Aku Mencintaimu Lebih Dari Yang Kutahu

siluet ibuJika aku ditanya siapa orang yang ingin aku bahagiakan di muka bumi ini maka jawabannya….Adalah Ibuku! Hampir 30 tahun aku hidup bersamanya.Tapi entah kenapa selama itu aku tak sedikit pun melihat ia merasa lelah apalagi berkeluh kesah. Apalagi ia seorang single parent—dengan usia 64 tahun—dari rahimnya lahirlah 6 putra-putri yang sangat disayangi dan dicintainya termasuk aku.

Aku adalah anak kelima dari 6 bersaudara dari seorang Ibu yang bernama Saodah. Ibuku lahir di pinggiran selatan kota Jakarta. Asli Betawi. Ibuku tidak pernah mengenyam pendidikan apa pun. Ia buta huruf apalagi untuk bisa menulis ia juga tidak mampu. Ia hanya bisa membaca tulisan Arab saja. Karena pada zaman Ibuku lahir di keluarga Ibu berkehidupan biasa-biasa saja. Tapi berkecukupan. Dan pendidikan saat itu tidak terlalu penting. Karena saat Ibu lahir dan menjelang usia anak-anak masa-masa penjajahan masih bergelora di tanah air ini. Tanah air Indonesia. Bahkan ia pun merasakan pahit getir saat masa-masa penjajahan berlangsung terjadi. Pilu rasanya jika aku mendengarkan cerita masa-masa itu jika keluar dari bibirnya yang sudah kering dan pucat.

Ya, walaupun begitu etap saja ia tetap menjadi Ibu yang tak mau merepotkan dan membebani anak-anaknya. Walau pun dari ke-6 anak-anaknya sudah yang bekerja dan berkeluarga. Tapi tetap saja ia masih keukeh. Tak mau merepotkan dan membebani putra-putrinya. Walaupun hanya tinggal aku saja yang masih sendiri. Belum menikah.

Tapi itu bukan keinginanku yang menggebu-gebu untuk segera melepaskan masa lajangku. Toh, aku yakin rezeki, jodoh dan maut Tuhan yang mengatur dan aku tinggal berikhtiar. Entah kapan dan dimana aku bisa bertemu dengan tulang rusukku yang hilang itu (baca:jodoh) aku yakin Tuhan Maha Tahu umatNya apa yang diinginkannya termasuk aku. Tapi yang sekarang ini keinginanku yang menggebu-gebu itu adalah bagaimana aku bisa membahagiakan ibuku—dan tahu apa yang ia inginkan. Itu saja keinginanku sekarang ini.

Memang aku sadari jika diukur dari materi. Atau, pekerjaan aku memanglah sangat minim dan tak begitu memadai. Aku hanyalah seorang penulis freelance dan pengajar ekskul (ekstrakurikuler) Jurnalis serta Menulis dan Mengarang di sebuah Sekolah Dasar Islam (SDIT) yang berada di daerah Tangerang. Jangan ditanya berapa pendapatanku selama sebulan? Toh, aku masih bisa menghidupi diri sendiri dan kadang bisa berbagi dengan Ibuku itu sudah sangat lebih dari cukup. Daripada aku (harus) merepotkan dan membuat susah Ibuku lebih baik mendapatkan pengasilan dan bisa sedikit membuat Ibuku bangga akan hasil jerih payah anaknya ini daripada tidak sama sekali.

Seperti yang termaktub dalam puisi karya seorang tokoh sastrawan serta budayawan bernama Taufik Ismail dalam puisinya berjudul Kerendahan Hati seakan-akan membuat aku menjadi semangat untuk menjalani hidup ini. Tentunya aku bisa sedikit membuat Ibuku bangga terhadap aku.

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin yang tegak dipuncak bukit jadilah belukar.*
Tetapi belukar yang baik, yang tumbuh di tepi danau.
Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar jadilah rumput.
Tetapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan.

Bukan! Bukan! Bukan aku ingin membayar jasa-jasanya selama ini kepadanya. Tidak! Tidak! Tidak, itu mustahil aku bisa membayarnya bahkan bisa tergantikan. Karena hal ini mengingatku pada sebuah lirik lagu berjudul; Kasih Ibu—yang benar-benar membuat aku merasa amat tak berguna sebagai anak dan tak bisa membahagiakannya selama ini. Terlebih ketika mengingat jasa-jasanya. Ah, aku tak mampu membayangkannya. Nyeri dan seperti tersayat-sayat sembilu bila terus mengingatnya. Mungkin tingginya gunung dan dalamnya laut aku kira masih tinggi dan dalamnya jasa-jasa Ibuku yang ia berikan kepadaku. Aku yakin itu!

