Izinkan Aku Mengentuk Pintu Hatimu

Aku mencintaimu karena agama yang ada padamu. Jika kau hilangkan agama dalam dirimu Hilanglah cintaku padamu …" (Imam Nawawi)

“Pintu ini terbuka untuk siapa saja. Siapa pun orangnya! Kami sebagai orang terdekat dan mencintai nanda Kesuma semua kami serahkan kepadanya kembali. Semua keputusan ada di tangannya. Kami semua sudah meyerahkan hal ini padanya…”

Aku terpaku

Sosok laki-laki muda berperawakan tinggi sedang dan tegas yang sedang berhadapanku begitu lugas memberitahukan apa yang ia bicarakan. Dan aku tahu itu! Ia pasti sudah tahu maksud dan tujuanku datang bersama kawanku itu.

Ya, saat itu aku ingin berkunjung ke rumah seorang perempuan bersama kawanku yang diantar oleh roda duanya. Aku yang baru pertama kali bertandang ke rumah perempuan itu tentu sempat tak percaya. Apakah ini mimpi atau tidak. Itulah yang membuat aku galau. Hingga rasa kegalauanku langsung menghantuiku seketika. Hingga akhirnya benakku bermain-main dengan khayalanku. ”Oh beginikah rasanya mengejar sesuatu yang kita inginkan?!” Bathinku terus bergumam menghalau rasa kebekuanku.

Maklum aku baru pertama kali berhadapan langsung dengan orang yang sama sekali tak aku kenal. Terlebih untuk maksud tertentu dan—dengan tujuan tertentu pula. Dan itulah awal aku menginjaki rumah itu. Aku ingin mengetahui sosok rupa perempuan yang akan aku temui saat itu. Seorang perempuan dengan tahi lalat di atas bibir—yang sebelumnya aku selidiki di dunia maya. Dan…ternyata benar. Ia bertahi lalat, ayu dan mengenakan kudung merah jambu yang menutupi kepalanya. Sungguh perempuan seribu satu yang begitu peduli dengan kehormatannya sebagai perempuan—dengan menutupi aurat—rambut sebagai mahkota seorang perempuan. Dan…ia tersenyum simpul malu saat bersitatap denganku. Amboiii…apakah aku sedang bermimpi? Entahlah. Tapi begitulah saat aku pertama kali berjumpa dengannya. Walau aku tidak sendiri!

Tapi kenyataannya…kini aku sudah dihadapkan oleh tiga orang perempuan dan satu laki-laki muda berperawakan tinggi sedang duduk sama rendah denganku. Tapi bukan mereka saja yang ada tetapi juga ada kawanku Yamin—yang saat itu sama-sama duduk bersebelahan denganku. Dan ia hanya bisa menunggu aku beraksi. Apa yang akan aku bicarakan kepada mereka.

Lagi-lagi saat itu aku bagaikan seorang pelamar kerja yang sedang mengadakan interview oleh seorang personalia perusahaan agar bisa lolos terseleksi yang terbaik. Begitulah aku mengumpamakan diriku saat itu. Aku bagai seorang pelamar kerja di sebuah perusahaan!

Lucu? Jelas! Menggelitik? Tapi itu unik untukku! Apalagi aku yang terbiasa dengan kerealitisan. Hiduplah harus realitis agar tak naïf memandang dunia semu ini. Begitulah aku berprinsip selama ini. Walau aku tahu tak banyak orang yang mengamini prinsipku itu. Tapi lagi-lagi I don’t care. Bagiku aku tak merugikan orang lain. Itu lebih baik ketimbang aku harus berpura-pura.

Aku agak gugup saat itu. Dan….Oh My God tiba-tiba peluh sebiji jagung sudah membanjiri seluruh tubuhku. Aku berkeringat dingin!

Ini adalah pengalaman hidupku yang pertama. Pengalaman dalam sebuah pertemuan yang dibuat sedemikian rupa. Baik olehku maupun pemilik rumah yang sedang aku tadangi saat itu. Dan tentu saja atas bantuan kawan baikku Yamin pula yang selama ini banyak membantuku dari persiapan pertemuan hingga aku bisa bertatap muka langsung dengan perempuan itu.

