Menjemput anak di sekolah merupakan hal emergency, karena biasanya anakku selalu di jemput oleh salah seorang tetanggaku. Menunggu jam pulang sekolah, saya dan ibu-ibu berkumpul di teras masjid. Udara terasa tak bersahabat, kulit terasa kering di panggang matahari siang. Ketika aku bersandar di salah satu tiang teras masjid, terasa sepoi angin membelai tubuh, rasa ngantukpun rasanya tak bisa dielakkan. Kelopak mata terasa berat, jika ada suara teriakan dari salah seorang murid dari ruang kelas, maka serentak kami terbangun.
Masjid itu letaknya di depan sekolah. Sekolah dan masjid merupakan satu kesatuan usaha, yang dikelola oleh suatu yayasan yang berbasis Islam di Sengata. Lapangan parkirnya tidak begitu luas, tapi cukup representative jika ada pertemuan wali murid.
“Jangan minder jadi seorang ibu rumah tangga.” Aku mulai membuka pembicaraan.
Menunggu memang sebuah pekerjaan yang melelahkan. Menjemput anak di sekolah diperlukan management yang tepat, Bagi ibu-ibu yang berkarier di rumahnya, dipastikan setiap subuhnya sudah berlenggak lengok mengejar jam tayang urusan antar jemput anaknya sekolah.
“Aku nggak minder lho… Cuma waktu kerja dulu aku sempat mikir juga. Rasanya gajiku habis untuk bayarin pembantu!” Seorang ibu menimpali ucapanku.
“Saya sering bantuin suamiku jika dapat proyek dari kantornya. Kadang bantuin mengetik, atau seperti ini…” Dia memperlihatkan kertas karton yang sedang di guntingnya. Ibu ini bercerita sambil asyik dengan kegiatannya. Dengan tangkas dia menggunting dengan teliti logo-logo untuk persiapan MTQ yang akan di gunakan sebagai tanda peserta.
Aku tersenyum simpul dan bergumam sendiri :” Ibu ini ternyata mampu memanfaatkan waktunya. Menunggu anak sekaligus mengerjakan tugas suami.”
“Mana karton yang lainnya? Daripada ngantuk, lebih baik bantuin.” Ada yang berbaik hati, menawarkan bantuannya.
Ibu-ibu yang berkumpul ternyata cukup kreatif. Ada mempunyai anak 3 orang, 6 orang dan 2 orang. Berkumpul pada pagi Jum’at ini, membuat hati tersirami. Ada tempat saling curhat tentang kegiatan yang tak habisnya bila hanya di rumah.
“Bayarin pembantu sekarang mahal. Dulu aku bayarin pembantu Rp.500.000,- ditambah ongkos taksinya”.
“Jika ambil tukang setrika, mintanya Rp.350.000,- per bulan.” Yang lain mulai buka mulut.
“Tukang cucipun, nggak mau dibayar kurang dari Rp. 300.000,-.” Mulai ramai ibu-ibu itu menimpali pancinganku.
Terlihat suasana mulai hangat. Dari suasana ngantuk menjadi forum pertemuan informal membahas mahalnya bayaran kepada seorang pembantu rumah tangga.
Kotaku merupakan kota tambang. Merupakan hal yang biasa bagi kami untuk membayar gaji seorang pembantu di atas lima ratus ribu rupiah per bulannya. Kadang ada yang dibayar satu juta rupiah, tergantung jenis pekerjaan dan kesepakatan antara pembantu dan majikan. Mungkin bagi di daerah lain, itu merupakan gaji seorang administrasi di sebuah kantor.
“Kalau dihitung-hitung, berapa gaji kita sebagai ibu rumah tangga?” Seorang ibu berbicara dengan nada bersemangat. Membuat ibu-ibu lainnya tersenyum dan bahkan tertawa. Meriah sekali! Aku suka suasana ini. Bertemu untuk saling diskusi. Untuk berbagi unek-unek yang tersimpan. Apalagi yang diajak diskusi satu profesi. Hem! Pasti mereka saling memahami dan mensupport apapun yang disampaikan.
Ibu-ibu pada sibuk menghitung dan akhirnya tertawa serempak. Tak ada hasil hitungan yang pasti. Mereka hanya menjawab dengan gelak tawa. Memposisikan diri sebagai pembantu. Menilai gaji yang akan mereka terima setiap bulannya.
“Bagaimana bila kita minta gaji ke suami masing-masing.” Ada ibu yang mulai memancing suasana.
Tak ada yang menjawab, karena anak-anak mereka telah bubar dari kelas masing-masing. Mereka menghampiri ibunya masing-masing dan merengek untuk cepat pulang. Kami hanya bisa saling tukar senyum, sebagai pengganti penutup acara informal kami.
Ketika pulang, aku masih memikirkan perbincangan pagi itu. Jika di kalkulasi memang seorang ibu rumah tangga akan mendapatkan pendapatan yang lumayan. Jika rumahtangganya adalah kariernya untuk mendapatkan “materi” maka si ibu akan mendapatkan pendapatan yang lumayan.
Mungkin ibu-ibu itu hanya mengeluarkan unek-uneknya untuk bisa dihargai oleh suaminya ataupun lingkungannya. Bahwa pekerjaan seorang ibu rumah tangga adalah pekerjaan yang tidak boleh di anggap remeh oleh siapapun.
Sebagai ibu rumah tangga yang muslimah, tentunya hitungan mendapatkan gaji sebagai ibu rumah tangga hanyalah sebuah “joke” untuk menyegarkan pikiran yang kadang buntu. Seringkali diharuskan pandai-pandai mengelola keuangan. Berapa pun yang diberikan oleh suami harus mampu mencukupi untuk kebutuhan rumah tangga selama sebulan.
Allah S.W.T telah menyediakan “gaji” bagi seorang ibu rumah tangga, Bila ia menjalankan pekerjaan rumah tangganya dengan ikhlas, maka sama saja dia menjalankan amal sholeh yang tidak putus-putusnya. Tentu saja bagiannya adalah “syurga”.
Sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Aisyah : “ Beliau di tanya oleh seorang sahabat, amalan apa yang disukai oleh Allah? Maka di jawab oleh Aisyah bahwa amalan yang dikerjakan walaupun sedikit tapi dilakukan secara terus menerus”.
“Bila seorang wanita menjalankan sholat, puasa di bulan Ramadhan dan menyenangkan hati suaminya ( dalam kerangka syariat ) maka dia akan memasuki syurga dari pintu manapun yang dia sukai”. Begitulah salah satu hadits dari Rasulullah.
Semoga saya dan beserta ibu-ibu rumah tangga lainnya, diberikan oleh Allah S.W.T berupa kelapangan dada dan keikhlasan dalam menjalankan pekerjaan rumah tangga. Allahumma Amin.