Sang Primadona berita penutup tahun 2005 ini adalah formalin.
Zat itu meroket kembali namanya semenjak ditemukan (lagi) tidak saja untuk mengawetkan mayat sebagaimana jamaknya, tetapi juga ditemukan pada mie basah, ikan asin, dan tahu. Padahal, penggunaan formalin untuk pengawetan makanan sesungguhnya telah dilarang sejak tahun 1982, yang dikuatkan lagi dengan Undang-Undang No. 7/1996. Sekarang bahkan ditemukan juga pada makanan yang lain: ikan segar, empek-empek, berbagai makanan instant.
Siang itu, di meja makan kantin kantor saya, berlangsung perbincangan hangat seputar isu itu. Kebetulan pas jam makan siang, dan TV di kantin sedang menayangkan berita tentang formalin di sebuah stasiun TV swasta.
"Wah, jaman sekarang mau makan saja repot!" teriak saya, membuka wacana.
"Ya, benar. Coba lihat makanan kita saat ini," kata teman di sebelah saya.
Semua yang sedang berada di kantin menengok ransum makanan catering yang disediakan kantor. Ada nasi bersayur "krawu" (seperti pecel bersambal parut kelapa pedas) dengan tahu oncom goreng sebagai pendampingnya. Lauknya ayam goreng dan tempe goreng. Kalau mau nambah, teman-teman bisa mengambil satu-dua kerupuk putih di toples.
"Tahu oncomnya ada kemungkinan mengandung formalin!" sahut saya.
"Ya, kerupuk itu jangan dikira nggak ada apa-apanya meskipun putih," timpal Nugroho, teman saya di seberang meja. "Bagaimanapun, putih adalah sebuah warna. Kerupuk itu sangat mungkin menggunakan zat pewarna untuk membuatnya menjadi putih menarik seperti ini!"
Yang lain mengangguk. Mengiyakan.
"Betul juga. Coba ayam gorengnya itu. Jangan-jangan ia mengandung virus flu burung?"
"Dan jangan lupa, sayurnya itu ketika mau dibawa ke kota, agar tidak layu dan dimakan serangga atau ulat, disemprot dengan insektisida, lho!"
"Wah, repot kalau begitu," kata saya memperkeruh suasana. "Beras yang putih inipun sudah tidak mengandung zat-zat yang berguna bagi tubuh. Kandungan organiknya sudah habis selama menjalani pemrosesan."
"Belum lagi kalau kita makan daging, ada ancaman sapi gila."
"Makan daging kambing, awas antrax!"
"Makan buah-buahan, perhatikan insektisida yang menempel di kulitnya."
"Makan bakso, awas dagingnya mengandung boraks!"
"Atau daging tikus!"
"Ya, ya. Seperti ditayangkan TV kemarin!"
"Jangan-jangan kita disuruh kembali ke jaman nenek moyang?"
Semua tertawa. Tetapi, tak satu pun yang tak lahap makan siang hari itu!
***
Tidaklah salah jika Rasulullah, empat belas abad yang lampau sudah mengatakan bahwa sumber dari segala penyakit itu ada di lambung. Maksudnya adalah makanan yang kita makan. Karenanya, di dalam ajaran agama sangat ditekankan untuk makan dan minum yang halalan thayyiban. Halal diurutan pertama, kemudian baru thayyib. Halal, artinya dibolehkan dikonsumsi oleh syariat, dan thayyib berarti "dibolehkan" atau layak dilihat dari ukuran kualitas zat makanan atau minuman yang hendak dikonsumsi.
Islam meletakkan perhatian sangat serius di urusan makan ini karena sangat menyadari bahwa perkara makan sangat berpengaruh terhadap jasmani dan rohani tubuh kita. Bahkan di samping pernyataan makan dari sisi fisik seperti hadits di atas, pada banyak hadits yang lain Rasulullah menyatakan sisi-sisi spiritualitas terkait dengan makanan ini. Bahwa barangsiapa makan makanan yang haram, maka jangan berharap doanya akan maqbul (diterima). Janganlah memberikan makan dari makanan yang haram kepada keluarga kita, karena itu tidak ubahnya seperti memasukkan bara api ke dalam mulut mereka. Dan berbagai hadits yang lain.
Tidak hanya itu, Rasulullah mengajarkan pada kita bagaimana adab dan pola makan yang baik. Makanlah ketika lapar dan berhentilah sebelum kenyang.
Makanlah dengan komposisi sepertiga makanan, sepertiga air, dan sepertiga udara. Makanlah secara berjamaah. Makanan untuk dua orang cukup untuk bertiga. Makanan untuk tiga orang cukup untuk berempat. Berbukalah dengan yang manis-manis seperti kurma. Dan jangan lupa untuk berdoa sebelum dan sesudah makan. Subhanallah, betapa lengkap sudah himbauan dan tata-aturan soal makan ini di dalam Islam.