“Bagaimana Saudaraku apakah kau sudah siap lahir bathin untuk menemui orang yang akan aku pertemukan dengan kau? Kuharap kau tidak panas dingin apalagi sampai sakit perut!”

Begitulah saat aku sedang berada di atas motor bebeknya. Ia melontarkan sebuah lelucon yang kuanggap cukup lucu untuk ukuran membuat orang terhibur.

Pagi itu matahari mulai tampak terlihat. Hangatnya matahari sudah aku rasakan. Walau pun tidak begitu panas tapi membuat aku tak nyaman. Itu yang aku rasakan saat pagi itu. Namun lagi-lagi Yamin kawanku itu membuyarkan lamunanku di atas motornya. Sambil mengemudikan roda duanya, ia terus saja membuat lelucon untukku di tengah jalan raya saat menuju rumah yang tak aku ketahui dimana letaknya. Letak rumah “Perempuan Bertahi Lalat di Atas Bibir” yang akan diperkenalkan oleh kawanku itu. Lagi-lagi begitulah aku sering menyebut perempuan itu dan kawanku pula juga mengaminkannya pula. Lucu. Memang tapi itulah keakraban kami sebagai kawan untuk membantu saudaranya ini. Dan saudaranya itu tak lain adalah aku yang sedang mencari cinta seorang perempuan. (Gdubrakkkk!!)

Aku hanya tersenyum tawar saat kawanku itu mulai membuat lelucon yang menurut cukup menghibur. Tapi itu tak cukup! Karena sebelum aku berada di atas roda duanya itu ak harus berlama-lama dahulu menunggu di sebuah taman. Menunggu kedatangannya untuk menjemputku. Karena aku sama sekali buta dengan tempat perempuan itu tinggal. Akhirnya sebelum aku menuju rumah perempuan itu aku lebih dahulu membuat perjanjian dengan kawanku itu untuk bertemu di sebuah taman. Karena memang selain aku tak tahu tempat yang akan tuju. Aku juga tak membawa kendaraan apa-pun. Hanya bisa membawa diri agar sampai di taman itu sambil menunggu kedatangan kawanku. Cukup lama memang saat itu. Tapi bagiku lamanya waktu aku menunggu tak sebandiing jika aku bisa bertemu perempuan itu. Perempuan yang juga sedang menanti kedatanganku pula.

Hingga akhirnya membuat khalayan tingkat tinggi menerobos imajinasi dalam benakku. Tak menyadari jari jemariku menuliskan sebuah puisi di handphoneku. Lancar. Lugas. Tak perlu banyak berpikir dan…tiba-tiba Oh My God kini sudah membentuk sebuah puisi yang membuat aku begitu terkejut saat aku membacanya kembali.

Aku tidak mau kau menunggu lama

Ketika aku belum datang

Maka aku dahulukan diriku yang datang

Sambil menunggu kau,

Aku di sini sedang terpaku di taman

Yang belum aku banyak tahu

Aku harap ada sesuatu yang membuat

Aku rindu…

Dan tanpa sengaja jari jemariku mulai berulah kembali. Tanpa di sengaja aku menekan tuts—dan terkirimlah nomor tujuan. Tak lain nomor tujuan itu adalah nomor kontak perempuan yang akan aku temui.

Aneh? Tapi itulah kenyataannya….

“Bagaimana Saudaraku apakah kau sudah siap lahir bathin untuk menemui orang yang akan aku pertemukan dengan kau? Kuharap kau tidak panas dingin apalagi sampai sakit perut!”

Kawanku kembali mengeluarkan lelucon itu lagi. Tapi kali ini aku hanya mendengarkannya saja. Aku tahu kawanku itu hanya bermaksud untuk membuat aku tidak tegang untuk menemui perempuan itu. Santai. Dan menyarankan aku untuk seperti biasanya saat aku juga mengenal kawanku itu. Walau terkesan biasa saat aku pertama kali berjumpa dengan kawanku itu. Tapi untuk hal satu ini jelaslah beda. Perlu persiapan mental yang kuat. Maklum sebenarnya saat aku pertama kali berjumpa dengannya semua berawal saat ia menjadi narasumber untuk bukuku. Ya, kawanku itu bukanlah kawan main dan juga bukan kawan kecil apalagi kawan satu profesiku. Ia hanyalah kawan yang ditakdirkan oleh Tuhan untuk menjadi bagian dalam hidupku (baca: saudara) sekaligus perantara untuk menuju kesempurna dienNya.

