Pagi yang cerah. Alhamdulillah mata ini sudah terbuka sejak sebelum adzan Subuh berkumandang. Suara gemerisik di lantai bawah membuat tidurku terusik.
“O iya, ba’da Subuh si Akang harus pergi ke Jakarta. Astagfirullah, kok sampe lupa ya!” gerutuku dalam hati.
Sebenarnya tubuh ini sangat malas diajak bangkit, rasanya sehari kemarin energi di badan sudah habis terbakar. Urusan keluar rumah untuk mendaftarkan si sulung ke TK Al-Quran lumayan membuat penat badan. Walaupun hanya berjalan sekian ratus meter, tapi menuntun dua buah hatiku yang masih tergolong balita, perlu ekstra kesabaran.
Langkah kaki mereka yang begitu pendek, membuat hatiku harus lapang menerima. Melihat dua gadis mungil amanah Allah ini begitu bersemangat menuju Mesjid As Syari’i yang ada di kampus UNISBA Bandung- tempat di mana TKQ itu berada, membuat jiwaku pun terbakar. Tetapi beratnya perutku yang terkandung janin, titipan Allah yang ketiga buat keluarga mungil kami, semakin membuat langkahku ekstra hati-hati. Akibatnya urat syaraf pun tegang, apalagi ketika harus menyeberang sambil menggendong si tengah dan memegang jemari mungil dan halus milik si sulung.
Kalau mengingat itu semua ingin rasanya tetap berbaring. Mengembalikan kebugaran diri. Tapi, istri macam apa kalau begitu!
”Allahu Akbar Allahu Akbar…”
Suara adzan Subuh mulai berkumandang ketika tanganku sudah selesai menyetrika kemeja dan celana yang akan dipakai suami berangkat ba’da Subuh ini.
”Ibu…Ibu…eeeenggg….” Subhanallah suara para jundi kami sudah terdengar. Padahal jam baru saja menunjukkan jarum 04.30! Mata keduanya terbuka sayup-sayup, masih setengah mengantuk ketika kuintip ke kamar.
”Ayah mana, Bu?” tanya si sulung.
”Lagi mandi, mau siap-siap berangkat kerja ke Jakarta, Nak.”
”Aku mau lihat Ayah,” kata si sulung mantap.
Mendengar kata ’Ayah’ si tengah pun jadi bersemangat. Mereka berdua sigap duduk, lalu melangkah menuruni tangga.
”Ayah…Ayah…” Suara mereka sangat menyejukkan hatiku. Dan suamiku pun tersenyum bahagia dilepas oleh seluruh anggota keluarga di tengah pagi buta ini.
***
”Tok…tok…punten…” Terdengar suara bervolume rendah dari arah pintu rumah.
”Duuh…gimana nih.” Aku yang baru akan buang hajat jadi terganggu. Ingin cuek saja, tapi takut hal penting. Terpaksalah urusan ini ditunda dulu.
”Yaa, sebentar.” Suaraku berkumandang sambil mataku berselancar mencari di mana jilbab praktis yang biasanya kuletakkan di beberapa titik rumah. Biar gampang diraih jika ada tamu mendadak.
”Punten…” Suara itu lagi.
”Ya…ya…saya bukakan pintu.”
Entah kenapa tiba-tiba hatiku jadi sebel. Bagaimana tidak? Aku kenal pemilik suara itu. Seorang laki-laki berusia kira-kira 45-an, satpam PT. Laptop, perusahaan di depan rumah tempat tinggalku, seorang pria yang kadang-kadang bekerja sebagai buruh kasar di kompleks tempat kami tinggal.
Pak Saman, begitu dia biasa disapa.
Pekerjaan sampingan yang kusebut tadi adalah membersihkan batu-batu halaman parkir, memotong ranting pohon jika sudah panjang, membersihkan dan menata ulang taman, dan selama sepuluh tahun dia pernah bekerja sebagai pengurus tinja kompleks perumahan ini.
”Ya, Pak Saman?” Wajahku keruh seperti gulai salah bumbu.
”Hehe…hehe…ini, Bu. Mau minta pembayaran,” katanya dalam Bahasa Sunda yang aku kadang tak mengerti. Karna kromo inggilnya.
