Kehidupan. Seuah kata sederhana yang amat sarat makna. Seperti apakah kita menamakan sebuah hidup itu? Seperti apa warnanya hidup itu? Hijaukah? Jingga kah? Atau violet? Apapun itu, yang jelas setiap kita punya lukisan kata sendiri untuk menamainya.
Hidup. Mari sejenak menelik kembali masa2 dari segenap cuplikan episode kehidupan kita. Ya, kehidupan kita sendiri. Bukan orang-orang disekeliling kita. Seberapa panjangkah jalannnya? Seberapa beragamkah warnanya? Barangkali kita telah melukis sejuta warna, bukan?
Saudaraku,
Dahulu kita adalah calon masinis atas kereta yang saat ini tengah kita kendalikan saat ini. Barangkali, keterbatasandan kedhaifanlah yang membuat kita tak tahu bahwa ternyata kita dahulu berkompetisi. Ya, berkompetisi. Hanya untuk sebuah kereta kehidupan.
Saudaraku,
Barang kali kita juga lupa bahwa setelah salah satu dari sekian banyak pesaing-pesaing yang ikut berkompitisi, ada satu pemenangnya. Siapa? Yaitu kita sendiri! Ya, kita adalah pemenang kompetisi itu! Seyogiyanya sebagai pemenang, tentu ada banyak hal yang menjadi ’tuntutan’ untuk kita.
Sebelum kereta kita melaju, kita tentu telah membuat kontrak terlebih dahulu dengan Sang Pemilik Kereta, sang Penentu Nasib Kereta. Karena kita bukan pemilik penuh atas kereta itu. Kita hanya masinisnya. Kontrak itu adalah ketika kita bersaksi bahwasannya hanya Allah lah sembahan kita. (ingat janji kita kpd Allah telah dinyatankan-Nya dg terang di Al Qur’an)
Lalu, peluit pun dibunyikan. Pertanda kereta siap berangkat. Apakah itu sepuluh tahun yang lalu, dua puluh tahun yang lalu, tiga puluh, atau bahkan mungkin seratus tahun yang lalu kita mulai berangkat dari stasiun awal.
Saudaraku,…
Hari ini,.. kita adalah masinis kereta yg kita kendalikan ini. Akan kita bawa kemanakah kereta ini? Sedang diperjalannya begitu banyak potret yang kita temui. Lihatlah, jalan yang kita tempuh itu bukan hanya lurus saja, bukan hanya datar saja, dan tentu saja bukan hanya terang saja. Terkadang, ada tanjakan yang kita lalui, ada terowongan gelap yang membuat kita sulit meraba, ada cadas yang menghadang barangkali. Ah, itu adalah niscaya bukan? Sebab, kalau tidak dengan begitu, perjalanan ini tak pula indah.
Namun, kereta yang kita bawa ini telah ditentukan dimanakah stasiun terakhirnya? Akan seperti apa kita nantinya berhenti distasiun? Atau, apakah kita menjadi salah satu sejarah dimana kereta kita berujung di jurang terjal.
Ya, kitalah yang merancang akan bagaimana kita sampai distasiun nanti. Akan dengan mulus dan happy ending? Atau, dgn tabrakan atau Sad ending? Setidanya, kita telah dimodali oleh rambu2 jauh sebelum keberangkatan kita dahulu. Rambu yg jika kita tak mematuhinya, akan menggelincirkan kereta kita ke jurang. Rambu yang jika kita patuhi, insya Allah akan mengantarkan kita ke stasiun dgn selamat.
Ya,… suatu saat, PASTI! Pasti kita akan menemui stasiun kita masing-masing. Stasiun yang akan menentukan nasib kita setelah itu. Sebab, ternyata, kereta yang kita tumpangi dan kita kendalikan ini hanya sepenggal perjalanan singkat. Kita hidup, ternyata bukan untuk perjalanan di kereta sesaat saja sampai kita menemukan stasiun. Tapi, ada tujuan kita setelah elewai stasiun itu bukan?ya, mulai dari sekarang, kitalah yang merancangnya!