Jahat! Tak punya rasa kemanusiaan. Tak berempati.
Silakan Anda berkomentar seperti itu. Dan aku akan menerimanya dengan senang hati! Agar aku bisa ber-intropeksi diri kembali atau sebagainya. Itu yang sangat aku sukai. Kenapa tidak kalau aku (memang) bersalah dalam posisi itu–dan aku harus melakukan hal itu. Lalu bagaimana jika dalam posisi itu aku tidak (benar-benar) bersalah? Inilah perkara yang sebenarnya terjadi…Dan tidak mudah untuk dikatakan apalagi menghakimi!
**
Bang Karim, begitu namanya! Begitu jika kali datang tiap seminggu dua kali disaat embun pagi masih bermanja bergelantung di dedaunan.
Bang Karim. Ya, ia adalah seorang tukang koran. Tukang koran yang tiap pagi selalu berteriak di muka halaman rumahku. "Koran…koran….! Pak-Bu korannya nggak!"
Dan begitulah tiap kali ia berteriak disaat embun pagi masih bermanja bergelantung di dedaunan. Dan aku pasti selalu mendengar teriakannya itu. Tapi sayangnya aku hanya mendengar teriakan Bang Karim saja yang sedang memanggil speisi kampung dengan suara bassnya agar mau melirik koran yang ia bawa pagi itu. Dan lagi-lagi aku tidak membeli korannya! Dikarenakan aku sudah berlangganan koran secara eceran di loper koran tepatnya di pangkalan ojek.
Ya, berlangganan eceran yang hanya seminggu dua kali–saya lakukan lalu menuju loper koran yang berada di pangkal ojek. Tidak jauh dari rumahku. Setiap hari Sabtu dan Minggu aku selalu ke tempat itu untuk membeli koran yang aku inginkan.
Namun karena aku tiap kali melihat ia berteriak koran, koran, di muka halaman rumah akhirnya aku pun berempati. Aku akhirnya pun berlangganan juga dengannya walau terpaksa aku harus ”beralih” rezeki bukan lagi kepada langganan loper koran yang sudah lama kuberlangganan.
Ya, karena aku ingin berbagi rezeki juga dengan Pak Karim, tukang koran yang kutasir berusia 45-an –yang sering kali berteriak di muka halaman rumah tiap pagi. Dan dua bulan lebihlah akhirnya aku berlangganan juga dengannya. Berlangganan koran hanya setiap seminggu dua kali kulakukan. Setiap hari Sabtu dan Minggu tiap minggunya. Hingga dua bulan lebihlah akhirnya aku menjadi pelanggannya.
Tapi tidak untuk hari ini Senin (18/07). Aku sudah memutuskan untuk tidak berlangganan dengannya. Walau aku tahu selama dua bulan lebih itu ia mendapatkan rezeki dariku—dengan cara membeli korannya secara langganan walau tidak tiap hari. Tapi apa mau dikata karena kebutuhanlah yang menjadi faktor itu.
Faktor kebutuhan hidup yang maeningkat. Itulah jawabannya!
Karena kebutuhan hiduplah pula aku harus memperhatikannya! Ikat pinggang. Begitu kata orang bijak bilang bila kita hidup sedang dilanda keprihatinan. Hidup sederhana dan bersahaja serta apa adanya itu yang perlu diambil jalan keluarnya. Walau aku tahu secara tidak langsung telah memutuskan rezeki tukang korang itu dariku. Namun karena kondisiku yang harus lebih mengambil priroitas yang utama. Kebutuhan hidup yang semakin mendesak dan butuh pengeluaran lebih banyak maka aku dengan berat hati memutuskan berlangganan untuk membeli koran darinya. Padahal koran adalah salah satu referensiku untuk mencari bahan-bahan aku menulis. Karena sebagai saeorang penulis, mahasiswa dan guru ekskul Jurnalistik Cilik (Writing Club) aku harus banyak baca dan mendapatkan wawasan dari luar. Yakni, membaca koran! Bukankan membaca koran kita juga akan mendapatkann ilmu? Dan ilmu adalah jendela dunia, bukan begitu?
”Pak, maaf ya saya tidak bisa langganan koran sama Bapak lagi. Maaf ya Pak semoga Bapak bisa dapat langganan lebih seusai saya tidak berlangganan dengan Bapak.”
Dan pagi itu pun aku hanya dapat melihat awan mendung di muka Pak Karim. Walau ia tersenyum padaku saat aku membayar uang koran yang sudah kubeli dari tangan yang sudah mengeriput[]
Ulujami, Kamar Inspirasi, 18 Juli 2011
Email:[email protected]