Oleh : Imamah Fikriyati Azizah
Saya teringat akan sebuah puisi dari seseorang yang tidak dikenali namanya, “kejujuran itu seperti es krim, kalau tidak dilahap bakalan cepat meleleh hilang ditelan hawa panas, bisep di tangan itu kan otot fisik, nah.. kejujuran itu otot mental, dan otot harus dilatih terus biar kuat…”
Berbicara soal kejujuran, hal tersebut akan membawa kita ke kehidupan sehari-hari. Di rumah, di sekolah, di kantin, di masjid, di base camp, dan dimana pun itu, semua membutuhkan kejujuran. Dan kita, butuh kejujuran.
Menyoroti lingkungan remaja ini, bau kejujuran itu sudah mulai membusuk. Ibarat sampah yang belum dibuang-buang, dan akhirnya terkena hujan, dikerumuni lalat, alhasil menimbulkan aroma yang luar biasa mencekik.
Ambil saja contoh dunia pendidikan. Saya memang bukan seorang pengamat pendidikan, namun tidak salah jikalau saya mengamati dunia yang sehari-hari ada bersama saya ini. Pendidikan berantakan sekarang, tidak perlu membicarakan soal kurikulum atau metode yang katanya tidak menguntungkan, namun perkara kecil ini harus lebih digagas oleh siapa pun, yaitu soal kejujuran.
Banyak guru mengomentari perilaku bejat seorang koruptor, murid-murid ikut menggungjingnya, membicarakan segala polah koruptor yang jelas tidak menegakkan kejujuran itu. Tapi, bukankah sama saja artinya, ketika sedang ulangan atau test semesteran dengan segala strategi, para murid melancarkan aksi korupsi jama’ah mereka? Bukankah sama halnya ketika tak-tik perang dilancarkan, seorang guru membiarkan mereka dengan pura-pura tidak tahu agar nilai anak didiknya berada di atas KKM sehingga guru tidak perlu susah-susah mengadakan remediasi.
Dunia oh dunia, demi nilai di atas kertas kecurangan menjadi raja. Padahal jelas sekali Allah memberitakan dalam Q.S Al-Maidah ayat dua yang artinya “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.
Jelas sekali, bukan? Bagaimana Allah memerintahkan kepada kita agar hanya tolong-menolong dalam perbuatan yang baik. Sedangkan tukar menukar jawaban? Bukankah itu hal yang bisa disepadankan dengan mencuri, atau pun merebut hak orang lain yang harusnya bisa mendapat nilai lebih bagus?
Jangan takut mengahadapi selembar kertas soal yang di hadapanmu. Sungguh kamu tidak sendiri. Allah selalu menemani, “Innalla ma’ana”. Belajar adalah solusi.
Namun, terkadang terlintas di pikiran kita. Ketika kita mencoba belajar, rasanya ilmu itu susah sekali masuk.
Sebenarnya, kuncinya adalah hati. Ilmu itu ibarat cahaya lampu senter, dan hati ibarat air di dalam gelas. Apabila air yang di dalam gelas itu adalah air kopi yang hitam pekat, maka sinar lampu senter dengan voltase berapa pun juga tidak akan bisa menembus gelas kopi tersebut. Berbeda apabila yang mengisi gelas tersebut adalah air putih, akan dengan mudahnya cahaya lampu senter terlihat meskipun dengan voltase kecil.
Mulai sekarang, kita yang sering menggerutu dan membicarakan negeri ini, jangan berpikir bahwa hanya pemerintah kita saja yang harus berubah dan melakukan sebuah kemajuan. Tapi kita, mulai dari sekarang, mulai dari yang kecil-kecil, dan mulai dari diri kita. Dan ingat, kejujuran adalah tugas terbesar kita. Dimana pun kita, kapan pun, bersama siapa pun, jadikan kejujuran sebagai tameng diri kita.