Gemericing Tamburine itu awalnya tak menarik perhatianku. Sudah terlalu biasa telingaku mendengar suara gemericing ini di setiap perempatan jalan dan lampu merah. Apalagi, jika ini bukan aksi para pengamen anak-anak di bawah umur. Tapi, kemudian perhatianku serta-merta dilaihkan pada sumber suara, demi mendengar suara tua nan serak menyanyikan sebuah lagu yang tak kumengerti. Mungkin bahasa Jawa. Masya Alloh, seorang laki-laki tua yang tubuhnya sudah gemetaran.
Aah, laki-laki tua penuh kegetiran, melawan kerasnya hidup di Ibu Kota. Mungkin ia tak punya pilihan selain menghabiskan masa senja dengan mengamen dari satu bus ke bus lainnya. Tanpa sanak family. Tanpa anak dan cucu. Sebab hidup harus terus diarungi. Apakah ia berkehendak untuk memilih pilihan ini? Siapapun tentu tak pernah berharap demikian.
Lain lagi ceritanya dengan gadis belia di belahan bumi Indonesia lainnya. Ketika umurnya baru saja menginjak Sembilan belas atau dua puluh tahun. Gadis itu cantik. Sangat cantik! Siapapun yang pernah berjumpa dengannya, mengatakan kalau gadis itu adalah gadis yang sangat cantik. Bahkan, aku sebagai seorang perempuan saja, ingin selalu mencuri pandang pada wajah ayu nan polos itu. Tapi, apakah ia pernah membayangkan ataupun membuat suatu peta dalam hidupnya bahwa ia akan menjadi istri ketiga dari seorang lelaki konglomerat yang terpaut umur sangat jauh darinya? Ah, tidak. Siapapun gadis, pasti tak ingin menjadi istri ketiga. Tapi—sekali lagi—ini adalah pilihan hidupnya. Yah, pilihan hidupnya.
Ketika itu, aku tanyakan pada beberapa orang gadis. “Bersediakah kamu jadi istri ketiga?” Hampir semua menggeleng kuat dan mengatakan tidak. Dan, mungkin juga itu jawaban sang gadis cantik itu ketika ia ditanya dulunya. Tapi, ada satu jawaban lain yang cukup menggelitik bagiku dari salah seorang gadis yang kutanya. Bahwa, kita tak tahu takdir di hari depan kita akan seperti apa. Jadi, pertanyaan itu adalah pertanyaan yang abstrak untuk dijawab. Begitu katanya. Aku mengangguk, mengiyakan. Sebuah jawaban cerdas.
Yah, tentang pilihan hidup dan takdir. Bahwa kita tak pernah tahu tentang apa yang terjadi di hari esok. Mungkin hari ini kita—terutama aku—begitu idealisnya sehingga lupa dengan hamparan realita yang tak seindah catatan asa. (Kadang, aku sungguh sangat tak ingin selalu berada di ranah idealis ini). Penat sudah bergelut idealisme. Padahal, apa yang menurut diri kita itu baik, belum tentu baik adanya. Alloh lebih tahu. Sungguh, Alloh lebih tau.
Adalah sesuatu yang sangat berat, jika dari banyak pilihan hidup itu, tak satu pun pilihan yang ingin kita pilih. Tapi, who knows? Siapa yang tahu? Entah, berat hari ini, akan mendatangkan kebaikan di hari esok?! Juga adalah berat atas sebuah rasa yang bernama kehilangan—entah itu benda berharga ataupun sahabat. Tapi, bisa jadi saja, ini adalah cara Alloh untuk menghindarkan kita dari kemudharatan jika kita masih membersamainya. Seburuk apapun. Seberat apapun, menurut kaca mata kedhaifan kita. Sekali lagi, Alloh-lah yang lebih tahu.
Mencintai sesuatu justru akan menjadi sebuah siksaan berat, ketika kita terlanjur menggantungkan kebahagiaan atas kebersamaan dengan sesuatu yang kita cinta itu. Kita menderita bukan karena mencintai, tapi menggantungkan kebahagian pada yang dicintai, apakah benda ataupun manusia.
Tentang pilihan, disukai atau tidak, tetap saja kita akan dihadapkan dengan berbagai pilihan itu, berikut rintangan dan kesulitan yang menyertainya. Kadang kala, ada perlunya kita mencoba berdamai dengan segenap realita yang ada. Menggeser sedikit ambang idealism itu, sebatas tak ada aturan krusial yang dilindasnya, apalagi aturan Alloh. Sebab, keburukan yang kita kira hari ini, belum tentu akan berujung pada keburukan! Belum tentu.
Angkuh sekali, jika kita berani mengukur standar orang lain di bawah kita. Siapa yang bisa menjamin. Bahkan, kita tak lebih baik! Sungguh, tak lebih baik! Lalu, apakah ada alasan lagi untuk membuat standardisasi atas orang lain? Demi Alloh—jika bukan karena agama dan kemuliaan Islam—kita tak punya alasan apapun untuk itu.
Maka, kali ini mungkin kita perlu berdamai dengan realita yang ada. Karena kita tak pernah tau, akan seperti apa takdir kita di hari depan. Segala keputusan-keputusan atas pilihan itu, hendaklah telah ‘dikomunikasi’kan kepada Rabb kita, pun pada kondisi ruhiyah terbaik kita. Agar keputusan atas segala pilihan hidup—apapun itu, juga adala keputusan yang berlandaskan iman, bukan hanya karena luapan emosi semata.