Sejak dua tahun lalu, aku ‘berbisnis’ kecil-kecilan. Menjual beraneka perlengkapan tempat tidur. Selain melakukan pemasaran sendiri, aku juga punya beberapa teman yang membantu memasarkan produk yang aku jual.
Pada suatu hari, karena sebuah keperluan, aku pergi dengan abinya anak-anak. Ketika pulang, aku menemukan sebuah note dari seorang teman. Isinya menginformasikan bahwa ia datang mengambil barang karena ada seorang anak yang menginginkan barang tersebut.
Aku sedikit kaget membaca note tersebut. Karena isinya bukan sebuah pertanyaan boleh atau tidaknya ia mengambil barang tersebut, atau sebuh permohonan pengambilan barang tersebut, melainkan sebuah informasi bahwa barang tersebut ia ambil karena ada calon pembeli yang menginginkannya. Celakanya, barang yang ia ambil sebenarnya pesanan orang lain.
Kalau menilik dari keberanian tindakannya, mungkin ia berprasangka baik, tidak mungkinlah aku tidak mengizinkan ia mengambil barang tersebut. Atau tidak mungkinlah aku marah, karena ia notabene membantu menjualkan produkku. Khusnuzhon-nya baik, sayangnya salah tempat.
Ia justru melupakan hal yang penting, bahwa mengambil barang tanpa izin dari pemilik adalah batil. Yang berbahaya adalah, bisa jadi transaksi jual beli yang ia lakukan dengan pembeli batal, karena ia menjual barang yang tidak dijual pemiliknya.
Salah satu syarat sahnya jual beli adalah ada keridhoan dari penjual dan pembeli. Penjual tanpa paksaan siapapun memang berniat menjual barang yang dimilikinya. Dalam kasus ini, saya adalah penjual dan teman saya itu ‘makelar’.
Untuk merekatkan tali silaturrahim dengan tetangga sekitar, aku ikut arisan kecil. Pada suatu waktu, ketika arisan dikocok, aku tidak ada. Ternyata, aku mendapat arisan. Sayangnya, informasi tersebut tidak aku dapatkan dari penanggung jawab arisan, tetapi dari seorang ibu yang sama-sama ikut arisan. Dia menghadangku di tengah jalan ketika aku hendak menjemput sekolah anakku.
“Um, dapat arisan um, tapi umi lagi nggak butuh uangnya khan. Untuk aku aza arisannya. Uangnya udah di aku.” Kata ibu tersebut. Akupun mengiyakan, karena rasa tidak enak.
Satu lagi contoh kasus tentang khusnuzhon yang salah tempat. Mungkin, melihat keadaanku, ibu itu berprasangka baik, bahwa aku tidak dalam kondisi kepepet butuh uang. Oleh karenanya ia berani mengambil uang arisan tersebut.
Sayangnya, ia lupa uang arisan itu adalah hak aku. Kendati, misalnya, nanti akan ia pinjam, setidaknya serahkan dahulu uang tersebut. Tapi, ia sudah mengambil keputusan, menahan uang tersebut di tangannya. Dan lagi-lagi dengan sebuah pernyataan bukan pertanyaan boleh atau tidaknya uang arisan tersebut diberikan kepadanya.
Kedua contoh kasus di atas, kelihatannya ringan. Yang pertama, Cuma ngambil barang untuk dijualin. Yang kedua juga sama, Cuma ngambil jatah arisan. Tapi kedua-duanya melupakan etika bermuamalah secara syar’i. Berangkat dari prasangka baik. Mereka berani bertindak. Sayangnya, prasangka baiknya tidak tepat.
Jika kita bertemu seorang saudara, kemudian kita tersenyum tapi saudari tersebut cuek bebek. Tepat, jika kita berprasangka baik, mungkin dia nggak lihat kita, mungkian dia sedang banyak pikiran dsb. Jadi kita tidak merasa tersinggung senyum kita tidak dibalas. Atau, tiba-tiba pasangan hidup kita uring-uringan. Tepat, jika kita berprasangka baik, mungkin ia sedang ada masalah. Jadi kita tidak memperkeruh suasana.
Berprasangka baik sangat dianjurkan sebenarnya, tapi, jangan sampai salah tempat. Ketika orang lain bertindak di luar dugaan. Atau melakukan tindakan di luar kelaziman. Alangkah baiknya, jika kita mengedepankan prasangka baik kita agar suasana tidak menjadi runyam. Dan bukan sebaliknya. Kita yang mengobrak-abrik milik orang lain, dan kitanya berprasangka baik, sang pemilik tidak akan marah.
Mungkin, kita akan menemui banyak kejadian yang mirip dengan apa yang saya alami. Untuk menjaga diri kita agar tidak terseret ke wilayah yang haram, berhati-hatilah. Contoh di atas bisa kita jadikan pelajaran. Kelihatannya sepele bagi kita, tetapi tidak sepele di mata Allah.
Mengambil barang tanpa izin dari pemilik, jelas sebuah pelanggaran. Mengambil apa yang menjadi hak rang lain, juga sebuah pelanggaran. Dan keduanya digolongkan sebagai perbuatan dzalim. Karena secara etimologi, dzalim adalah melanggar hak orang lain. Mencirikan kita sebagai orang yang tidak amanah. Karena salah satu elemen sifat amanah adalah kemampuan menjaga hak orang lain.
Kita harus belajar dari hal-hal kecil seperti ini. Apapun alasannya, mengambil barang tanpa izin, tidak dibenarkan.
Apapun alasannya, merampas hak orang lain tidak dibenarkan. Ini harus jadi mind set kita. Terkadang kita suka menyepelekan hal-hal seperti ini. Sudah mengambil, baru izin. Padahal, bisa jadi yang empunya tidak ikhlas.
Oleh karenanya, kendati kita bertetangga dengan orang yang super kaya, super baik, super dermawan misalnya, seyogyanya tetap tidak membuat kita berani untuk sekedar mengambil sebuah aggur di kebunnya.
Kendati, kita tahu tetangga kita tersebut tidak akan marah atas apa yang kita lakukan. Ini bukan tentang orang lain, ini tentang diri kita.
Wallahu’alam.
ummuali.wordpress.com