”Tagihan? Tagihan apa, Pak?” Makin masem muka ini. Sudah hampir empat bulan lebih tak berhubungan dengan pria ini, bikin aku jadi gerah dengan kata ’tagihan’.
Dia menyodorkan sebuah map biru yang di dalamnya ada daftar delapan nama penghuni plus harga tagihan. Di sana tertera uang sebesar tiga puluh dua ribu per kepala keluarga.
”32,000 ini untuk apa, Pak?”
”Ya untuk bebersih di depan, Bu,” katanya nyengir ramah. Tapi aku sangat alergi dengan senyuman ramahnya itu. Aku pernah merasa dikhianati…
”Bebersih apa toh?” tanyaku sedikit tinggi.
”Ya itu, Bu. Ngerapihin batu-batu di depan. Kan kalau kena hujan tertanam, jadinya harus dicungkil-cungkil lagi. Biar rapi…”
Uh, siapa suruh kerja begituan. Lagipula mobil kami kan tidak diparkir di halaman dalam yang berbatu itu. Kami mah di luar sana. Hampir saja skenario seperti ini melompat dari mulutku. Tapi kutahan diri. Males beragumen.
Di kompleks perumahan tempat kami tinggal ini, seperti ada ’kewajiban buta’ yang harus dipatuhi. Tidak punya halaman khusus, tapi harus ikut nanggung biaya rawat taman. Kami tinggal di lantai dua, tidak merasa pakai halaman berbatu, tapi ya seperti inilah harus juga kena tagihan. Walaupun biaya sewa rumah sangat murah, tapi biaya perawatan ini itu yang kadang tidak kami miliki jadi kewajiban kantong kami membayarnya. Bukan kewajiban instansi yang memiliki perumahan ini.
”Ya sudah. Tunggu sebentar,” kataku hendak masuk ke dalam rumah mengambil uang.
”Bu…Bu…uangnya nggak perlu. Ibu cukup tanda tangan.” Pak Saman mencegah langkahku.
”E? Maksudnya gimana, Pak?” tanyaku bingung.
”Iya, pan baheula uang Ibu aya di sayah. Jadi, tos we, Ibu tanda tangan.”
Aku terkesiap dengan ucapannya. Ingatanku kembali ke empat bulan silam. Hakku menerima uang sebesar 30 ribu ternyata tidak dikembalikan secara utuh olehnya. Dia hanya cengengesan ketika kutanya tentang uang itu. ”Dipinjam heula…hahaha…hahah….” Nyengir kudanya yang sangat membuatku sebel!
***
Sampai empat bulan yang lalu, Pak Saman biasa mengurus pembuangan dan pengangkutan tinja di kompleks rumah ini. Di kompleks ini ada tiga rumah besar, yang dihuni oleh penghuni senior dan sudah jadi hak milik. Kemudian di lahan agak belakang, berdiri rumah flat, dengan jumlah pintu delapan buah, yang berarti dihuni oleh delapan KK. Salah satunya adalah kami sekeluarga.
Menurut cerita seorang penghuni senior yang sudah puluhan tahun tinggal di salah satu flat itu, bahwa selama itu pulalah di kompleks ini tidak ada septi-tank. Aneh bin ajaib, tapi begitulah kenyataannya. Maka setiap empat bulan sekali, muncullah pahlawan yang mau bersusah payah mengurusi kotoran manusia-manusia penghuni kompleks ini.
Maka terkenallah Pak Saman, saptam tetangga yang mencari tambahan pendapatan lewat mengurusi tetek bengek kompleks perumahan kami.
”Bu Diky. Sekarang Ibulah yang saya tunjuk jadi pengurus baru untuk bagian kotoran itu ya.” Itulah kalimat bernada perintah dari penghuni senior itu, yang seratus persen memaksa aku terpojok untuk mau melakukannya. Dia tidak meminta pendapatku dulu, apalagi pendapat suamiku, apakah mau mengerjakan tugas ini atau tidak. Tugas yang sudah puluhan tahun dikerjakannya.
”Gampang kok. Tinggal panggil Pak Saman, dia sudah tahu mesti mengerjakan apa.” Pak Saman yang diperkenalkan padaku sudah sumringah duluan.
