kusyukuri adalah kami sekeluarga saling bantu membantu mencarikan jalan keluar atas penyakit kakakku. Suatu hal yang sudah lama tidak kami lakukan, bercerita dan saling berkasih sayang. Karena kesibukan dan masalah masing-masing, kami terlena.

Pusing, penat, kesal melihat penyakit aneh itu. Tidak sekali dua kali hatiku menjerit hampir putus asa. Satu hal yang terus membuatku pribadi bangkit, “Siapa tahu jalan keluarnya ada di tikungan berikutnya!” Suatu kali aku bangkit dan berkata, “Oh, mungkin ini penyebabnya, brarti obatnya ini”, tapi kemudian gagal!. Kuadukan hal itu pada Allah, dan aku ingat, mungkin di tikungan berikutnya cahaya kesembuhan itu datang. Selalu seperti itu sampai akhirnya dibantu doa dari berbagai pihak, usaha keras tim dokter dan herba-herba tradisional dan sunnah (madu, zam-zam, kurma, dll), frekuensi kejang kakakku menurun sampai alhamdulillah akhirnya berhenti, dan tubuhnya mulai pulih, berjalan kembali, walaupun masih banyak yang harus “diperbaiki”.

Dari peristiwa ini pula aku melihat begitu suci hati ibuku yang sanggup bertahan menemani masku siang malam sampai saat ini. Munajat tulusnya pula yang memudahkan kesembuhan masku, menuntunnya ketika berputus asa, mendekatkan pada Illahi Rabbi.

Ketika sesendok garam tetaplah sesendok garam, tapi akan sangat berbeda ketika ia masuk dalam segelas air atau samudera. Segelas air kan menjadi asin karenanya, namun tidak dengan samudra yang tetap tenang, tak berubah rasa.

Ternyata hati ini masih seperti garam dalam gelas, sempit ketika diuji. Namun, ketika hati sudah menganggap segala apa yang diberikan Allah itu yang terbaik bagi kita, susah maupun sedih, tidak ada lagi kata sedih, tidak ada lagi musibah dalam hidup ini. Susah maupun sedih, itulah yang terbaik bagi kita.

Sungguh menakjubkan orang beriman, ketika ia mendapat nikmat ia bersyukur, ketika ia dicoba, ia sabar, dan Umar bin Khatab, sang khalifah ke dua sepeninggal Rasulullah pun berkata, “Tak peduli mana yang menimpaku (nikmat atau cobaan) aku kan mengambilnya”.

Allah lah Maha pemberi nikmat, pun Dia bisa mencabutnya hanya dalam waktu sekejap saja. Iman, sabar, syukur, jujur; singkat, empat prinsip yang sederhana dalam menjalani hidup, hidup yang tidak akan pernah mulus. Dan tetaplah senyum harus terus mengembang, senyum yang dihiasi dengan keikhlasan dan iman. Karena senyum itu pun harus terus diupayakan.:)