“Awas, kau Saudaraku menyetir motor hati-hati lihat ke depan,” jawabku mengalihkan lelucon yang ia keluarkan untuk menghiburku. Ini bukan malah berhenti ia malah menambah koleksi leluconannya kembali hingga membuat aku terpaksa tersenyum. Dan aku tidak bisa mengelak. Hingga aku menganggap lelucon itu sebagai peneman hiburanku menuju rumah seorang perempuan yang akan aku datangi.

“Pokoknya santai aja, Bro! Anggap aja kau sedang bertamu. Tapi kau harus berjaga sikap dan berlaku sopan agar perempuan itu bisa menarik perhatian kau!”

Ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha-ha

Kali ini aku yang tertawa terbahak-bahak sehingga jalan yang aku lalui bersama kawanku itu sejak tadi mengular. Macet. Seakan-akan tak terasa! Dan itu membuat aku terhibur.

“Kau ini bisa aja Saudaraku! Kau pantasnya ikut audisi pelawak saja agar bisa hidup dari sana…” jawabku sekenanya.

Dan ia pun membalas kembali.” Nanti kalau aku terkenal Tukul kalah pamor dong sama aku, Saudaraku!”

Aku dibuat tak berkutik. Dan aku hanya bisa menikmati perjalanan panjang. Walau menurutku tak sepanjang penantian perempuan yang sedang menanti kedatanganku. Hmm…sentimetil sekali aku ya saat-saat begini!

**

“Adik ini sekarang kerja dimana?”

“Hai, Saudaraku kau diajak bicara itu! Kau dengar tidak?”

Tiba-tiba lenganku disikut oleh kawanku itu.

“Iya, iya aku tahu kok! Aku dengar! Ini aku lagi menyimak. Masa sih di depan adik ipar tak aku dengarkan,” jawabku memberitahukanya bahwa sejak tadi aku terus menyimak apa yang dikatakan oleh laki-laki muda berperawakan tinggi sedang dan tegas itu.

"Adik ipar…?!" celetuk kawanku itu. "Masih calon! Ingat. Ma-sih calon adik ipar…Ingat itu!" lanjutnya kembali membuat mempertegas kepadaku hingga kosentarsiku buyar seketika.

"Iya, iya aku tahu Saudaraku.

Tenang…Tenang…Percayakan saja sama Saudaramu ini. Pasti beres kok," ucapku dengan penuh semangat.

“Sebelumnya maaf Mas saya ini kerjanya tak menentu. Apalagi tempat juga tak menentu pula. Saya ini seorang pekerja yang sering membutuhkan keheningan dan juga mencintai anak-anak. Walau berpenghasilan tak besar. Tapi saya cukup bersyukur dengan pekerjaan ini.” Aku pun memberitahukan pekerjaanku sebisa mungkin dan juga sebisa apa yang aku lakukan selama ini. Memang walau aku sempat tak pede dengan kekuranganku ini. Tak lain penghasilanku yang tak terlalu tinggi dan besar. Tapi aku sudah berjanji pada diriku biar bagaimanapun aku harus menikmati jerih payahlu ini ketimbang tidak sama sekali. Apalgi menggerutu yang tidak-tidak. Itu bukan sifatku!

“Hmm…begitu ya.”

“Kalau keluarga berapa sanak saudara?”

Kini aku mulai merunutkan satu persatu saudara-saudara kandungku yang aku miliki. Walau aku sempat menyembutkan saudara kandungku yang telah lebih dahulu meninggalkan bumi ini. Lucu, ya, masa aku sebutkan saudara-saudara kandungku yang telah tiada. Tapi apa boleh buat aku pun terpaksa harus mengatakannya juga.

“Saya memiliki 12 saudara kandung. Namun sekarang yang masih hidup hanyalah enam 6 saudara kandung. Tiga perempuan dan 3 laki-laki. Jika yang perempuan saat ini sudah memiliki keluarga kecilnya masing-masing. Begitu juga dengan kakak laki-laki saya—yang keempat. Ia juga sudah memilikinya. Hanya tinggal saya dan adik saya saja yang belum.” Bagai menulis sebuah cerita kehidupan kucurahkan segala apa yang aku alami dan aku rasakan saat –saat itu.