Susahnya, banyak dari kita yang tidak mengindahkannya. Satu hal saja: apakah kita setiap kali berdoa sebelum makan dan sesudahnya? Kebanyakan kita berdoa hanya ketika anak kita yang baru masuk playgroup atau TK sedang makan bersama kita.
***
Saya agak tersentak ketika surfing di internet menemukan kenyataan bahwa formalin itu merupakan merk dagang dari senyawa jenuh formaldehyde (37%)
dicampur air (sekitar 50%) dan sisanya pelarut lainnya. Apa pelarut lainnya itu? Pelarut lainnya yang dimaksud kebanyakan adalah methanol! Ia berfungsi sebagai stabilisator.
Methanol?
Setelah saya cek lagi ke wikipedia, methanol, atau dikenal juga dengan methyl alcohol atau wood alcohol (CH3OH) merupakan keluarga alkohol yang paling sederhana, ringan, mudah menguap, tak berwarna, tak berasa, mudah terbakar, dan cairan beracun dengan sedikit bau. Alkohol berasal dari kata bahasa Arab Al-Khukul, di mana Al-berarti "the" dan Khukul berarti "spirit."
Tentu saja, Alkohol biasa digunakan sebagai campuran drug atau minuman keras. Al-Khamr dalam bahasa agama. Al-Khamr adalah segala minuman yang memabukkan, yang memiliki efek menghilangkan "spirit" si peminum dengan berkurangnya respon sistem syaraf pusatnya. Dan Al-khamr, termasuk alcohol,
terutama hasil proses kimia sintesis, banyak sedikitnya sudah jelas keharamannya (QS. Al-Baqarah: 195)
Nah, jika methanol adalah alcohol, maka mestinya ia haram juga jika dikonsumsi. Jika ini benar, maka makanan yang mengandung formalin hukumnya menjadi haram untuk dikonsumsi! Dan jika formalin sudah ditemukan disalahgunakan pada makanan sejak 1982, maka. amboi! Sudah berapa lama kita memakan makanan yang mungkin mengandung formalin dengan pelarut methanol yang haram? 23 tahun?
Astaghfirullah!
Padahal lumayan susah untuk membedakan ikan segar yang diberi methanol pada kadar yang minimum dengan ikan segar yang diawetkan secara alamiah dengan es. Jika penelitian penggunaan formalin secara malpraktik ini sudah tersebar di seantero nusantara, dan sudah berlangsung bertahun-tahun, maka saya jadi teringat dengan perkataan Rasulullah di atas. Maka, barangkali pantaslah kalau doa-doa kita terhambat menyentuh ‘arsy Allah dan karenanya menjadi bangsa yang tidak maqbul doanya, meski tongkat kayu bisa jadi tanaman di bumi ini.
Masya Allah! Na’udzubillahi min dzaalik!
***
Oleh karena itu, mungkin ada baiknya kita mulai menanam sendiri sayuran di pekarangan rumah. Membuat sendiri tahu tempe secara sederhana. Memelihara ayam, sapi, dan kambing di halaman belakang rumah. Beternak lele, gurami,
baronang, tongkol di empang samping rumah. Menanam mangga, jeruk, jambu,
semangka, dan apel di tanah kita yang masih kosong. Kalau perlu menamam durian dan kelapa sendiri!
Saya yakin sebagian besar kita akan tertawa membaca ini. Mana mungkin? Rumah hanya sekotak; sudah berdesakan dengan tetangga, full bangunan lagi! Mana sempat? Waktu kita sudah habis untuk berangkat ke kantor pagi-pagi, kerja,
dan kemudian pulang larut malam. Macet membuat capek jiwa dan raga. Kapan mau menengok lele di empang atau memberi makan sapi?
Ha ha ha!
Terus bagaimana solusinya? Itu yang penting!
Mungkin sudah saatnya ada sebagian kaum muslimin yang berkhidmat menyediakan kebutuhan makan dan minum kaum muslimin lainnya dengan memperhatikan aspek halalan dan thayyiban itu. Sehingga kaum muslimin tidak ragu lagi menyantap makanannya. Dan inilah barangkali pangkal diterimanya doa-doa kita.
Bukankah pada sebuah hadits dikatakan, barangsiapa memberi kemudahan kepada saudaranya yang sedang dirundung kesulitan, Allah akan memberikan kemudahan baginya di dunia dan di akhirat?
Lepas dari kekurangan dan kelebihannya, mungkin kita perlu meniru konsep Darul Arqam. Dari kaum muslimin, untuk kaum muslimin. Kenapa tidak?
Nah, siapa mau memulai?
***
)* Bahtiar HS, Ketua FLP Jatim 2004-2006