Menunggu. Itulah yang sedang aku lakukan saat-saat ini. Menunggu menurutku sebuah pekerjaan yang mejemukan sekaligus membuat benak selalu dipenuhi oleh sebuah jawaban yang tak pasti. Dan itulah yang sedang aku alami. Menunggu.
Bicara menunggu aku jadi teringat sahabatku Majid, sahabat kecil masa itu. Ia adalah satu-satunya orang paling sabar dan setia menunggu aku jika akan berangkat sekolah. Ia pasti selalu standby di teras rumah. Dengan pakaian merah putihnya ia setia menunggu aku agar bisa berangkat ke sekolah bersama-samanya kala itu.
Namun anehnya sahabat kecilku plus teman sekelasku itu tak ada raut marah sekali pun di rona wajahnya ketika setiap hari menungguku. Entahlah terbuat dari apa hati sahabat kecilku itu. Aku tak tahu. Atau, karena usia kami masih bau kencur saat itu sehingga kami tak tahu rasanya menunggu dan ditunggu. Hingga akhirnya aku pun merasai juga bagaimana rasanya orang menunggu itu. Halnya saat ini yang aku rasakan. Betapa tidak enaknya orang me-nung-gu itu! Selalu diliputi ketidakpastian….
Lalu apakah seperti itu yang dirasakan sahabat kecilku Majid itu? Entahlah. Sayang sekarang ia tidak satu kampung denganku. Ia sudah pindah rumah setelah mendapatkan selembar ijazah SD yang diraihnya. Dan aku tak tahu dimana rumahnya itu! Betapa sayangnya….
Ya, sejak pertemuan itu usai berjalan dengan sukses aku bagaikan Qais. Qais, Sang Pecinta yang selalu menantikan kedatangan balasan sepucuk surat dari kekasihnya bernama Laila tanpa memperhatikan kondisi diri. Hingga akhirnya maut pun menjemputnya di atas pusara kekasihnya saat ia mengetahui bahwa Lailanya telah tiada lebih dahulu. Ia tiada karena ingin merawat cinta sucinya kepada Sang Pecinta itu ketimbang harus berlama-lama menanggung diri untuk menerima perjodohan dari kedua orangtuanya. Sebaliknya Sang Pecinta pun sama. Ia lebih baik merana dan meregang nyawa untuk cinta sucinya itu di pusara kekasihnya. hingga maut pun menjelang ketimbang ia hidup seorang diri. Ironi sekali.
Sejak awal aku hidup disini.[1]
Aku masih ada di sini.
Dan sampai kiamat aku masih di sini.
Sebab tak ada kalimah pamungkas untuk lara-lara nelangsaku yang nyeri.
Sayang aku bukan Qais. Aku bukan majnun yang begitu setianya menjaga cinta sucinya. Tapi aku? Aku…Aku…Entahlah, aku berharap cintaku juga bersemi dan tersemai pada tempatnya. Itu saja.
Hari ini kota Jakarta sudah seminggu diguyur hujan. Tak tahu kapan pastinya usai aku tak bisa menerkanya. Apalagi aku bukan ahlinya dalam mengetahui perubahan cuaca di kota ini. Padahal September sudah berlalu. Namun hujan masih terus mengguyur. Sehingga mempengaruhi segala aktivitasku saat-saat ini. Aku terhambat. Apa pun yang kulakukan terpaksa tertunda sementara waktu sambil menunggu hujan reda.
Tapi sampai kapan? Aku tak tahu! Apalagi menerka kapan hujan reda. Akhirnya terpaksa aku bermalasan-malasan di rumah. Tapi bermalas-malasannya aku berbeda daripada kebiasaan orang-orang kebanyakan. Bermalas-malasannya aku di rumah bernilai mutiara. Salah satunya adalah meneruskan novelet[2] yang sedang aku kerjakan ini!
