Bertepatan dengan peringatan HUT kemerdekaan RI ke-63 lalu, suasana gembira yang meluap-luap (euforia) memancar dari berbagai sudut kampung dan kota. Euforia itu diekspresikan dalam bentuk perlombaan yang beraneka ragam. Ada lomba yang mengundang derai tawa seperti lomba balap karung, balap bakiak, makan kerupuk, menyuapkan pisang dengan mata tertutup, membawa kelereng dalam sendok, pukul-pukulan dengan bantal di atas sungai, dan yang selalu menjadi daya tarik adalah lomba panjat pinang, baik yang batangnya berdiri tegak di tanah atau yang berdiri miring di pinggir kali. Riuh-rendah suasana mewarnai jalannya perlombaan itu. Ada sedikit perasaan lega, untuk sejenak mereka bisa terbebas dari penderitaan yang menghimpitnya dan larut dalam gempita euforia yang datangnya setahun sekali itu.
Euforia adalah kewajaran manakala jiwa mendapat anugerah kegembiraan yang membinar. Euforia menjadikan jiwa melambung tinggi, terbang bersama luapan kebahagiaan yang tidak sanggup dibendungnya. Namun bila ia tidak terkendali, maka ia berpotensi menimbulkan tindakan yang berlebihan dan tidak proporsional. Lihatlah euforia supporter sebuah kesebelasan, yang justru mengamuk ketika mendapatkan sebuah kemenangan. Itu adalah dampak euforia yang kasat mata dan nyata terlihat.
Euforia yang tidak terkendali, sekecil apapun memiliki dampak yang kurang menguntungkan. Inilah pengalaman kecil yang saya dapatkan di lingkungan sekitar rumah yang ramai mengadakan aneka lomba dalam memperingati hari kemerdekaan negeri.
Efek yang nyata terlihat adalah banyaknya jalan-jalan yang ditutup tanpa suatu pertimbangan yang bijak. Ya, asal main tutup saja kesannya. Agaknya, euforia menjadikan sebagian dari mereka lupa akan hak dan kepentingan orang lain, khususnya para pemakai jalan. Dengan dalih untuk kepentingan lomba, beberapa ruas jalan ditutup tanpa memberikan jalan alternatif sebagai solusi.
Jalan di depan rumah saya adalah jalan alternatif bagi para pemakai jalan yang ingin menghindari kemacetan di jalan utama. Arus lintas cukup ramai melalui jalan itu. Pada hari peringatan kemerdekaan itu, lomba-lomba pun di gelar dengan menyita jalan karena keterbatasan lahan. Pada saat lomba dilakukan, beberapa remaja laki-laki membawa kayu guna menutup jalan tepat di depan rumah saya. Tak ayal, beberapa pengendara sepeda motor banyak terhenti kecewa. Mereka terlanjur melaju di depan namun sayang tidak tersedia belokan jalan alternatif selain harus balik memutar kemudian menempuh jalan lain. Dan tragisnya, beberapa jalan lain juga ditutup untuk keperluan yang sama. Jadilah para pengendara itu frustasi dan bingung harus menggunakan jalan yang mana.
Beberapa kali, sempat terjadi ketegangan antara para pengendara sepeda motor pemakai jalan dengan para remaja/pemuda penjaga jalan yang ditutup itu,
“Bisa lewat nggak?!” tanya seorang pengendara sepeda motor.
“Nggak bisa Bang, ada perlombaan!” tanya seorang pemuda yang bertugas mengamankan ruas jalan.
Pengendara itu berharap diperbolehkan melintas walau harus pelan-pelan. Tetapi nampaknya remaja/pemuda penjaga ruas jalan itu tidak mau kompromi. Sejauh pengamatan saya, sebenarnya pengendara sepeda motor bisa melintas namun harus diatur pergerakannya. Meniru cara sebuah demonstrasi yang tertib, yang melakukan long march tetapi tetap mempersilahkan para pengendara lewat di sampingnya, seharusnya para remaja/pemuda yang menutup jalan untuk kepentingan lomba itu meneladani para demonstran tetap menghargai hak para pemakai jalan.
Euforia yang tidak terkendali telah menipiskan empati terhadap orang lain. Demikian kesan yang tergambar dari raut para remaja/pemuda itu. Para pengendara sepeda motor yang hanya bisa berhenti dengan ekspresi agak kesal di depan jalan yang ditutup itu, beberapa dari mereka terpaksa memutar balik, namun ada pula beberapa dari pengendara yang nekad menerobos dengan memindahkan penghalang kemudian menutupnya kembali, dan menjalankan motor dengan pelan-pelan.