Kasih ibu, kepada beta tak terhingga sepanjang masa.
Hanya memberi,tak harap kembali.
Bagai sang surya, menyinari dunia.

Seperti halnya tulisan ini yang aku tulis. Orang yang aku sayangi dan kucintai sekarang ini telah menua. Hanya keriput yang membungkus tulangnya. Hanya rambut memutih yang memahkotai kepalanya. Hanya senyuman kosong yang terlihat ketika giginya satu-persatu berebut keluar dari akar giginya. Apalagi parasnya yang dulu telah memikat hati almarhum Ayahku kini telah pudar dan layu. Seperti bunga yang tidak disemai oleh pupuk. Makin lama makin tak tumbuh kembang. Begitulah saat aku melihat orang yang sangat aku sayangi dan kucintai dengan segenap hatiku.

Itulah gambaran orang yang telah membesarkanku hingga sekarang ini. Pun aku sampai sekarang belum bisa membahagiakannya. Apalagi memberikan ia istana maupun untuk mempergihajikan dirinya. Ingin rasanya memberikan hal yang berarti untuknya. Tapi apa daya aku hanyalah seorang penulis freelance dan pengajar ekskul (ekstrakurikuler) Jurnalis serta Menulis dan Mengarang di sebuah Sekolah Dasar Islam (SDIT) tentu aku belum bisa memenuhi itu semua. Malah sebaliknya aku seringkali mengeluh, mengeluh dan mengeluh. Tak seperti Ibuku. Ia selalu tegar dan tabah menghadapi kerasnya kehidupan.

Mungkin dengan menulis, menulis dan menulis aku bisa berbagi dan bisa menumpahkan segala rasa apa yang (akan) aku inginkan dan kuucapkan untuk Ibuku. Ibuku, orang yang aku sayangi dan kucintai sekarang ini.

Ibu…izinkan anakmu ini mencontoh ketulusan cintamu kepada anak-anakmu. Di matamu Ibu aku mendaptakan sejuta jawaban dari beribu pertanyaan. Di balik senyummu Ibu…Ya, dibalik senyumu aku menemukan kebaikan Tuhan yang begitu dalam.

Ibu…engkau layaknya Ibu yang mengajarkan cinta kasih. Senyummu layaknya senyuman Ibu yang memberi bara api sebagai penyemangat hidupku serta menyembuhkan luka hati dan mencurahkan oase dalam jiwaku dan anak-anakmu yang gersang.

Ibu adalah Ibuku yang tak dapat tergantikan oleh apa pun, siapa pun dan dimana pun berada. Entah itu apa namanya? Aku tak tahu. Tapi bagiku Ibuku sangat mencintai segala kehidupannya. Karena Ibuku adalah jiwaku yang kedua. Tanpa ia apalah arti hidupku. Apalagi ketika aku dibawa oleh kenangan lama bersama saat aku masih kecil. Begitu terharunya aku bila mengingtanya…

Ibu, ya Ibu! Di balik matamu aku ingin menuliskan namamu. Walau aku tahu Ibuku tak bisa baca-tulis. Tapi izinkan anakmu ini memberikan reward untukmu sebagai tanda baktiku sebagai anakmu ini…Ibu!

Inilah Ibu reward yang aku berikan kepadamu. Hanya ini yang aku bisa berikan kepadamu. Sebuah rasa. Sebuah ungkapan. Sebuah harapan dari seorang penulis freelance dan pengajar ekskul (ekstrakurikuler) Jurnalis serta Menulis dan mengarang di sebuah Sekolah Dasar Islam (SDIT). Walau pun aku tahu Ibuku tak bisa baca-tulis. Namun aku yakin dalam hati kecilnya mungkin membaca tulisanku ini. Sebuah tulisan rasa yang lama terpedam dalam palung hatiku sebagai anaknya!

Ya, Allah Ya Rabb, Tuhanku semoga apa yang aku lakukan ini tidak sia-sia untuknya. Untuk Ibuku! Ibu yang amat aku ingin bahagiakan di dunia ini.Doakan anakmu ini agar bisa berbakti dan bisa mengabdi untuk selama-lamanya. Karena, aku mencintaimu lebih dari yang aku tahu.

Tanah Betawi—Ulujami

FB/email:[email protected]

Keterangan:
*) Kutipan dari puisi Kerendahan Hati karya Taufik Ismail.