Dua tahun lalu, beberapa hari menjelang Hari Raya Qurban, kami berada di Tanah Suci. Mas Kasan dan Isterinya (kakak kandungku) mendapatkan karunia besar Allah dengan diberikannya kesempatan menunaikan ibadah Haji. Kesempatan yang sama juga dilimpahkan Allah Ta’ala kepadaku. Subhanallah. Bedanya, mereka mengeluarkan biaya tidak kurang dari Rp 55 juta, sedangkan aku tidak perlu mengeluarkan biaya sendiri kala berhaji. Aku ikut Hamla (agen pemberangakatan haji dan umrah) sebagai tenaga kesehatan di Sharjah, United Arab Emirates. Waktu itu aku masih tinggal di UAE. Alhamdulillah.
Dalam hati, sebelum berangkat ke Arab Saudi, senang sekali nantinya bisa bertemu dengan Mas Kasan dan Isterinya. Aku yang meski hampir setiap tahun pulang dan bertemu dengan keduanya, tentunya berharap banyak apabila bersua di Tanah Suci dalam momen mulia ini. Berbagai rencana muncul dalam benakku. Mulai dari kemungkinan bisa beribadah bersama hingga makan di restoran atau sekedar jalan-jalan di pasar tradisional Arab. Bagiku, impian ini lumrah dimiliki oleh mereka yang sedang tinggal dan bekerja di luar negeri manakala ketemu dengan saudaranya.
Allah Ta’ala Maha Pembuat Rencana. Entah di mana letak kesalahan komunikasi kami. Mereka konon tinggal di Aziziyah sementara aku tinggal di Sulaimaniyah. Jarak kami sekitar 12 km. Selain sulitnya transportasi pada musim haji, status yang merangkap (bekerja dan berhaji) menjadikan ruang gerakku sempit. Jangankan mau jalan-jalan ke Aziziyah, untuk beribadah salat berjamaah di Masjidil Haram saja aku seringkali harus lari-lari. Mana pula dalam jamaah kami banyak orang yang sakit pada hari-hari pertama hingga pekan kedua di Masjidil Haram. Aku sibuk sekali, pagi, siang, sore hingga sekitar jam 10 malam.
Aku tidak memiliki nomer telepon Mas Kasan dan Isterinya. Aku juga tidak tahu mereka ada di mana. Mereka tidak meninggalkan nomer telepon kepada keluarga yang ada di Indonesia. Di hampir setiap langkahku di pelataran Masjidil Haram, selalu aku sempatkan untuk keliling, menoleh ke sana- ke mari, siapa tahu bisa bertemu dengan mereka. Tidak juga ketemu meski setiap sudut masjid besar itu kutelusuri.
Suatu hari pernah saya nekat berjalan ke Aziziyah usai salat Dzuhur. Aku punya waktu empat jam, dari jam 12 siang hingga 4 sore. Klinik kami buka pagi hingga jam 11. 30 dan mulai buka lagi jam 4. 30 sore. Aku rasa itu cukup untuk pulang pergi dengan jalan kaki Masjidil Haram-Aziziyah-Masjidil Haram. Tidak terhitung jumlah orang Indonesia dari berbagai Kloper yang aku tanya, tentang kedua nama saudaraku yang konon ada dalam Kloper 62. Dari satu gedung ke gedung lainnya, semua aku jelajahi di sepanjang kota Aziziyah di mana umumnya orang kita tinggal. Namun sia-sia….
Hingga aku selesai Haji dan berangkat ke Madinah, semua rencana di atas tidak pernah tercapai. Aku pun pasrah. Barangkali Allah Ta’ala tidak menghendaki pertemuan kami waktu itu. Aku pun harus mengambil hikmah dari semua ini.
Sampai pada waktunya usai kontrak waktu kami di Madina, aku tidak pernah mendengar kabar tentang keduanya. Saat itu aku sudahi pula harapan untuk bertemu. Kupikir sesudah di UAE saja nanti akan kucari tahu beritanya.
*****
Dari rumah, akhirnya aku mendengar bahwa ketika sampai di Mekah, Mas Kasan jatuh sakit. Jangankan merampungkan ibadah Haji, untuk mengikuti salat berjamaah saja tidak bisa. Isterinya, sudah dengan sendirinya akan sibuk dengan urusan kesehatan Mas Kasan. Stroke nya kambuh. Mas Kasan berbaring total di tempat tidur. Tidak mampu untuk berjalan sama sekali, ke kamar mandi sekalipun. Astaghfirullah.
Rasanya aku salah besar waktu itu lantaran berprasangka ‘buruk’ kepada mereka. Sebenarnya sewaktu di Mekah dan Madinah, mereka bisa mendapatkan nomer HP ku dan menghubungiku dengan mudah. Namun kenapa tidak dilakukan? Sementara aku tidak mungkin mengontak mereka tanpa mengetahui nomer teleponnya. Dari sana kemudian aku sadar, mengapa kami jadi tidak pernah bertemu. Karena nyaris selama di Mekah dan Madina kakakku repot mengurus suami yang lumpuh total, bicarapun tidak mampu. Kakakku tidak pernah bisa ke luar kamar oleh karena kondisi suami.
