Rasyid termangu di teras rumahnya. Mata kecilnya masih nanar ke luar jalan sepetak. Tatapannya masih kosong. Entah apa yang dipikirkan oleh anak seusianya tak seorang pun tahu, apalagi orang rumah. Hanya anak usia 10 tahun itu saja yang tahu. Apa yang sedang mengelayuti benaknya saat itu. Hanya ia seorang.
Ia masih tetap pada posisinya. Termangu, di teras rumahnya. Walau saat itu hujan rintik-rintik sudah mulai berirama di atap rumahnya. Tik…tik…tik…tik…tik…
“Ayo, acungi telunjuk siapa yang di rumahnya punya al-qur’an?” ujar Kak Awwam, guru ngaji kampung bertanya kepada murid-muridnya di teras rumahnya yang luas. Dan dari jumlah 9 muridnya itu salah satunya adalah Rasyid. Ia sudah 5 bulan mengaji.
Kak Awwam, begitu Rasyid memanggil guru ngajinya dengan sapaan seperti itu maupun teman-teman sepengajiannya.
“Saya, Kak! Saya di rumah punya dua!” sahut Sukri salah satu muridnya bertubuh bongsor yang akhirnya berani angkat bicara juga. Menjawab pertanyaan guru ngajinya itu sambil mengacungi jari telujuknya yang bulat.
“Soleha juga, Kak! Tapi punya Abi!” timpal Soleha, yang selalu bekudung putih itu menimpali Sukri.
“Ghofar juga punya, kok, Kak!”
“Iya, Rohim juga punya tapi satu, Kak.”
“Iya, siapa lagi?” lanjutnya menanyakan kembali kepada murid-murid yang menggemaskan itu.
“Iya! Shabrina juga punya kok di rumah malah masih bagus!”
Kak Awwam hanya tersenyum sesaat saat mendengar jawaban polos Shabrina, muridnya yang doyan bertanya itu
“Ihsan juga punya, Kak! Walau yang punya bukan Ihsan tapi Kak Santi. Ihsan sering kok lihat Kak Santi bawa Al-Qur’an ke sekolah.”
“Kalau kami berdua Kak punya satu-satu. Itu juga baru dibeli sama Ummi di toko buku. Itu kalau nanti Asma dan Aska sudah khatam,” koor serentak kembar indentik Asma dan Aska tak mau kalah.
Semua pun serempak berucap menjawab pertanyaan guru ngajinya yang masih sangat muda. Bertampang cute. Berkumis tanggung. Serta beraksesori kacamata minus yang berdiri di cuping hidungnya itu.
Sebagai guru ngaji di kampung Kak Awwam harus peduli dan mengetahui perkembangan anak-anak didiknya. Dan juga memberikan perhatian serta pengarahan sesuai usia murid-muridnya itu. Apalagi ia sangat sayang dengan anak-anak. Pun itu semua ia jalani hampir satu tahun lebih. Walau pun ia mengajar tanpa bayaran dari murid-muridnya. Ia ikhlas menjalaninya. Apalagi ia jebolan ponpes modern ternama di luar Jawa.
Kalau pun ada sebagian orangtua dari murid-muridnya membayar ia pun tak segan-segan menolaknya. Bukan! Bukan! Bukan, menolak rezeki tapi ia ingin mengamalkan ilmu yang sudah didapatinya dari pondok. Apalagi ia sudah senang ketika anak-anak kecil yang ada di kampungnya itu sudah bisa mengenal Alif lepeng, Ba bengkok, Ta, titiknya dua di atas dan Tsa, titiknya tiga di atas serta Nun, titiknya satu di bawah. Lagi-lagi ia sudah sangat senang. Itulah tujuannya ia mondok dari ponpes—yang para jebolannya sudah banyak menjadi para mubaligh ternama serta pejabat itu.
Namun dari sekian murid-murid yang ia ajarkan mengaji hanya ada satu murid yang tak mau menjawab pertanyaannya itu. Tak lain Rasyid. Terlebih pada saat itu (pertanyaan yang dilontarkannya) ia hanya berdiam diri. Tak satu pun ucapan yang keluar dari mulut kecilnya.
Rasyid tak mau ikut-ikutan teman-teman sepengajiannya, menjawab apa yang dilontarkan oleh guru ngajinya itu. Ia lebih baik diam. Pasif. Tak bicara.
“Lho, kok Rasyid diam. Memangnya ada apa?” tanya guru mengajinya itu. “Rasyid, sakit?” lanjut guru ngajinya yang masih berusia 27 tahun bertanya kembali.
“Ah, nggak kok, Kak!” tukas Rasyid singkat.
“Terus kenapa nggak menjawab pertanyaan, Kakak?”
Yang ditanya hanya diam. Tak tahu harus bicara apa.
“Baiklah sekarang Kakak tanya lagi di rumah Rasyid punya al-qur’an tidak?” Dengan bijak laki-laki muda yang sering menjuarai MTQ itu bertanya kembali sekali lagi kepada muridnya itu.
