Memasuki tahun ke 24 bagi seorang wanita adalah masa-masa yang matang untuk sebuah pernikahan.. Keinginan untuk mempunyai seorang pendamping hiduppun seakan semakin menghujam dihati.
Apalagi satu per satu teman silih berganti mengirim undangan. Hal itu wajar menurutku, normal, juga terjadi padaku.
Setiap wanita pasti memiliki sebuah pandangan tentang bagaimana sosok lelaki yang diinginkanya. Lelaki yang menurutnya akan menjadi pemimpinnya kelak. Begitu pula dengan proses yang akan dijalaninya untuk menuju sebuah pernikahan.
Apakah jalan yang sesuai tuntunan Rosulullah ataukah jalan lain. Apakah ingin jalan yang penuh keberkahan atau penuh dengan yang lain-lain. Hmm…tinggal bagaimana kita menginginkan, berikhtiar dan kepada siapa kita berharap..
Waktu yang terus berjalan… ia takkan pernah kembali. Begitupun dengan usia yang menunjukkan banyaknya angka kadang membuat beberapa wanita dan keluarganya cemas. Jodoh tak kunjung datang sedangkan pertanyaan demi pertanyaan tak henti dan tak jera menyapa. Airmata, jangan ditanya lagi, hampir dalam setiap doa.
Masih teringat saat pertama kali aku mulai mengenal yang namanya “ingin menikah”. Pas umurku masih sekitar 21 tahun dan pas itu juga Alloh berkehendak memberikan kesempatan adikku untuk menikah duluan.
Hemm.. banyak keluarga yang sebenarnya tidak menyetujui pernikahan adikku dengan alasan “nglangkahi mbakyunya” dan lain-lain. Tapi menurutku, itu bukan alasan syar’i toh Rosulullah tidak pernah mengajarkan seperti itu. Rasa iri kadang datang menghampiri, kapan aku bisa merasakannya..
Seiring berjalannya waktu… Alloh pun seakan memberiku banyak pelajaran berharga. Pelajaran yang tak jarang membuatku jatuh dan berurai airmata. Pelajaran yang termahal menurutku.. Setiap stepnya membuat sebuah frame tersendiri dalam diriku tentang masa-masa lajang, tentang bagaimana menyikapi keinginan untuk menikah.
Ya, masa-masa dimana keinginan untuk menikah itu gencar dirasakan bukan berarti harus menyibukkan diri dengan bagaimana supaya cepat menikah, bagaimana supaya segera dapat calon.
Justru masa-masa ini harus mmulai menyiapkan diri, mengisi hari-hari dengan amalan-amalan terbaik untuk Rabb Yang Maha Pengasih. Karena pernikahan bukan perjalanan yang tak membutuhkan bekal. Karena pernikahan bukan sebuah kapal yang tak memerlukan nahkoda yang tepat.
Masa-masa lajang, bukan masa dimana pikiran hanya dipenuhi dengan bayangan romantika pernikahan yang indah-indah saja. Karena ibaratkan berlayar dilautan, terkadang badai bisa saja datang menerpa.
Bahkan pernah seorang akhwat yang sudah menikah berpesan padaku “ketika engkau menyatakan siap menikah, maka engkau juga harus siap dengan masalah”. Itulah, kenapa kita harus menyiapkan semuanya sebelum memasuki gerbang pernikahan. Termasuk, menyiapkan sejauh mana keyakinan kita akan pertolongan Alloh. Ya, sejauh mana kita berharap pada Alloh.
Masih teringat, beberapa waktu yang lalu ketika seorang teman bilang padaku kalau temannya mencari calon istri. Tanpa sepengetahuanku, temanku, sebut saja Nada, telah menceritakan banyak hal tentang diriku pada temannya itu.
Tapi karena alasan tertentu dia mundur. Beberapa waktu kemudian dia muncul dan nekat ke Malang. Alasannya sih mau kuliah dan membuka lembaran baru di Malang. Okelah, aku membantunya melanjutkan halaqahnya di Malang. Semuanya berjalan lancar, halaqah jalan, dia mulai banyak teman, mulai kerja dan kuliah.
Belum genap satu bulan dia memulai hidupnya di Malang, dia mengutarakan keinginannya ke murabbinya. Ternyata ia menyimpan maksud lain, yaitu memintaku. Awalnya aku biasa saja, bahkan dalam hatiku berkata “apa ini saatnya?”
Namun seiring berjalannya waktu, ketika biodatanya sampai padaku, entah kenapa aku mulai ragu. Aku minta perpanjangan waktu sebelum memberikan jawaban. Ustadzahku menyarankanku untuk terus istikharah dan meminta petunjuk dari Alloh.
Namun, yang kurasakan bukannya mantab malah semakin ragu. Seakan ada sesuatu yang menekan dihatiku, seakan ada sesuatu yang membuat airmataku terus mengalir. Hingga akhirnya aku menyampaikan penolakanku. Subhanalloh, lega rasanya. Aneh, padahal sebelumnya aku sangat ingin sekali menikah.
Kurang lebih dua bulan berikutnya, dia memberitahukan kalau dia sebentar lagi akan melamar seorang akhwat. Dan tanpa sungkan, dia meminta tolong padaku untuk mendampingi akhwat itu ketika lamaran secara resmi. Aku bingung, apa maksudnya? Bukankah mereka berdua sama-sama punya guru ngaji?
Aneh, terasa aneh lah kalau tiba-tiba aku muncul, karena aku kan sama sekali tidak terlibat dalam proses mereka. Tapi lebih anehnya lagi, tidak airmata kesedihan ketika aku mendengar semua berita yang disampaikannya.
Justru rasa syukur yang tak henti aku haturkan padaNya. Pada Rabb yang tak pernah tidur. Aku tak menyesal, aku tak kecewa. Aku merasa tepat tidak menerimanya.
Dan ini yang kurasakan, setiap yang kualami menuntunku pada keyakinanku akan kasih sayangNya dan efek dari berharap hanya pada-Nya.
Berharap hanya pada Alloh justru membuatku semakin yakin bahwa Alloh akan memberikan yang terbaik untuk hambaNya. Berharap hanya pada Alloh justru semakin menguatkan kaki ini tuk berpijak dan menuntun hati ini tuk memilih.
Berharap hanya pada Alloh akan menguatkan jiwa ini, sehingga tak akan jatuh lagi atau bahkan rapuh.
Berharap hanya kepada Alloh, justru akan membuat kita semakin mencintaiNya dan bersyukur atas segala yang ia takdirkan untuk kita… ^^
Malang, 10 Agustus 2011 (terima kasih untuk teman yang mau berbagi cerita denganku)