”Kalau bukan saya yang mengaturnya, waaah itu kotoran manusia mau diapain. Kan jijik, bikin bau got, lalu kalau sedang musim hujan bisa-bisa naik airnya yang penuh beol itu. Iiii…mau muntah aku rasanya. Ueek…uek…ueeek….” Nyonya Sugih, sebutlah namanya begitu, penghuni lama yang ternyata satu suku denganku. Makanya dia langsung merasa akrab dan berani memindahtugaskan apa-apa yang dulu pernah dia lakukan.
”Cumaa…untuk ngerjain itu Pak Saman nggak gratis loh ya.” Pak Saman yang namanya sekian kali disebut oleh Bu Sugih terus mesem-mesem.
”Biayanya sekitar 350 ribu. Tapi saya biasa kasih 400 ribu. Coba bayangkan siapa yang mau ngurusin tai orang.” Bu Sugih sangat berapi-api. Matanya melotot, tangannya sangat aktif bergerak. Sungguh impresif.
”Cuma…orang-orang di kompleks ini selalu tak setuju dengan besarnya gaji Pak Saman itu. Aku suka nyelengsek.” Dia menunjuk dadanya. Kesal sekali tampaknya.
”Orang-orang menudingku dapat persenan dari uang 350 ribu itu. Uh, persenan apa toh? Biarlah Allah melaknatku jika iya aku korupsi uang mereka.”
Pak Saman cuma nyengiiir saja. Sesekali menepuk-nepuk lengan Bu Sugih, memberi kesabaran yang aku tak paham maksudnya.
”Tanya Pak Saman!. Aku selalu ngurut dada ngurusin soal ini puluhan tahun. Heran. Setiap kali Pak Saman menagih pembayaran, mereka selaluuu aja komplain. Yang kemahalan lah. Ya, Pak Saman?” tanyanya kepada Pak Saman. Si Pahlawan hanya mengangguk-ngangguk.
”Kadang aku bilang ke Pak Saman. Kalau ada yang malas membayar, suruh dia urus tainya sendiri!” Aku kaget dengan ketusnya kalimat yang keluar dari bibir nyonya paruh baya, istri seorang pejabat instansi.
Akhirnya, tugas itu dilimpahkan padaku. Sebagai orang baru, dan penuh keingintahuan, kupotret semua aktifitas Pak Saman. Hasil foto-foto ini nanti akan kulampirkan pada lembar tagihan kepada warga. Aku tak mau jadi ‘tersangka’ korupsi kedua setelah Bu Sugih.
Memang pekerjaan yang tidak menyenangkan. Mengangkut kotoran manusia yang mengambang di got, lalu ditumpuk dipinggir bagian yang kering, dikeringkan dengan matahari selama dua hari, setelah kering barulah dimasukkan ke dalam kantong-kantong plastik, dan diangkut dengan menggunakan kereta dorong seperti kereta pengangkut sampah.
Hatiku sedih melihat pria itu bekerja melawan rasa busuk, berjam-jam mengangkuti ’hajat’ orang lain. Lalu mengangkut kantong-kantong kotoran yang sudah kering, memindahkannya ke dalam gerobak sampah yang ketika didorong rodanya patah sebelah!
”Apa tidak bau, Pak?” tanyaku mengamatinya dari jauh.
”Enggak, Bu. Saya sambil merokok kalau tidak pasti tidak kuat dengan baunya.”
Kuperhatikan sosok itu. Mengapa pria seperti itu mau saja bekerja mengangkuti kotoran manusia. Apa benar hanya karena uang? Gaji sebagai satpam mungkin tak sampai empat ratus ribu rupiah. Mungkin karena itulah dia mau mengerjakan apa saja demi menambah pundi-pundi rumah tangganya.
”Pak Saman ini pernah nggak makan dua bulan loh, Bu Diky.” Aku teringat percakapan dengan Bu Sugih suatu hari.
”Kenapa memangnya, Bu?” Aku balik bertanya.
”Ya karena berjam-jam, berhari-hari ngurusin kotoran kami.” Masya Allah, kasihan juga dia.
