Bicara Ibukota Jakarta berarti bicara segala macam bentuk profesi pekerjaan bagi para penghuninya [baca: warga]. Dikarenakan segala bentuk macamnya semua ada di kota ini. Tumplek. Tumpah ruah! Semua menjadi satu. Tinggal memilih!
Lihat saja dari yang sifatnya halal sampai yang haram ada di sini [baca: Ibukota Jakarta]. Baik dari profesi pekerjaan—maaf—menjual diri sampai berwiraswasta mandiri juga ada di sini! Bukan itu saja dari salesman sampai pengamen lagi-lagi ada di sini juga. Apalagi dari pemborong sampai penodong, pastinya juga ada di sini pula. Inilah Ibukota Jakarta penuh dengan dinamika profesi bagi para penghuninya—yang penuh dengan pilihan! Lagi-lagi tinggal memilih!
Ya, hanya tinggal memilih! Mau yang halal atau yang haram? Mau yang merugikan diri dan orang lain atau tidak? Tentunya semua itu sudah ada di tangan masing-masing jawabannya! Mudah, bukan?
Sehingga di benak saya ter-mindset Ibukota Jakarta tak pernah sepi dari orang-orang yang ingin mengais rezeki dan mencari sesuap nasi. Apa pun orangnya, dari mana asalnya, bertitel atau tidak serta perngalaman atau pun tidak juga semua bertujuan hanya satu: Bertekad menaklukan Ibukota Jakarta!
Karena apa? Itu semua dilakoni untuk mencapai tujuannya yang sama. Mengejar dan mendapatkan materi [uang] semata. Tanpa peduli apakah hasil yang diperoleh itu halal atau tidak . Bisa membuat puas diri atau malah sebaliknya. Semakin nekad. Dikarenakan kebutuhan perut yang mendesak. Dalam hal ini kaum urban yang tidak memiliki keterampilan khusus. Lagi-lagi hanya bermodalkan nekad dan kepercayaan yang sangat tinggi walau tidak sesuai harapan!
Hal ini seperti saya lihat dengan kacamata minus saya sehari-hari. Saya melihat pemandangan yang tidak [begitu] sedap dipandang mata minus saya. Lebih tepatnya ketika saya sedang berada di dalam bus atau pun angkot [angkutan kota] saat ketika saya hendak keluar rumah [berpergian]. Anehnya, pemandangan yang tidak sedap itu dekat sekali dengan tempat saya tinggal. Saya bertempat tinggal di daerah kawasan Cipulir, Jakarta Selatan. Setiap hari mata minus saya ini selalu melihat para pekerja keras jalanan khususnya pengamen—yang sehari-hari “beroperasi” di tengah-tengah jalan raya disaat bus atau pun angkot berlalu-lalang—dan saat itu ketika lampu lalin [lalu lintas] tidak berwarna merah sehingga menambah kemacetan. Biasanya para pengamen itu melakukannya aksinya rata-rata seorang diri dan maksimal dua orang sambil berkejar-kejaran dengan bus atau pun angkot. Walau saat itu macet sedang mendera membuat makin macet saja!
Itu baru segelintir yang saya lihat. Tetapi ada pula yang lebih membuat mencengangkan diri saya dan mengelus dada. Ketika para pengamen itu mengamenkan dirinya dengan cara tak terpuji. Main paksa! Dengan cara menodong untuk meminta belas kasihan dari jerih payahnya mengeluarkan suara sumbangnya.
Dan lagi-lagi semua itu [masih] dilakukan di dalam bus atau pun angkot. Tentu rasa geram yang ada di hati saya makin memuncak ketika pengamen-pengamen itu melakukan aksinya—dengan cara tak terpuji. Jika hal ini terus menerus dilakukan secara seperti itu. Mengamen sambil menodongkan diri ke para penumpang bus atau pun angkot tentunya hal ini membuat para pengamen itu semakin berani dan terus melakukan aksinya seperti itu. Ironi sekali.
Sebenarnya pemandangan tidak sedap di mata minus saya ini selayaknya tidak terjadi. Pengamen yang menodongkan diri serta menambah macet jalan raya seperti yang saya alami ketika sedang menaiki bus atu pun angkot ketika hendak berpergian. Saya selalu melihat para penumpang merasakan ketakutan. Hal ini sering saya lihat bahkan mengalaminya sendiri ketika ada seorang ibu-ibu muda—yang masih satu bus atau pun angkot. Setiap memberi uang kepada para pengamen bukan karena faktor kasihan melainkan merasa takut jika nanti ditodong! Menggertak lalu memaksa meminta uang untuk meminta “jerih payah”nya itu terutama kaum ibu-ibu.
“Saya daripada diapa-apakan lebih baik saya kasih saja seribu rupiah. Daripada nanti saya disuruh buka isi dompet saya lalu ditodong lebih baik saya kasih! Apalagi kalau tidak ada penumpang lagi ketika saya ada di dalam angkot. Hanya saya seorang diri.”
