Saya memiliki seorang teman berkebangsaan Thailand. Waktu itu dia sedang kuliah di program pasca sarjana bidang linguistic-bahasa Indonesia di UGM. Beberapa kali dia ikut saya beraktivitas (termasuk rapat), untuk melatih “listening” dan mendapatkan kosakata baru bahasa Indonesia. Saya benar-benar berusaha menjauh darinya ketika sedang rapat, karena dia pasti akan merecoki dengan berbagai pertanyaan tentang arti kata-kata yang baru didengarnya. Suatu kali pernah juga dia nonton pertandingan bola -Indonesia lawan Thailand-, dan pulang dari kos saya dengan perasaan menyesal karena tim negaranya telah mengalahkan tim Indonesia. Rasanya lucu melihat dia salah tingkah karena kami saling mendukung tim dari negara masing-masing. Kami beramai-ramai sedang dia hanya berdua dengan Ying (Teman sebangsanya yang selalu memastikan semua orang mengeja namanya dengan benar).
Ah, muslimah dari negeri gajah. Bergaul dengannya membuat saya masih saja merasa takjub ketika kami menikmati indahnya persaudaraan Islam antara dua bangsa. Itu yang membuatnya saya percaya untuk menyerahkan seluruh uang SPP saya untuk kepulangannya.
Saya dan seorang teman saya, sepekan lagi akan melakukan registrasi semester baru. Tiba-tiba dia datang dan mengatakan harus pulang karana ibunya sakit keras. Dia tidak bisa mengurus beasiswa atau uang kepulangan dalam hitungan hari. Sesaat saya berfikir. Saya pun tak punya uang lagi. Selama ini saya membiayai kuliah sendiri karena tidak memugkinkan minta orang tua lagi. Kalau uang itu saya berikan bagaimana dengan SPP saya? Tetapi dalam keadaan seperti ini saya selalu harus memutuskan dengan cepat. Kami serahkan uang itu, sambil berharap beliau dapat segera menggantinya sesampai di Bangkok.
Beberapa hari kemudian dengan terbata-bata beliau menelpon, “Aku belum bisa kirim uang, ada air berenang di paru-pari ibu. Kami perlu uang banyak. Usaha kami rugi.”
Saya berusaha memberi dukungan meski sebenarnya agak geli dengan kosakatanya. Dia masih berharap saya mau dihubungkan dengan dosen walinya supaya mendapat rekomendasi penagguhan SPP karena persoalan ini. Tapi saya sudah bertekad, siap dengan segala resiko atas uang SPP itu. Sata merasa beruntung bisa belajar tentang rasa tsiqah (percaya) terhadap saudara seiman, rasa menanggung beban (taqaful) dan ketrampilan menjalin relasi terkait penangguhan dan pelunasan SPP saya, termasuk berurusan dengan mata uang asing.
Lain waktu ada seorang menelpon, memerlukan uang 6 juta saat itu juga. Tentu saja ini perkara yang mendesak. Saat itu saya hanya punya uang beberapa ratus ribu yang sudah saya rencanakan untuk melunasi cicilan kendaraan dan tagihan phone cell. Bisa saja saya bilang bahwa saya nggak punya uang, karena begitulah adanya. Tetapi saya ingat, saya telah berkomitmen untuk mengambil pelajaran dalam setiap peristiwa hidup yang saya alami. Kalau saya menolaknya, saya pasti akan kehilangan proses belajar yang belum tentu akan saya alami pada kesempatan lain. Bukankah ini inti materi tarbiyah dzatiyah, kita hidup untuk terus belajar.
“Ok, saya usahakan. Berapapun hasilnya semoga bermanfaat ya. Pulang kantor saya antar ke rumah.”
Lalu saya terdiam. Karena sungguh saya tidak tahu uang itu dari mana. Tapi saya yakin, ini kesempatan bagi saya untuk mengukur kekuatan saya, terutama kepercayaan orang terhadap saya. Lalu saya telpon para sahabat satu persatu, termasuk mencoba mencari informasi di bagian keuangan kantor. Tentu saja tidak semuanya dapat memenuhi permintaan saya. Dan saya pun tak menghasilkan 6 juta seperti yang diminta. Tetapi saya bahagia, telah melawan kemalasan pada diri saya sendiri. Saya tersenyum telah membuat dan melakukan simulasi materi aqidah (tidak takut masa depan) dari halaqah-halaqah yang saya ikuti.
Kadang, saya memang merasa perlu untuk menciptakan tantangan dalam hidup, supaya keimanan saya terus bergairah dan bergerak naik. Juga perlu untuk terus-menerus melatih diri saya supaya mengalami peningkatan-peningkatan. Tidak saja tentang ketrampilan hidup tetapi tentang segumpal daging yang harus selalu saya pastikan, ia akan bercahaya semakin terang. Karena hidayah dijelaskan dalam kalimat aktif, sebagaimana ia bukan barang yang tiba-tiba saja ada dalam dada. Tetapi kitalah yang senantiasa harus jeli meneliti, mengambil kebaikan dari sesuatu yang nampak menjijikkan. “Kami memberimu air susu yang bersih antara tahi dan darah (An-Nahl: 66) dan bersama kesulitan itu ada kemudahan (Alam Nasrah:5).
Maka ketika gempa meluluhlantakkan kampung kami. Saya seperti sedang menghadapi sebuah permainan, seperti games-games yang sering saya simulasikan dalam pelatihan-pelatihan saya. Sungguh ini adalah tantangan berikutnya. Sesuatu yang telah saya latihkan pada diri saya, saya biasakan untuk saya hadapi dengan perasaan tsiqah kepada Allah. Bahwa ketika saya menyukai terang matahari dan menikmati senja hingga gelap mengganti suasana, saya tak perlu gagap lantaran langit tiba-tiba gelap. Cepatlah berbalik, karena di belakang punggung saya telah tergurat lengkung perak yang membawa terang dan keindahan baru. Bukankah di antara bergulirnya siang dan malam selalu ada pelajaran bagi oarng yang mau berfikir?
Begitulah kehidupan kita. Tetapi tidak semua orang mau memasuki sebuah wilayah yang tidak nyaman dan penuh ketidakpastian. Padahal seandainya kita tahu, justru di tempat itulah kita akan merasakan sensasi yang sangat indah tentang eksistensi diri kita di mata Allah, dzat yang Maha Agung. Saya menyukai ini, seperti saya sedang menyaksikan mu’jizat Perang Badar. Suatu saat kita akan mengatakan, apa yang tertulis dalam buku-buku sejarah, yang kita pikir hanya ada pada zaman kenabian ternyata bisa kita rasakan sekarang.
Yogya, 4 Juli 2006