Pagi itu, ketika Adzan shubuh hampir selesai berkumandang, aku bergegas menuju mushola dekat rumah. Jaraknya tidak terlalu jauh sih. Cukup dengan menelusuri gang yang hanya bisa dilalui motor dan pejalan kaki. Tidak sampai lima menit, aku bisa mencapai mushola.
Namun, meskipun tidak terlalu jauh, sering juga aku telat. Apalagi di musim hujan seperti sekarang ini. Kadang telat satu rakaat. Kadang pas sampai mushola, pas baru iqomat. Ya. Begitulah.
Keterlambatanku itu, penyebabnya macam-macam. Seperti pagi itu, aku sudah mendengar adzan shubuh yang sedikit lagi akan selesai. Namun aku ingin sholat berjamaah di mushola dan tetap berharap masih sempat sholat sunah fajar di sana.
Maka ku ambil peci dan kain sarungku segera dan bergegas keluar rumah. “Mudah-mudahan muadzin nya bisa lebih panjang lagi suaranya,” doaku dalam hati.
Tapi tak kusangka, di tengah sebuah gang, aku berpapasan dengan seorang kakek yang hendak ke mushola juga. Posisinya hanya beberapa meter di depanku. Kakek itu tampak berjalan santai dengan gaya slowmotionnya. Harapanku ingin mendapatkan sholat sunah fajar hampir sirna. Aku ingin sekali mendahului kakek itu, tapi bagaimana ya.
“Allohu Akbar Allohu Akbar,” Ku dengar suara adzan semakin mendekati akhir. “Gimana nih?” Jantungku berdebar. Aku khawatir tak sempat sholat sunnah fajar di mushola. Tapi aku bimbang apakah akan mendahului kakek itu atau tidak.
Sementara itu, ingatanku sempat melayang kepada kisah Ali bin Abi Thalib ra. Ketika beliau hendak ke masjid, di tengah perjalanan bertemu dengan seorang kakek. Namun, Ali ra tidak mau mendahului kakek yang ada di depannya itu. Beliau memilih untuk tetap berjalan di belakang sang kakek.
“Tapi aku kan bukan Ali ra”, gumamku dalam hati. “Sudikah Allah SWT menahan ruku imam mushola lantaran apa yang aku alami ini?” tanyaku ragu. Memang dalam peristiwa Ali ra itu, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW yang sedang mengimami sholat shubuh ditahan ruku’nya dalam waktu cukup lama. Allah SWT melalui malaikat-Nya baru melepas tengkuk nabi setelah Ali ra sampai di masjid dan masuk sholat berjamaah.
“Tapi aku kan bukan Ali ra”, gumamku sekali lagi. Aku ini masih sering telat sholat shubuh berjamaah. Bahkan tidak jarang aku bangun kesiangan. Jadi, rasanya aku belum sanggup mencontoh beliau. Tetapi entah mengapa pagi itu aku ingin sekali dapat sholat sunah fajar di mushola.
Alhamdulillah, akhirnya aku dapat ide. Meskipun judulnya tetap “mendahului”, tapi aku ingin melakukannya secara halus dan sopan.
“Assalamu’alikum kong aji”, sapaku dari belakang sang kakek. Aku memanggil beliau dengan panggilan “Engkong Aji” karena beliau orang betawi dan masih ada hubungan saudara denganku. Beliau menjawab salamku. Lalu aku mencium tangannya. “Elu mau jalan duluan tong? gi dah. Gua mah jangan ditungguin, jalannya lama”, sahutnya kemudian.
Lalu ia menggeser badannya, dan mempersilahkan aku untuk jalan lebih dulu.
Subhanallah, tak kusangaka si Engkong akan mempersilahkanku untuk mendahuluinya. Aku yang sedari tadi ingin sekali mendapatkan sholat sunah fajar di mushola akhirnya dengan lega hati memanfaatkan kesempatan itu. “Terimakasih ya kong”, kataku. “Aye jalan duluan ya”.
Akhirnya sampailah aku di mushola dengan tenang. Alhamdulillah, aku bersyukur kepada Allah, di shubuh pagi itu akhirnya aku masih diberikan kesempatan untuk mengikis sifat kemunafikan dalam diriku ini.
”Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi seorang munafik adalah shalat Isya’ dan shalat Subuh. Sekiranya mereka mengetahui apa yang terkandung di dalamnya, niscaya mereka akan mendatangi keduanya sekalipun dengan merangkak.” (HR Bukhari Muslim)
[email protected]
Meruya Selatan,