“Saya juga begitu kok, Bu! Daripada nanti saya ditodong disuruh menyerahkan semuanya. Lebih baik saya kasih seribu kalau tidak terpaksa saya kasih dua ribu untuk mencari aman. Apalgi kalau tidak ada receh di dompet saya. Malah saya seringkali mengalaminya.”
Begitulah yang saya dengar bahkan sampai saya mengalaminya sendiri dengan melihat dengan mata minus saya ini. Dan saya saat itu—yang masih berada di atas angkot atau pun bus tak bisa berbuat banyak. Hanya tersenyum getir yang dapat saya lakukan! Kalau pun saya ingin menjadi pahlawan kesiangan tentunya akan berabe. Nanti panjang urusannya! Aliah-alih nanti saya dikeroyok oleh sesama pengamen. Dikarenakan pengamen-pengamen yang saya temui itu bekerja bukan seorang diri melainkan ada yang berkelompok bahkan terorganisir. Bisa-bisa ingin jadi pahlawan kesiangan malah nanti saya yang babak belur. Bonyok! Maka dari itu saya menyelematkan diri. Mencari aman juga!
Memang melihat keadaan seperti itu memang miris bahkan mengeluskan dada. Tetapi dalam hal ini siapa yang perlu dipersalahkan?
Sopir? Sepertinya tidak adil jika melimpahkan kepada sopir! Toh, ia juga seorang manusia yang sedang mencari sesuap nasi dengan mengemudikan bus atau pun angkot. Atau, saya dan penumpang bus atau angkot [seperti kebanyakan kaum Ibu-ibu yang menjadi korbannya]? Tentu ini juga tidak adil pula! Malah saya dan para penumpang bus atu pun angkot [khusus bagi kaum ibu-ibu yang menjadi korbannya]..
Mungkin bagi saya maupun para penumpang bus atau angkot [khusus kaum Ibu-ibu] yang lainnya jalan untuk mencari aman hanya satu yang dilakukan. Memberikan beberapa rupiah di dompet ketimbang nanti khawatir dijarah [ditodong] semua sambil berseloroh untuk melapiaskan kegeraman yang sudah memuncak. ”Semoga saja pengamen-pengamen di jalan segera diangkut tramtib!” Hmm…pemandangan yang sangat-sangat membuat hati saya terenyuh bahkan miris melihat kejadian-kejadian seperti itu terus terjadi.
Mungkin jalan alternatif untuk kebaikan bersama satu-satunya maupun yang lainya untuk memperbaiki dan membuat kesejahteraan khususnya untuk keselamatan para penumpang bus atau pun angkot dari “ancaman” pengamen-pengamen yang selalu membuat was-was penumpangnya. Kiranya pemerintah kota [Pemkot] khusunya Ibukota Jakarta melakukan penertiban ke tengah-tengah jalan raya secara kontinyu untuk memberi pelajaran agar jera kepada para pengemen yang sudah meresahka para penumpang bus atau pun angkot serta juga membuat macet pula. Pengamen-pengamen itu harus ditertibkan dari jalan raya. Jangan hanya gertakan sambal! Hari ini pedas besok aden ayem! Saya rasa tidak seperti itu!
Bukan itu saja jalan satu-satunya seharusnya juga Pemkot harus juga bekerja sama dengan masyarakan untuk mengetahui siapa dalang dibalik para pengeman-pengamen yang meresahkan para penumang bus atau pun angkot dengan cara tak terpuji. Menodong. Dan kalau sudah tertangkap siapa dalang dibalik semua itu. kembali Pemkot memberikan rumah penampungan [panti-panti] sebagai rumah singgah atau pun untuk tempat berlindung dari hujan dan terik panas matahari bagi kaum marjinal [anak-anak jalana] khususnya pengamen. Kemudian setelah itu baru diberikan workshop atau pelatihan-pelatihan keterampilan sesuai bakat dan keinginannya masintg-masing. Contohnya, jika bakatnya menyanyi salurkan menjadi penyanyi professional atau mendirikan sebuah group band. Juga jika ada tangan-tangan pengamen-pengamen itu terampil berikan sebuah kursus membuat pernak-pernik dari bahan daur ulang agar bisa tercipta sebuah maha karya dari tangan-tangan pengamen. Dan tidak lupa membuka lapangan kerja khususnya bagi anak-anak jalanan. Lagi-lagi khususnya pengamen. Bukankah anak jalanan, pengamen, pengemis serta kaum marjinal [fakir miskin] dipelihara oleh Negara sesuai Undang-Undang Dasar Negara 1945 pasal 34 ayat 1?” Bukan begitu? Semoga saja Pemkot Ibukota Jakarta bisa melek mata dan segera dibukakan mata hatinya.”[fy]
Ulujami—Jakarta, 12 Mei 2010
Teruntuk Indonesia tercinta!
Bila ingin mengetahui tulisan lainnya, silakan meluncur dan klik URL: http://sebuahrisalah.multiply.com. Atau, bisa juga di E-mail: [email protected]. FB: [email protected].