Keluarga besar? Tentu! Apalagi aku sangat mencintai mereka. Keluargaku!

“Baiklah kalau begitu saya masuk ke dalam dulu. Untuk sementara waktu kamu bicara dulu seperlunya kepada adik saya ini. Saya mau komporoni dulu dengan Ibunya nanda Kesuma terlebih dulu. Baru setelah itu kamu akan kami beri jawabannya….”

Bagi seorang anak pelajar yang menuggu kelulusan aku hanya berharap-harap cemas. Luluskah aku dari “interview” yang aku laku saat ini. Atau, gugur sebelum aku berharap. Entah!

Aku hanya bisa duduk termangu. Hingga aku tak menyadari kedatangan seorang perempuan yang sudah sejak tadi ingin aku temui. Dan tiba-tiba sudah ada di hadapanku.

“Bagiamana Mas tadi ditanya-tanya sama kakak saya. Jangan khawatir dia baik kok. Oya, sambil menunggu keputusan kakak saya dan Ibu saya silakan Mas diminum airnya dulu…” Begitu ucapannya kepadaku hingga membuat aku sedikit cemas.

Kuambil secangkir gelas yang beralaskan piring kecil di atas meja. Kuangkat cangkir itu perlahan-lahan hingga menyatu di bibir hitamku.

Namun belum habis air yang ada di dalam cangkir minum itu aku pun terkejut ketika orang yang sejak tadi berbicara kepadaku sudah keluar dari kamar. Kamar tempat mereka (kakak laki-laki perempuan itu dan Ibunya) untuk merundingkan keputusan untukku. Dengan membawa sebuah kabar yang aku sendiri tak tahu aku.

Aku cemas.

Dan lagi-lagi…Oh My God tiba-tiba peluh sebiji jagung kembali membanjiri seluruh tubuhku. Aku berkeringat dingin lagi! Padahal peluh yang terlebih dahulu membajiri tubuhku belum tuntas kering. Dan kin ditambah lagi. Entah, apa yang sebenarnya terjadi kepadaku, aku hanya bisa duduk saja dengan hati dipenuhi rasa harap-harap cemas. Aku hanya tinggal menunggu keputusan itu. Apakah itu kabar yang baik aku dapatkan saat itu atau tidak. Hatiku terus berdecak tak teratur. Oh, Tuhan inikah rasanya menjadi orang yang sedang menunggu sebuah keputusan? Bathin terus berkata.

Aku pun semakin dag-dig-dug…

Dan tibalah keputusan yang aku tunggu sejak tadi.

“Kami dari pihak kakak dan Ibunya nanda Kesuma meresmikan hubungan adik sama nanda Kesuma. Tapi apakah nanda Kesuma mengiyakan juga atau tidak. Ya, kita dengarkan saja apa yang akan diucapkan kepada kamu. Ia menerima adik sebagai peneman hidup selama-lamanya atau tidak.

Aku semakin dibuat tak berdaya.

“Ya, jika kakak dan orangtua saya setuju apalagi yang saya tunggu. Saya juga harus menyetujuinya juga. Bukan begitu….”

Aduhai ia tersenyum untukku…Inikah tanda lampu hijau untukku?

Aku terhanyut. Begitu juga kawanku yang sejak tadi ingin mendengarkan jawaban pula dari perempuan itu.

Bagaikan musafir yang menemukan telaga hijau yang menyejukan hati aku berjingkat. Kegirangan. Hingga membuatku tak sadarkan diri jika aku sudah menjadi tontonan oleh para pengemudi kendaraan yang sedang berlalu-lalang di tengah jalan. Tepatnya di bawah lampu merah.

“Eh, Saudarku bangun. Bangun! Kau ini siang belum terik masih saja sempat bermimpi. Dan anehnya kau mimpi di atas motorku pula. Dasar kau ini…”()

Tanah Betawi—Ulujami, 14 November Ceria 2010

Thanks to my Bro: Arie Murthazah dan Salim Yahya yang sudah mengantarkan aku menemui bidadari…

FB:[email protected]

Email: [email protected]