***
Rasa kasihanku sudah penuh hingga ke ubun-ubun. Setiap hari ketika dia bekerja, selalu kusisihkan uang dua puluh ribu untuk makan siangnya. Tiap kali aku mengeluarkan uang, selalu aku catat. Karena ini sistem reimburse ke setiap penghuni nanti, maka uang gaji suami yang kupakai untuk menalangi pembayaran Pak Saman pun harus jelas terinci.
Namun suatu hari, Bu Sugih menegurku. ”Bu Diky. Katanya nggak ngasih uang rokok Pak Saman?”
Aku kaget. ”Uang rokok, Bu?”
”Iya, uang gajinya begitu. Dia bilang hanya sekali diberi uang makan oleh Bu Diky. Orang macam Pak Saman mana mau kerja tanpa dibayar dulu.”
Haah?? Aku terbelalak. Kok ada sistem seperti itu? Dibayar dulu baru kerja? Lah, kalau dia tidak melaksanakan kewajibannya setelah mendapat bayaran, siapa yang mau rugi nanti? Masak iya aku dan suamiku? Uang yang dibayarkan cukup besar, makanya aku tidak mau main-main.
”Ya memang begitu. Kalau tidak dia tidak akan meneruskan kerjaannya loh.” Bu Sugih menjawab semua kebingunganku itu.
”Haah…begitu ya, Bu. Ya sudah nanti saya bayar dulu.”
Segera setelah itu aku telepon suami untuk meminta ijin menggeluarkan uang terlebih dahulu untuk Pak Maman. Alhamdulillah suamiku mengerti.
”Habis mau bagaimana lagi? Mudah-mudahan nanti terganti oleh tagihan ke seluruh penghuni flat.” Begitu kata suamiku.
Pak Saman datang dengan wajah sumringahnya itu, dan makin cerah dengan pelangi senyumannya ketika kuserahkan uang yang telah ditetapkan.
”Pak Saman, ini uang sebesar 370 ribu. Tolong dikerjakan ya.”
”Loh, kenapa segini, Bu?” tanyanya.
”Hm? Kenapa memangnya, Pak?” tanyaku balik.
”Hehe…hehe…kemarin Bu Sugih bilang kan 400 ribu ya. Tapi ini hanya 370 ribu.”
Aku kaget dengan sikapnya yang luar biasa itu. Dia begitu jujur, tapi seperti tak punya malu menanyakan hal sensitif soal uang. Terlalu blak-blakan.
”Bapak mungkin ingat pernah saya beri 30 ribu untuk uang makan. Jadi seharusnya ini sisa dari 400 ribu.”
”O iya iya…punten atuh.” Dia meminta maaf, terlihat sekali dia malu hati.
Dengan kejadian itu aku merasa jadi tak simpati kepada Pak Saman. Pertama, karena dia sudah berani minta bayaran sebelum bekerja. Kedua, ternyata dia benar-benar menghitung untung ruginya, misalnya soal kekurangan 30 ribu tadi. Tapi dia lupa bahwa sudah pernah menerima bayaran sebelumnya. Ternyata masalah uang bukan hanya milik orang gedean, tapi rakyat kecil pun tak mau ketinggalan.
***
Tiga minggu setelah urusan pembuangan kotoran manusia tadi selesai, maka Pak Saman mulai beredar menagih uang kepada tujuh KK di flat ini. Namun dalam seminggu urusan itu tidak selesai-selesai juga. Hatiku mulai kebat-kebit. Jangan-jangan uang kami tak kembali?
Dengan kegelisahan yang memuncak, kudatangi Bu Sugih yang sedang sibuk berkemas-kemas rumah. Dia akan pindah ke rumah barunya. Itu pun setelah dua puluh tahun menetap di kompleks ini.
”Bu, ini sudah seminggu dan Pak Saman belum mengembalikan semua tagihan dari penghuni kompleks. Saya ingin bertanya padanya, tapi saya ingin minta pendapat Ibu dulu.”
”Loh, kata Pak Saman udah terkumpul kok.” Hatiku berdesir mendengar jawaban dari Bu Sugih.
”Memangnya belum sampai ke tangan Bu Diky?”tanya Bu Sugih keheranan.
