Beberapa hari ini, bahkan tak cukup seminggu, aku kaget sekaligus berduka dengan berita-berita kepergian banyak sosok. Bukan saja sosok-sosok yang dikenal publik, tapi juga salah satu anggota keluargaku.
Innalillaahi wa inna ilaihi rooji’un…
Allahummaghfirlahum warhamhum wa’afihum wa’fuanhum…
Kematian.
Sesuatu yang paling dekat jaraknya dengan kita. Bahkan lebih dekat dari pada satu detik waktu yang telah kita lalui. Sebab, hitungan masa yang berlalu, lantas akan menjadikan jarak kita begitu jauh dengannya. Tak satu pun kendaraan dapat menjemputnya.
Dekatnya kematian bukan milik kakek nenek yang telah renta saja, ataupun si pesakit yang hanya tinggal menunggu waktu, tapi, semuanya, siapapun kita! Tanpa kecuali untuk raga-raga dengan kebugaran, dengan derai gelak tawa. Ah, kematian itu tetaplah sesuatu yang begitu PASTI! PASTI! Yah, kita PASTI akan menghadapinya. Mungkin beberapa menit lagi. Mungkin hitungan jam. Hitungan hari, bulan atau tahun.
Rahasia mengapa waktu kematian tak terprediksi yang berarti SEWAKTU-WAKTU, bisa kapan saja, adalah agar setiap saat kita bersiap diri untuk itu. Tapi, kelalaian manusia sering kali mencipta alasan-alasan dan memberikan pembenaran-pembenaran bahwa ia-nya masih begitu jauh. Padahal, tak sedikitpun kita dapat mengatakan ia masih jauh hanya karena umur kita yang masih belia ataupun badan yang masih sehat. Ya, sering kita lupa.
Kisah kepergian sosok-sosok luar biasa itu, mengeluarkanku pada sebuah kesadaran, hendak seperti apa akhir dari kisah episode demi episode itu? Sungguh, ada sosok-sosok luar biasa, yang mengakhiri ending episode itu dengan sebuah lakon luar biasa. Mereka yang meninggalkan sebuah inspirasi dan penyadaran bahkan setelah usia di dunia berakhir. Inspirasi yang terus hidup, meskipun mereka telah tutup usia. Sungguh, inspirasi itu terus hidup, dan umurnya JAUH LEBIH PANJANG DARI USIA mereka. Jangankan kehidupan, bahkan kematian pun meninggalkan ibroh dan inspirasi serta penyadaran bagi banyak orang. Sungguh, lakon yang indah dan ending yang membahagiakan…
Ada lagi, mereka yang berpulang setelah menuliskan begitu banyak torehan sejarah… Catatan yang mereka ukir masih terus hidup meskipun mereka telah kembali pada-Nya. Catatan-catatan yang mereka ukir, bahkan masih sampai di hati banyak orang jauh setelah ia menghembuskan nafas terakhir. Sebuah inspirasi yang terus hidup dan sebuah investasi kebaikan yang terus mengalir. Ya, ia-nya adalah satu di antara tiga, ilmu yang bermanfaat yang ia tinggalkan.
Mereka yang pergi dengan lafadz-lafadz ayat-ayat-Nya. Mereka yang pergi dengan kalimah syahadat. Mereka yang pergi dengan senyuman yang terukir indah di bibir. Masih kuingat, salah satu sosok penulis yang masih meninggalkan catatan-catatan kebaikan dan kemanfaatan setelah Tsunami Aceh menyeretnya. Tapi, jilbabnya, gamisnya, kaus kakinya, bahkan mansetnya tak satupun yang terlepas dari badannya setelah jasad itu ditemukan. Di tengah sebagian orang-orang yang berpakaian bodypress dan jeans ketat yang justru malah terbuka. Allahuakbar! Allah selamatkan ia dan kehormatannya. Bukankah logika manusia, pakaian longgarlah yang justru dengan mudah terlepas oleh terjangan air yang begitu dahsyat dibandingkan dengan pakaian ketat dan jeans rapat yang bahkan ketika membukanya saja sudah sangat susah? Tapi, kebesaran Allah jauh melintasi logika-logika sederhana manusia.
Semua ini, mengantarkanku pada sebuah titik penyadaran; INGIN SEPERTI APAKAH ENDING HIDUP KITA? Ingin diakhiri dengan bagaimanakah? Dengan epilog pahit yang kemudian menjadi gerbang pada kesengsaraan yang tak berkesudahankah? Ataukah, dengan epilog manis yang menjadi pintu bagi kenikmatan yang takkan pernah sanggup dilukiskan oleh kanvas apalagi kata. Ingin diakhiri dengan sebuah senyuman maniskah? Atau ringisan ketakutankah? Akan meninggalkan inspirasi kebaikankah atau menjadi catatan keburukkan yang mungkin akan dipergunjingkan banyak orang?
Sungguh, dunia ini hanyalah kesejenakan belaka, wahai diri. Dunia, bukanlah tujuan akhir hidup kita. Namun, kesejenakkan inilah yang akan menjadi penentu, akan berada di ranah manakah kita pada hari yang tiada akhir itu? Pada hari ketika segala sesuatunya dibalaskan itu? Dan bukankah gerbang menuju hari tak berkesudahan itu, adalah gerbang yang tak pernah kita prediksi kapan, di mana, dengan cara bagaimana?
Wahai diri, hendak dengan cara bagaimanakah engkau ingin mengakhiri dunia? Hendak dengan cara bagaimanakah? Sungguh, cara itulah yang akan menjadi gerbang. Tiada yang dapat menjamin dirimu, wahai diri, selain Allah saja. Maka, berharaplah dengan segenap harap pada Rabb-mu, bahwa penutup hari-hari itu adalah dengan sesuatu yang terbaik, dengan amalan terbaik, pun dengan cara terbaik. Maka, tiadalah engkau berjumpa dengan segenap harap itu, jika hari ini kau masih berlalai-lalai, masih lena dan masih terbuai dengan godaan dunia. Bagaimana jika akhir episode itu adalah ketika kau bermaksiat di hadapan Rabb-mu, wahai diri?