Sambil menunggu hujan berhenti mengguyur aku pun mencoba menghidupkan notebook-ku yang berukuran 10 inch itu. Walau kecil tapi banyak manfaat dan gunanya, terlebih aku sebagai seorang perangkai kata-kata. Benda satu ini sangat-sangat aku butuhkan. Tapi ingat aku bukan menuhankannya! Apalagi dalam waktu ini. Sedang menunggu kabar. Hal yang paling asyik adalah bercumbu dengan benda elektronik imut yang selalu menemaniku saat aku dikungkung kegelisahan. Daripada aku harus bertopang dagu saja. Tak ada aktivitas sama sekali.
Kunyalakan benda tersebut. Dan mengeluarkan pantulan cahaya putih hingga membuat mata minusku menjadi silau. Tapi itu tak separah saat aku melihat keanehan alam belum lama ini terjadi di kotaku. Mungkin dua bulan yang—lalu terjadi ketika ada gerhana matahari cincin[3] di siang bolong terjadi. Tanpa kacamata minus aku pun melihatnya hingga mata ini terasa berkunang-kunang.
Kini jemariku mulai menari-nari dan bermain di atas tombol notebook. Tapi belum sempat aku berlama-lama bermain kata tiba-tiba hapeku berbunyi.
Azza… azza… azza…
Azza azza azza
Azza azza azza
Ku rasakan kasihmu
Sungguh ku rasakan
Ku rasakan sayangmu
Sungguh ku rasakan
Ku rasakan cintamu
Azza….
Suara Rhoma Irama[4] yang ada di hapeku terus menembang. Ia terus bernyanyi. Meminta agar aku segera mengangkatnya.
Kulihat sepintas.
Nomor asing.
Tak dikenal.
Belum tersimpan dalam memori hapeku.
Kudiamkan sementara waktu.
Ternyata hapeku itu masih menerima nomor itu kembali. Hapeku terus menembang lagu itu milik Sang Raja Dangdut. Meronta-ronta seperti ingin dibebaskan dari getaran itu.
Kuangkat benda kecil yang mengeluarkan suara itu. Lagi-lagi dari balik benda itu kudengar suara manusia bertanya kepadaku.
“Benar ini dengan Mas Awwam?” tanya suara itu.
Aku diam sementara waktu.
“Ya, saya sendiri. Ada perlu apa ya, Mas,” jawabku ramah memanggil sapaan itu dengan menyebutnya “Mas”. Dan itulah yang aku lakukan jika belum mengenal orang. Baik wajah, rupa maupun bentuknya. Aku lebih sreg memanggil Mas ketimbang Bapak agar yang mendengarnya lebih senang dikatakan seperti itu dan agar bisa muda terus. Mudah-mudahan!
“Bisakah kami menawarkan kepada Mas Awwam jika nanti bersedia. Boleh kami menerbitkan naskah novelet yang Mas sedang kerjakan maupun yang lainnya untuk bersedia kami terbitkan di penerbit kami,” jawab suara di balik telepon.
Aku tergugu.
Kembali diam sementara waktu.
Aku kembali mengingat apa yang baru aku dengar tadi. Aku tak percaya. Memastikan aku tidak dalam keadaan tidur panjang. Tapi ternyata itu bukan khayalan. Ini nyata!
“Bagaimana Mas bersedia jika naskah yang Mas tulis kami terbitkan di tempat kami?!”
Suara itu kembali meyakinkanku.
Ini bukan mimpi.
“Ma-maaf Mas tadi ada gangguan sedikit,” ucapku mencari alasan yang masuk logika.
“Baiklah, Mas! Kapan bisanya saya menyerahkan naskah-naskah saya ini. Kapan batas deadline-nya untuk saya itu,” lanjutku menanyakan kepastian waktu yang harus aku rampungkan.
“Kalau bisa awal tahun, Mas. Tapi kalau cepat dari waktu yang ditentukam itu lebih baik Mas. Bagaimana Mas setuju dengan tawaran kami ini?”
Tak menunggu panjang. Tak lama harus berpikir. Aku pun mengatakan “Iya”
“Baiklah, Mas! Kalau begitu jangan lupa catat nomor ini ya, Mas. Kemungkinan kami sering menghubungi, Mas Awwam. Terima kasih ya Mas atas kesempatannya ini. Kami tunggu nanti kabar selanjutnya…”
“Baik, Mas! Saya akan usahakan. Saya juga mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada Mas!” tukasku lagi kepada suara dari balik benda kecil itu.