Sempat terjadi insiden kecil, tetapi nampaknya seiring banyaknya para pengendara yang protes, remaja/pemuda itu makin menyadari bahwa ia tidak berhak memonopoli jalan umum itu semaunya.
“Eh Bang!, kan udah dibilangan tidak bisa lewat?” tanya seorang remaja/pemuda penjaga rintangan jalan.
“Alah, emang ini jalan punya siapa? Seharusnya kalau emang penting banget, suruh tuh Hansip/Satpam yang jaga! Lagian saya lihat lombanya nggak rame-rame amat. Masih bisa lewat tuh!” Seorang pengendara menjawab santai kemudian menjalankan pelan sepeda motornya menerobos kerumunan kecil di seputar arena perlombaan.
Beberapa ibu-ibu yang membonceng bapak-bapak juga mengeluarkan kata-kata bernada protes. Masalahnya, remaja/pemuda yang menutup jalan itu tidak memberikan alternatif jalan lain atau memberikan solusi. Penutupan jalan itu tidak dilakukan pada titik-titik yang semestinya. Akibatnya mereka harus kecewa karena setelah masuk ke dalam ternyata jalan ditutup dan harus memutar arah.
“Kok jalannya ditutup begini?” Demikian suara ibu-ibu yang terhenti ketika melintasi jalan itu ketika remaja/pemuda yang sedianya menunggu perlintasan tidak menjaganya.
Saya yang pas berada di depan rumah, memberikan saran agar mereka terus saja melewati jalan itu dengan pelan-pelan, karena saya melihat situasinya memungkinkan untuk itu.
Syukurlah, penutupan jalan yang dilakukan di depan rumah cuma berlangsung beberapa menit saja sehingga tidak banyak memakan korban. Saya tidak tahu bagaimana penutupan jalan yang dilakukan pada daerah-daerah lainnya.
***
Saya menangkap kesan bahwa euforia yang dipertunjukkan oleh beberapa remaja/pemuda ─yang menjadi panitia lomba-lomba di perkampungan dengan menutup beberapa akses jalan, adalah euforia yang tidak sepatutnya. Seharusnya mereka mengusahakan tempat yang tidak menghalangi akses jalan. Andaipun mereka terpaksa melakukannya, mereka seharusnya berkoordinasi dengan kepala lingkungan setempat kemudian menutup akses jalan pada titik-titik yang tepat. Dengan demikian, para pemakai jalan pun merasa dihargai dan dihormati haknya.
Euforia sering berakibat merugikan orang lain atau melanggar tata nilai yang seharusnya dijaga. Lihatlah euforia anak-anak SMA yang dinyatakan lulus dalam ujian akhir, mereka ramai-ramai mencorat-coret baju yang dikenakannya dengan cat semprot. Padahal baju-baju itu akan lebih bermanfaat jika diberikan kepada orang lain karena masih banyak adik-adik yang membutuhkannya. Tidak jarang kita juga membaca anak-anak muda melampiaskan euforia dengan pesta shabu-shabu dan pesta seks. Sungguh memiriskan.
Euforia boleh jadi terjadi pada pejabat yang baru berkuasa, pejabat publik yang baru terpilih, para pengusaha yang baru mendapatkan proyek, para pedagagang yang kebanjiran order, seorang yang baru diterima kerja, masyarakat yang baru merasakan kedamaian, pengarang yang bukunya baru diterbitkan, penulis yang tulisannya dipublish di mass media, dan lain-lain. Semua orang berpotensi mengalami euforia dan euforia itu berpotensi memunculkan kesombongan atau tindakan yang berlebih-lebihan. Hanya dengan mengingat Allah-lah maka potensi buruk dari euforia itu bisa diredam.
Bagaimanakah dengan euforia Ramadhan? Menyambut Ramadhan dengan sepenuh cinta dan kerinduan, menyambut Ramadhan dengan gelora bahagia yang meluap-luap? Menyambut Ramadhan dengan kesibukan menyiapkan hati, pikiran, dan jasad agar tunduk dalam kemulian-Nya? Ternyata, euforia yang demikian bukanlah euforia yang berpotensi melalaikan. Karena yang disambut adalah cinta-Nya, kasih sayang-Nya, keberkahan-Nya, kemulian-Nya, Pengampunan-Nya, dan Surga-Nya.
Segala sesuatu jika ditujukan dan diarahkan kepada kebaikan, maka akibat yang nampak adalah kebaikan. Ramadhan adalah bulan kebaikan, anugerah dari Allah yang merupakan sumber dari segala kebaikan. Maka euforia menyambut kedatangan Ramadhan adalah euforia yang berdampak pada kebaikan semata. Marhaban Ramadhan Karim.. Selamat datang kemuliaan..
Waallahua’lamu bishshawaab
([email protected]).