Rasyid, bimbang untuk menjawabnya. Akhirnya jalan untuk menghindari cecaran pertanyaan itu yang terus-menerus mengarah kepadanya ia pun buka suara juga. Walau ada rasa sungkan menghinggap dalam dirinya.
“Ra-Rasyid di rumah tidak punya al-qur’an, Kak!” ucapnya perlahan-lahan agar teman-teman sepengajiannya itu tidak mendengar jawabannya. Tapi namanya anak-anak tetap saja selalu memerhatikan temannya jika terlihat ada yang ganjil atau hal-hal yang tak biasa. Dan itu ada di Rasyid. Murid yang masuk mengajinya paling akhir.
“Ha-ha-ha-ha-ha. Masa sih orang Islam tidak punya al-qur’an.”
Begitulah riuh suara teman-teman sepengajiannya menertawainya ketika mengetahui Rasyid berkata demikian. Di rumahnya ia tidak memiliki al-qur’an, mukjizat dari kanjeng Rasulullah itu. Semua teman-teman sepengajiannya masih mentertawainya.
“Sudah! Sudah kok malah ditertawai. Baik sekarang kita baca do’a selesai mengaji. Ayo, kamu Sukri pimpin doanya…”
Akhirnya Kak Awwam menyudahi pertanyaan itu dengan menyuruh Sukri membaca doa usai mengaji. Walau mata minusnya masih tertuju ke arah muridnya itu, Rasyid. Khawatir ada sesuatu yang disembunyikan oleh muridnya itu.
Dan itu jugalah yang menjadi alasan Rasyid termangu di teras rumahnya. Ia tak mau menjadi bahan tertawaan teman-teman sepengajiannya itu kembali. Menggema kembali di gendang telinganya. Ia lebih baik berhenti mengaji. Mengundurkan dari pengajian yang sudah ikuti selama 5 bulan ia lewati. Walau pun ia sebentar lagi akan khatam juz’ amma. Surat At-Thariq, begitu bacaan terakhirnya. Karena ia malu ketika nanti kembali ditanya oleh Kak Awwam, guru mengajinya itu apakah memiliki al-qur-an atau tidak di rumah.
Jalan pintasnya ia pun berpikir untuk memilih keluar tanpa sepengetahuan Ayahnya.
Sebenarnya saat itu ia memang berkata tidak jujur. Ia menutupi kebenaran yang ada bahwa di rumahnya ternyata memiliki al-qur’an. Bukan hanya satu tapi lima buah.
Baik yang besar maupun yang ukuran kecil—yang bisa dibawa-bawa. Tapi ia tak mengatakan hal itu sebenarnya. Entah kenapa anak usia 10 tahun itu tak mau berkata semestinya. Jujur. Namun hanya ia sendiri yang tahu.
**
Begitulah Rasyid. Ia memang murid yang berbeda dari teman-teman sepengajiannya. Walau usianya baru menginjak 10 tahun dan duduk dibangku kelas 5 SD tapi cara berpikirnya amat sangat diluar dugaan. Dan tidak lumrah sesuai usianya. Ia begitu kritis dan juga keingintahuannya sangat besar. Apalagi otaknya yang cukup cemerlang di sekolahnya. Ia seringkali menjadi juara kelas selama tiga tahun berturut-turut.
Itulah yang dirasakan oleh Ayahnya. Pak Zubair, begitu nama Ayahnya bila disapa. Apalagi Ayahnya itu pun sering kali mendapatkan surat dari pihak sekolah agar Rasyid anaknya itu diberi izin untuk mengikuti ajang cerdas cermat tingkat SD. Entah, Ayahnya pun tak tahu anaknya itu menuruni siapa. Tetapi ketika Ayahnya balik melihat ke belakang nasab keturunan dari orangtuanya yang telah tiada. Ternyata Rasyid menuruni kakeknya—yang memang miliki kecerdasan diatas rata-rata. Ber-IQ tinggi. Kakeknya dulu seorang guru Madrasah Tsanawiyah di kampung.
Itu pun yang dirasakan Ayahnya saat itu. Tanpa sepengetahuan Rasyid, guru ngajinya itu pun berkunjung ke rumah dan menemui Ayahnya. Kebenaran saat itu ada di rumah dan sedang libur kerja. Pun dengan Rasyid sedang keluar bermain dengan teman-temannya. Ia tak tahu kalau guru ngajinya itu bertandang ke rumahnya.
Saat senja mulai menua di ufuk barat barulah guru ngaji Rasyid itu menemui Ayahnya. Namun guru ngaji jebolan ponpes modern itu tak lama berpijak di rumah yang cukup asri itu.
Namun disaat yang sama seusai pulang bermain bersama teman-temannya itu Rasyid pun dipanggil oleh Ayahnya. Ayahnya seorang abdi pemerintah itu. Sekel. Sekretaris Kelurahan. Walau hanya berselang beberapa menit dari kepulangan guru ngajinya dari rumah. Tanpa banyak kata Ayahnya pun memberitahukan apa yang sudah dikatakan oleh guru ngajinya itu selama Rasyid tak ada di rumah. Padahal hal itu terjadi tiga hari yang lalu bersamaan ia tak mengaji.