Klik.
Hubungan SLJJM (Saluran Langsung Jarak Jauh Mendadak) pun usai.
Aku kembali mematut di notebook-ku. Namun sebelum jemariku asyik bermain ekor mataku tertuju pada kalender duduk yang sedang duduk manja dihadapanku. “Berarti aku cukup punya waktu lumayan lama,” kataku bergumam.
Hingga hal itu mengingatkan aku pada yang semestinya sedang kualami saat-saat ini. Aku sedang menunggu kabar. Kulihat disalah satu angka di kalender itu—yang tercoret berwarna hitam. Terlihat dengan jelas. Terlingkar warna spidol hitam.
Ya, aku pernah melingkarinya saat aku usai pulang ke rumah—dan aku melingkari angka itu. Ternyata tinggal sehari lagi aku menunggu dan menanti kabar itu. Kabar yang membuat seluruh tubuhku akan menambah reaksi yang tak menentu. Halnya saat pertama kali aku berhadapan dengan seorang laki-laki tinggi sedang. Tak lain adik laki-laki perempuan yang akan memberiku kabar nanti. Perempuan Bertahi Lalat di Atas Bibir tetapi bukan Elvy Sukaesih seperti lelucon kawanku Salman itu. Tapi aku berharap kabar itu bisa membuat aku bernafa lega….Ahhh… Pun kalau tidak. Pahit seperti empedu atau sebaliknya semanis madu mau tidak mau aku harus menerima itu.
Aku kembali memainkan jemariku di atas notebook.
**
Q sdh istikharah tnyt kaulah laki-laki pilihan itu. Q sdh yakin kaulh leleki itu…
Esoknya kuterima pesan singkat itu. Aku menerimanya saat kutidak sedang membawa hapeku. Hape itu tertinggal di kamarku saat aku sedang keluar rumah sejenak. Aku keluar untuk membeli kopi bungkus sachet di warung terdekat. Dan setiba aku kembali pulang dari warung kulihat pesan iru. Ternyata ada pesan dari seseorang. Dan itu sangat penting! Apalagi aku yang sejak kemarin menanti kabar itu. Ya, kabar dari seorang perempuan yang tiga hari lalu—aku temui dalam sebuah pertemuan di rumahnya bersama aku, Salman kawanku beserta Ibu dan adik laki-laki perempuan yang memiliki tanda tahi lalat di atas bibir.
Aku tak percaya jika kumenerima pesan itu. Terlebih saat aku baca. Akhirnya karena aku tak percaya dengan pesan itu kucoba mengulang kembali membaca pesan itu.
Q sdh istikharah tnyt kaulah laki-laki pilihn itu. Q sdh yakin kaulh laki-laki itu…
Benarkah itu?
Apakah aku tidak salah baca?
Atau, hanya de’javu[5]-ku saja?
Tapi itu nyata. Apalagi saat kulihat nomor pengirim itu. Tak lain seorang perempuan yang memang aku tunggu bersama kabar yang akan ia sampaikan untukku. Aku dibuat bisu dengan pesan itu. Aku membeku. Akhirnya karena ingin memastikan hal itu aku pun membalas pesan singkat itu kembali. Aku khawatir ia salah tulis. Ia salah kirim. Dan aku salah mengira….
Tapi lagi-lagi ini benar kok untukku? Batinku menceracau kemana-mana.
Kuhubungi orang yang memberi pesan singkat itu ke hapeku.
“Assalamualaikum….”
Akhirnya kusambungkan pesan singkat itu dengan menghubungi orang yang mengirimkannya.
“……………………………………..”
Tidak ada suara.
Kusambung lagi.
Tetap sama.
Ups, tidak! Tidak! Ternyata yang ini bersuara tapi…sayang itu hanya suara operator yang memberitahukan akan keberadaan siempunya.
