Tadi pagi ibu menelepon ke handphone-ku, memberitahuku bahwa beliau mengirimkan lempok durian, makanan kesukaanku, kemarin pagi. Segera, setelah ucapan salam, ritual pertanyaan ibu selalu sama sejak saya menjadi anak perantauan sampai dengan sekarang, ketika gelar perantauan masih melekat di diri saya. "Nak, gimana khabarmu? Ada cerita apa hari ini?" Begitulah salam sapa ibu untuk saya. Selalu ada nada syukur pada Allah dari lisan beliau, ketika saya menjawab, "Alhamdulillah, Bu." Kemudian biasanya cerita panjang tentang hari-hari saya mengisi sebagian percakapan antara ibu dan saya. Ibu, sampai sekarang ritual menelepon tetap menjadi bagian hari-hari cintanya untuk saya.
Dulu, ketika saya masih kuliah, ibu menelepon ke kos saya setiap sebulan sekali. Saya sampai menghafal jadwal menelepon ibu. Selalu, di awal bulan. Biasanya memberi kabar kalau beliau sudah mengirimkan sejumlah uang ke rekening saya, untuk uang bulanan. Sekarangpun, ketika saya sudah bekerja, ritual menelepon beliau tidak hilang. Bahkan, frekuensinya lebih sering. Hampir setiap minggu, saya mendengar suara beliau lewat horn handphone saya. Ah ibu, kasihnya untuk saya memang sepanjang jalan.
Mengenang tentang ibu, orang yang melahirkan saya, membuat episode-episode cinta beliau memenuhi ruang fikir saya. Entah, sekarang, sudah berapa episode cinta yang beliau berikan untuk saya.
Episode kesedihan yang saya ingat, yang menggelayuti wajah beliau tergambar ketika saya diterima kuliah di sebuah perguruan tinggi di Yogya, ketika saya sakit seusai wisuda, ketika saya diterima bekerja di Bandung, ketika saya sakit hampir di setiap kepulangan saya ke kota kelahiran ketika libur Lebaran, serta ketika saya jatuh dari motor dan tidak bisa berjalan selama tiga hari.
Izin dari ibu untuk kuliah di Yogya baru saya dapatkan menjelang dua minggu batas akhir waktu daftar ulang. Beliau sangat keberatan saya meninggalkan kampung halaman dan menuntut ilmu di kota pelajar. Ada tangis di wajah ibu, yang saya lihat, ketika melepas saya di tempat keberangkatan. Hanya satu alasan ketidaksetujuan beliau ketika itu: beliau takut siapa yang akan mengurus saya kalau saya jatuh sakit di perantauan oaring? Maklumlah, keluarga besar bapak ataupun ibu tidak ada yang bertempat tinggal di Yogya. Ibu, sebegitu besarnya cintamu untuk saya.
Kecemasan yang sama juga terlukis di wajah beliau ketika beliau mengetahui kalau Allah menakdirkan saya bekerja di Bandung. "Inga semakin jauh dari Ibu. Lima tahun kuliah di Yogya, sekarang merantau di Bandung. Sudah semakin jarang pulang ke rumah. Lebaran harus pulang yah, Nga." Kata-kata cinta itu cukup mampu menggoreskan sebentuk tangis di hati saya. Ibu, sebegitu dalamnya kasihmu untuk saya.
"Mengapa yah setiap pulang Lebaran, inga sakit. Gak mau dekat-dekat dengan ibu, yah, Nga?" tanya ibu saya ketika hampir di setiap kepulangan saya ke kota kelahiran, kondisi badan saya selalu meminta perhatian ekstra. Dan seringnya, bantal dan guling adalah menjadi teman saya di kamar. Dan saya hanya bisa tergugu mendengar tanya beliau. Ibu, sebegitu besarnya sayangmu untuk saya. Dan andaikan saya bisa meminta pada Sang Khalik, selama dua puluh empat jam saya ingin berada di samping beliau.