Ia membohongi Ayahnya dengan alasan mengaji tapi kenyataan malah main bersama teman-temannya. Sebenarnya ia sudah sedikit demi sedikit untuk mulai melupakan hal itu. Karena baginya lebik baik dilupakan ketimbang diingat selalu dan itu akan membuat ia semakin malu pada dirinya, agamanya maupun TuhanNya padahal ia hanyalah seorang anak bau kencur. Belum akil baligh.
“Tadi guru ngaji kamu kemari. Ia bilang kamu sudah tiga hari tidak mengaji. Dan bukan itu saja kamu berkata tidak jujur. Kamu bilang di rumah kita ini tidak punya sama sekali al-qur’an. Padahal kenyataanya ada. Bahkan sampai 5 buah yang sering Bapak belikan buat kamu maupun Abang Ramdan, kakak kamu maupun Ibu kamu. Tapi kenapa kamu bilang tidak ada,” tegur Ayahnya di ruang tamu.
Rasyid yang ditanya seperti itu hanya diam. Tak bicara.
“Kok diam?! Tidak boleh kalau orangtua bicara lalu kamu diam saja. Ayolah bicara yang sebenarnya. Ayah tidak akan memarahi kamu kok jika kamu berkata sejujurnya,” ulang Ayahnya memberikan kebijakan.
“Baiklah Ayah akan diam saja jika kamu masih bersikeras tak mau bicara jujur kepada Ayah. Apa yang terjadi sebenarnya.”
Dan beberapa jam kemudian suasana pun hening di ruang tamu.
Tapi itu hanya sementara akhirnya Rasyid angkat bicara juga.
“Memang benar Rasyid sudah tidak mengaji tiga hari. Dan bicara tidak jujur seperti itu, Yah. Rasyid bilang bahwa di rumah kita tidak punya al-qur’an. Walau sebenarnya punya. Tapi buat apa bila kita punya tapi kita sebagai orang Islam tak pernah menyentuhnya bahkan membacanya. Bukankah berarti kita sama saja tidak memilikinya. Tidak mempunyai,” jawab Rasyid polos. Entah darimana ia mendapatkan jawaban seperti itu yang tidak wajar untuk seusianya. Entahlah! Namun itulah dunia anak-anak seusianya. Tak seorang pun pantas untuk mencegah apalagi ikut mencampurinya
Ayahnya sejenak diam. Apa yang dikatakan anakya itu ada benarnya juga. Betapa ia malu pada dirinya, agamaNya maupun anaknya ketika ia mendengar jawaban polos dari anak usia 10 tahun itu. Kalau ia boleh memilih ingin mencium kening anaknya itu yang sudah membuka mata hatinya. Memang benar apa yang dikatakan anaknya itu. Al-qur’an memang ada di rumahnya. Bahkan ada yang pernah ia dapatkan dari rekannya sepulang dari umrah kedua kalinya. Tapi sayang hanya dibuat pajangan serta simbol saja. Padahal jika ia mau mengingat kembali ketika saat menghadiri pengajian di masjid terdekat dari rumahnya. Ia bisa mengetahuinya lebih dalam lagi ketika saat itu ada seorang ustadz memberikan siraman rohani.
”Perumpamaan orang Mu’min yang membaca Al Quran, adalah seperti bunga utrujjah, baunya harum dan rasanya lezat; orang Mu’min yang tak suka membaca Al Quran, adalah seperti buah korma, baunya tidak begitu harum, tetapi manis rasanya; orang munafiq yang membaca Al Quran ibarat sekuntum bunga, berbau harum, tetapi pahit rasanya; dan orang munafiq yang tidak membaca Al Quran, tak ubahnya seperti buah hanzalah, tidak berbau dan rasanya pahit sekali.”
”Kepada kaum yang suka berjamaah di rumah-rumah peribadatan, membaca Al Quran secara bergiliran dan ajar megajarkannya terhadap sesamanya, akan turunlah kepadanya ketenangan dan ketenteraman, akan berlimpah kepadanya rahmat dan mereka akan dijaga oleh malaikat, juga Allah akan mengingat mereka”
Entah, saat itu ia tertidur atau tidak. Saat ustadz itu sedang membahas keutamaan al-qur’an tak seorang pun yang tahu. Tapi dengan perantara Rasyid anaknya itu, ia kini kembali dibukakan mata hatinya tentang keutamaan al-qur’an. Apalagi ia tak ingin rumah yang sudah dibangunnya—dengan jerih payahnya sendiri secara halal menjadi tandus. Kering kerontang seperti pohon tak pernah diterpa hujan. Pun dengan istananya, ia ingin mendapatkan kesejukan dari lantunan ayat-ayat suci yang digemakan dari mulutnya, istrinya maupun Ramdan dan Rasyid sebagai anak-anaknya.
Lagi-lagi ruang tamu kembali sepi.
Rasyid yang saat itu ada dihadapan Ayahnya tak percaya jika tiba-tiba Ayahnya memdadak membisu. Tak tahu apa yang harus semestinya dikatakannya lagi.[]
Tanah Betawi—Ulujami, 13 Desember 2010
Keterangan:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Hurairah
Email/FB:[email protected]