”Eh, belum, Bu. Atau jangan-jangan Pak Saman pernah ke rumah tapi saya lagi keluar ya?” jawabku pura-pura linglung. Aku yakin aku tak kemana-mana selama seminggu ini.
”Oh gitu. Man…Man…ke sini dulu." Bu Sugih tiba-tiba memanggil Pak Saman. Yang dipanggil nongol dari atas rumah Bu Sugih. Ternyata Pak Saman sedang membantu keluarga itu pindahan. Aku kaget melihatnya ada di situ.
”Oh, iya iya. Nanti saya antarkan. Nanti malam lah.” Begitu jawabnya enteng. Lalu kembali bekerja.
Satu kadar lagi rasa simpatiku padanya menipis. Kenapa orang ini tidak bisa memegang amanah? Dia kan sudah menerima uang, aku percaya, tapi uang yang sudah terkumpul tidak juga disegerakan kepadaku.
Padahal Rasulullah SAW bersabda: “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga macam: “Jika berkata ia berdusta, “. jika berjanji ia ingkar, dan jika dipercaya dia berkhianat.”
Rasa kesal hatiku ini kusampaikan pada suami malam harinya. Suamiku juga heran dengan sikap Pak Saman.
”Kita tunggu saja ya. Semoga malam ini dia memang datang.” Elusan tangan suami ke pundakku sangat membantu meluruhkan kekesalan hati ini. Tapi ternyata hingga fajar menjelang Pak Saman tak pernah nongol.
Dua hari kemudian, barulah wajah sumringahnya datang.
”Ini uangnya, Bu. Maaf lama mengembalikannya.”
Uh, sudah tahu telat, pakai maaf. Maaf itu yang kelamaan. Aku hanya menggerutu dalam hati.
”Loh, uangnya kok kurang, Pak?”
”Oh iya. Saya pinjam 30 ribu. Untuk rokok.”
Jawabannya sungguh membuatku naik darah. Sambil menahan amarah, aku berkata tegas padanya.
”Pak, saya sudah membayar penuh sesuai dengan permintaan Bapak. Jadi seharusnya uang itu pun kembali seutuhnya. Kenapa pakai ada alasan meminjam untuk rokok segala? Bapak kan tidak pernah bilang kepada saya sebelumnya. Itu mah bukan minjam atuh, Pak….”
”Hehe…hehe…nya punten…” Pak Saman hanya berkata maaf, lalu berlalu.
Yang tertinggal adalah rasa maluku pada suami. Uang hasil jerih payahnya bekerja, tak utuh kembali. Itu pun dengan alasan yang tak masuk akal.
Sejak itulah wajahku tak pernah bisa tersenyum jika berpapasan dengan Pak Saman. Walaupun dia tak berubah, tetap ramah apalagi kepada anak-anak kami, tetap berseliweran bekerja serabutan di kompleks ini, tapi tidak membuat hatiku menjadi lunak. Sikapnya seolah tak berhutang pada kami itulah yang menjadi penyebab kekeruhan wajahku. Meskipun kami sudah tak mengharapkan uang itu kembali.
Hingga akhirnya ketukan pintu di pagi hari ini, ketika dia membawa surat tagihan sebesar 32 ribu rupiah ke depan wajahku.
”Ibu tidak usah bayar. Cukup tanda tangan saja. Kan uang Ibu pernah saya pinjam dulu.”
”Tapi, Pak. Ini 32 ribu, sedangkan dulu kan hanya 30 ribu. Saya tambahkan dua ribunya ya,” kataku.
”Teu, teu kedah, Bu.” Pak Saman berkata tidak perlu penambahan uang dariku sambil pergi meninggalkanku yang terpana.
Kini Pak Saman sudah tak bekerja sebagai penggeruk kotoran penghuni kompleks lagi, karena baru-baru ini akhirnya dibuatlah fasilitas septi-tank.
Tapi, Pak Saman. Mengapa amanah itu harus tercoreng hingga ratusan hari? Bagaimana mengembalikan kepercayaan yang pernah hilang dari hati kami ini.
Aku tak kuasa menanyakannya dan hanya melanjutkan hari ini dengan bayang-bayang Pak Saman.