Kusambung kembali. Ini yang ketiga kali jika tidak ada yang mengangkat—dan tidak ada suara kembali dari balik benda kecil mengeluarkan suara manusia itu terpaksa aku menyudahi.
Benar!
Tidak ada suara apa pun.
Hening.
Akhirnya aku berhenti untuk menyambungi ke si pengirim pesan singkat itu. Tak lain si pemberi kabar. Dan aku kembali meneruskan bermain di atas notebook. Tapi sebelum meneruskannya aku pun lebih dahulu mengirimkan pesan singkat balasan itu terlebih dahulu.
Apkh km tdk slah mnuliskn itu utkku?
Ah, begitu sentimentilnya aku saat itu.
Pesan singkat yang kukirim itu akhirnya meluncur juga. Entah apakah terbaca olehnya langsung atau tidak aku tak peduli. Bagiku pesan itu sampai kepadanya. Dan aku sudah mendapatkan kabar itu. Kabar yang selama ini sedang aku tunggu. Menanti kabar darinya….
November 2010-Januari 2011
Teruntuk kenangan lama yang sudah menemaniku selama ini.
Email:[email protected]
==================================================================
Nantikan kisah-kisah inspiratif selanjutnya tentang ta’aruf—yang InsyaAllah akan dibukukan yang ditulis dengan pengalaman dan kenyataan penulis. Nama dan tokoh semua disamarkan. Maklum kemaslahatan bersama baik saya sebagai penulis maupun tokoh-tokoh yang ada dalam kisah inspiratif ini.
Dan inilah bagian-bagian kisah-kisah inspitarif ta’aruf itu.
1. Izinkan Aku Mengentuk Pintu Hatimu
https://www.eramuslim.com/oase-iman/fiyan-izinkan-aku-mengentuk-pintu-hatimu.htm
2. Perempuan Bertahi Lalat di Atas Bibir
3. Pertemuan Itu
http://www.facebook.com/#!/note.php?note_id=478308047907&id=1298556971
4. Menanti Kabar
5. Janji Seorang Merpati
6. Sang Perantara
7. Lika-Liku Laki-laki
8. Bukan Empat Mata [Biasa]
9. Ini Realitis Bukan Apatis
10. Terima Kasih Kau Sudah Mengenalku
===================================================================
Keterangan:
[1] . Dikutip dari puisi karya Kahlil Gibran: Sayap-sayap Patah
[2]. Novelet yaitu novel pendek yang lebih panjang dari cerita pendek, roman adalah jenis cerita rekaan yang paling dulu muncul, disusul oleh cerita pendek dan baru kemudian muncul novel dan novelet. Bentuk novel ataupun novelet dan cerita pendek pada akhirnya merajai sastra di Indonesia.
[3]. Gerhana cincin ini terjadi apabila piringan Bulan (saat puncak gerhana) hanya menutup sebagian dari piringan Matahari. Gerhana jenis ini terjadi bila ukuran piringan Bulan lebih kecil dari piringan Matahari. Sehingga ketika piringan Bulan berada di depan piringan Matahari, tidak seluruh piringan Matahari akan tertutup oleh piringan Bulan. Bagian piringan Matahari yang tidak tertutup oleh piringan Bulan, berada di sekeliling piringan Bulan dan terlihat seperti cincin yang bercahaya.(Wikipedia, Eksiklopedia Bebas)
[4] . Raden Oma Irama yang populer dengan nama Rhoma Irama (lahir di Tasikmalaya, 11 Desember 1946;umur 63 tahun) adalah musisi dangdut dari Indonesia yang berjulukan "Raja Dangdut".
[5]. Déjà vu adalah sebuah frasa Perancis dan artinya secara harafiah adalah "pernah lihat". Maksudnya mengalami sesuatu pengalaman yang dirasakan pernah dialami sebelumnya. Fenomena ini juga disebut dengan istilah paramnesia dari bahasa Yunani para (παρα) yang artinya adalah "sejajar" dan mnimi (μνήμη) "ingatan".Menurut para pakar, setidaknya 70% penduduk bumi pernah mengalami fenomena ini.(Wikipedia Bebas)