Hari-hari menjelang wisuda cukup menguras tenaga dan pikiran saya. Mempersiapkan wisuda, menuntaskan urusan kampus tentang nilai, menjalani ritual wisuda, mengajak bapak dan ibu serta keluarga besar mengelilingi Yogya seusai wisuda dan sejumlah kewajiban lain yang harus ditunaikan adalah hal-hal kecil yang cukup mampu membuat kesehatan saya drop. Hasilnya, pas hari kepulangan bapak dan ibu serta keluarga ke kota kelahiran, saya demam panas. Jelas sekali tergambar rasa berat di wajah ibu untuk meninggalkan saya yang sedang sakit. Tapi, kepulangan bapak ibu memang tidak bisa ditunda. Sebagai kompensasinya, hampir tiap malam, suara beliau mengisi ruang kamar kos saya, menanyakan perkembangan kesehatan saya. Ibu, sebegitu berharganya saya untukmu.
Pertalian cinta ibu untuk saya semakin kuat, ketika suatu hari saya terjatuh dari motor dan saya bersikukuh tidak mau memberitahu ibu tentang kondisi saya. Saya yakin, kalau memberi tahu ibu, kecemasan ibu terkadang melebihi ambang batas. Hasilnya, tiga kali ibu menelepon saya dan menanyakan apakah kondisi saya baik-baik saja atau tidak. Selalu, saya jawab kalau kondisi saya baik-baik saja. "Ibu tuh mimpi kamu terus, jadi ibu pikir pasti ada apa-apa dengan kamu. Lain kali jangan bohong lagi yah dengan ibu. Jangan membuat ibu cemas," itulah komentar beliau setelah mendengar cerita saya yang jatuh dari motor dan selama tiga hari tidak bisa berjalan. Saya hanya terdiam mendengar kata-kata beliau. Ibu, sebegitu eratnya pertalian batinmu untuk saya.
Terlalu banyak episode-episode kegembiraan yang saya lalui bersama ibu. Bahkan, mungkin akan melebihi angka ratusan. Ada ketulusan doa beliau yang menemani saya di setiap langkah perjalanan hidup. Ada senyum di wajah ibu kala saya bisa menyelesaikan kuliah saya tepat waktu. Ada kegembiraan dalam nada bicara ibu ketika saya mengabarkan kepada beliau sewaktu saya diterima bekerja di Bandung. Ada perhatian yang tulus dalam kata-kata ucapan selamat hari lahir dari ibu untuk saya. Ada peluk cium ibu di wajah saya ketika saya pulang ke kampung halaman. Ada keceriaan di wajah beliau ketika beliau bercerita tentang apa saja pada saat momen makan malam bersama. Ada cinta yang saya rasakan ketika mengunyah sesuap demi sesuap nasi dan lauk pauk hasil olahan tangan kasar beliau. Dan masih banyak momen-momen cinta dan kasih sayang yang lain, yang beliau peruntukkan untuk saya.
Sembilan bulan berada dalam rahim beliau dan sampai dengan sekarang, ketika umur saya menjelang seperempat abad, adalah cukup menjadi bukti tentang cerita kasih sayang dan cinta beliau untuk saya. Dan episode-episode cinta beliau tidak akan pernah mengenal kata tamat. Cinta itu tidak pernah luntur. Kasih itu tidak pernah berubah. Sayang itu tidak pernah lekang. Dan semuanya tidak dapat tergantikan. Ibu, pantaslah kalau Rasulullah menyebutmu sampai tiga kali sebagai orang yang paling harus dihormati.
“Ya Allah, tolong ampuni dosa dan kesalahan bunda hamba. Ya Allah, tolong jangan bebankan beban yang berat di pundak bunda hamba yang bunda hamba tidak sanggup untuk memikulnya. Ya Allah, tolong jangan bebankan beban yang berat di pundak bunda hamba sebagaimana Engakau telah membebankan beban yang berat di pundak orang-orang sebelum beliau. Ya Allah, sayangilah bunda hamba sebagaimana beliau telah menyayangi hamba sewaktu hamba kecil,” hanya doa itu yang terlantun di dalam hati saya sebagai kado di hari lahir beliau, menjelang beliau memasuki umur setengah abad pada awal Agustus ini.
Bandung, akhir Juli 2006
inga_fety at yahoo dot com