*****
Ketika jamaah haji Indonesia mulai pulang, berangsur-angsur tiba giliran kakakku. Namun ketika dijemput di Juanda Surabaya, kakak perempuanku tidak lagi berdua bersama suami, tanpa Mas Kasan. Semua keluarga terharu dibuatnya. Di tengah-tengah kegembiraan para jamaah haji yang datang, situasi kami justru sebaliknya.
Saya tidak bisa membayangkan betapa pedihnya hati seorang isteri yang berangkat bersama suami ke Tanah Suci, akan tetapi kembali ke Tanah Air sendirian. Sang suami sakit, tidak sadarkan diri di negeri orang.
Sekitar satu bulan kemudian baru ada kabar dari perwakilan di Arab Saudi, bahwa Mas Kasan bakal segera dipulangkan sesudah kondisinya membaik. Dari Malang, kakakku menjemput suaminya ke Jakarta.
******
Sebagai seorang kesehatan, aku menyadari betapa repotnya bagi orang awam seperti kakakku merawat orang sakit stroke seperti Mas Kasan. Beberapa kali aku dengar berita dari salah seorang kakakku lainnya, bahwa membutuhkan ekstra kesabaran dalam merawat Mas Kasan. Boleh dibilang semua kebutuhan dari A sampai Z Mas Kasan tidak mampu melakukannya sendiri, meski berbagai upaya pengobatan sudah dilakukan. Akhirnya diputuskan untuk di rawat di rumah saja. Konsekuensinya, isterinya lah yang pada akhirnya merangkap berbagai peran dalam hal ini.
******
Akhir Juni lalu, ketika sebelum pindah ke Qatar, aku sempat pulang barang dua pekan. Esok harinya aku langsung menemui Mas Kasan. Tubuhnya tidak lagi segagah ketika kutemui beberapa tahun lalu. Senda guraunya tidak lagi nampak. Kulum senyum yang tersungging dari bibir nya pun tidak lebih dari tempat persembunyian deritanya.
Aku duduk di sebelah ranjangnya di ruang kecil dengan lampu buram sebagaimana permintaannya. Kugenggam erat jari-jari kurus mantan TNI AL yang dulu kerap aku temui kala dia masih aktif dinas. Aku menangkap isyarat sebagian memorinya sudah hilang. Kami berbicara tentang hal-hal yang aku rasa sudah di luar ‘kehidupan’ normal kami. Mas kasan, meski demikian, berusaha untuk tetap memperlihatkan ketegaran dalam menghadapi derita panjangnya ini. Hal itu aku ketahui saat sempat-sempatnya menanyakan: “Kamu baik-baik saja?” kepada saya yang segar-bugar di depan pelupuk matanya. Ya Allah…..
Mas Kasan adalah saudara ipar yang aku tidak punya jarak dengannya. Hubunganku dengannya lebih dekat ketimbang dengan saudara-saudaraku sekandung. Aku kadang terlalu terbuka kepadanya. Bahkan untuk mengatakan bahwa dia tidak pernah memberiku uang saku kepadaku sewaktu sekolah dulu, aku tidak sungkan-sungkan. Apalagi yang namanya pinjam jaket TNI-AL nya, minta sepatu, hingga pinjam motornya, bukan persoalan bagiku.
Semua kenangan di atas tergambar jelas lagi ketika, sekali lagi, jari-jemarinya yang dingin masih ada dalam kehangatan tanganku. Aku berusaha menghibur hatinya dengan sering-sering menyebut Hamdala, beristighfar, serta Salawat Nabi. Aku ingatkan kakakku untuk bersabar dalam merawatnya.
Keriput kulit di wajahnya membuatku tidak sanggup untuk melupakan semuanya. Aku cium kedua pipi kakak iparku yang dingin yang hanya berselimut sarung tua sebelum aku melangkahkan kaki, berpamitan.
Inikah pertemuan terakhir denganmu Mas Kasan?
Sebuah pertanyaan yang dijawab oleh Allah Ta’ala pagi tadi ketika sms kuterima dari Tanah Air.
“Om. Pakde Kasan sudah dipanggil Allah tadi pagi jam setengah tiga”.
Aku masih larut dalam tidur. Jarum jam di sebelah tempat tidurku menunjukkan pukul 04. 10 waktu Qatar atau 08. 10 WIB ketika sms itu datang. Salah seorang kakak iparku, Mas Kasan, 60 tahun umurnya, berpulang ke Rahmatullah. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
******
Hidup di negeri seberang, terkadang memang indah, namun tidak jarang hari-hari seperti ini harus dilalui dengan bersimbah duka. Hari di mana saat-saat kelahiran, perkawinan, kesakitan dan kematian orangtua, sanak saudara, kerabat dan sejawat tidak nampak di depan mata. Hari yang di dalamnya, Mas Kasan, teman atau siapapun bukan sebuah perkecualian.
Doha, 16 Dhul-Qa’da 1428 H Hardy. Syaifoel@gmail. Com